Gelembung Properti Metaverse Pecah?
Rerata harga jual plot tanah virtual di sejumlah metaverse atau metasemesta anjlok hingga lebih dari 90 persen. Minat menurun?

Meta ikut membuka paviliun di rangkaian Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2022, di Davos, Swiss. Meta mengusung tema metaverse di paviliunnya. Pengunjung yang hadir bisa mencoba metaverse yang dibawa Meta.
Rerata harga jual plot tanah virtual di sejumlah metaverse atau metasemesta anjlok hingga lebih dari 90 persen. Minat menurun?
Menilik dan menganalisis data terbaru tertanggal Senin (8/8/2022) dari WeMeta, sebuah firma analisis pasar metasemesta, selama setahun terakhir, berbagai metrik industri metaverse mengalami penurunan tajam.
WeMeta melacak lima metasemesta terbesar: Decentraland, The Sandbox, Voxels, Somnium Space, dan NFT Worlds.
Baca juga: Ingar-Bingar Metaverse
Volume penjualan petak tanah di Decentraland, misalnya, mengalami penurunan hingga lebih dari 97 persen sejak puncak transaksi global di metasemesta yang jatuh pada 22 November 2021, dibandingkan data terbaru, 8 Agustus 2022.
Saat itu, volume penjualan petak tanah virtual di Decentraland mencapai 13,9 juta dollar AS atau sekitar Rp 205 miliar. Kini, volume penjualan Senin (8/8) hanya 374.446 dollar AS (Rp 5,5 miliar).

Tabel volume penjualan petak tanah di metasemesta, berdasarkan data WeMeta tertanggal 8 Agustus 2022.
Penurunan volume penjualan lebih ekstrem bahkan dialami oleh metasemesta lain; Somnium Space (98,5 persen), Voxels (99,25 persen), dan The Sandbox (99,53 persen). NFT Worlds di sisi lain ‘hanya’ mengalami penurunan sebesar 74,3 persen.
Rerata harga jual tanah di sejumlah metasemesta tersebut pun juga mengalami penyusutan drastis.
Di Decentraland, contohnya, rerata harga jual dapat mencapai 37 ribu dollar AS (Rp 549,01 juta) pada puncaknya di sekitar akhir November 2021. Kini, rata-rata hanya mencapai 11.013 dollar AS (Rp 162,36 juta), atau turun 70,4 persen.
The Sandbox, bahkan mengalami penurunan rerata harga jual mencapai 89,08 persen; dari 35.474 dollar AS (Rp 522 juta) pada Januari 2022, kini tinggal 3.875 dollar AS (Rp 57,1 juta).

Melalui Google Trends, juga terlihat bahwa ketertarikan warganet Indonesia maupun global terhadap ‘metaverse’ memang menurun.
Di Indonesia, pencarian warganet dengan kata kunci ‘metaverse’ dimulai pada akhir Oktober 2021; bersamaan dengan pengumuman perubahan nama Facebook menjadi Meta.
Baca juga: Metaverse Bukan Obat Dewa
Popularitas kata ‘metaverse’ memuncak — menyentuh angka 100 — sekitar satu bulan kemudian. Kini, pada beberapa hari terakhir, popularitasnya hanya pada angka 2 atau menurun hingga 98 persen.
Pada tingkat dunia, pencarian terhadap ‘metaverse’ pun menurun, kini hanya berada pada angka 18 persen dari puncak popularitas global di bulan Januari 2022.
Tanahnya virtual, rasa sakitnya nyata
Biliuner pemilik klub NBA Mark Cuban menyebut berinvestasi properti virtual di metasemesta adalah hal yang kurang bijaksana. Menurutnya, hal ini karena, di ranah virtual, luas tanah bisa tidak terbatas, berbeda dengan dunia nyata.
“(Di metasemesta), orang bisa membuat volume tidak terbatas,” ujarnya dalam wawancara di kanal Youtube Altcoin Daily, yang dikutip CNBC.com.

Pengunjung menonton film dalam realita virtual (virtual reality/VR) terlihat dalam foto yang diambil pada 8 September 2021 di Palazzo del Casino, Venesia, Italia, dalam rangka Venice Film Festivel ke-78.
Ian Kane, penulis untuk firma pelacak pasar Web3, DappRadar, menyebut bahwa hype atau kehebohan yang menyertai kehadiran metasemesta tidak bertahan lama; spekulator mulai berhenti membeli tanah virtual, minat mulai berkuran.
“Tanahnya mungkin memang virtual, tapi rasa sakitnya nyata,” tulis Ian Kane, Rabu (10/8/2022).
Minat yang masih rendah ini pun diakui oleh salah satu pendiri atau cofounder dari The Sandbox, Sebastien Borget.
Baca juga: Sedikit demi Sedikit, Lama-lama Jadi Metasemesta
Sejumlah merek dan perusahaan besar dunia memang telah mendirikan toko di dalam metasemesta tersebut, antara lain: jenama pakaian Gucci dan Adidas, firma keuangan dan perbankan seperti Axa dan HSBC, hingga label musik Warner Music.
Namun, tingkat adopsi publik terhadap teknologi metasemesta masih sangat rendah. Tercatat pada Maret 2022 lalu, 350.000 orang mengunjungi metasemesta tersebut. Jumlah ini jauh di bawah harapan Borget yang mencapai ratusan juta orang.
“Kami berharap bisa mencapai impian ini dalam waktu 5 sampai 10 tahun mendatang,” kata Borget.

Presiden Hacktiv8 Juventia Vicky Riana (kiri) berbincang dengan Country Director untuk Meta di Indonesia Pieter Lydian (tengah), dan Manager Program AR/VR Asia Pacific Meta Trimikha Valentius (kanan) saat peluncuran pameran bertajuk "#MenujuMetaverse Cafe" di Titik Temu Coffee, Blok M, Jakarta Selatan pada Jumat (5/8/2022). Pieter mengatakan, metaverse yang dipopulerkan oleh Meta baru akan siap 5-10 tahun lagi, sesuai dengan perkembangan teknologi, kreator, dan platform, serta perangkatnya.
Rentang waktu yang sama juga disampaikan oleh Meta, yang memicu perhatian besar terhadap ranah teknologi ini saat berganti nama dari Facebook pada Oktober 2021 lalu.
Country Director untuk Meta di Indonesia, Pieter Lydian, juga mengakui bahwa ekosistem metasemesta global belumlah siap; talenta kreator yang masih terbatas hingga teknologi yang belum matang.
Belum lagi gawai untuk menikmati realita virtual (virtual reality/VR) masih tergolong mahal. Diyakini, adopsi teknologi VR dan metasemesta baru akan luas setelah sejumlah tantangan tersebut berhasil diselesaikan.
Borget optimistis bahwa metasemesta bersama dengan teknologi Web3 lain seperti mata uang kripto dan NFT, akan diadopsi oleh masyarakat luas. Sebab, Web3 akan memberikan hal yang belum pernah ada sebelumnya: kepemilikan.
“Untuk pertama kali, pengguna bisa memastikan kepemilikan terhadap konten digital mereka. Avatar, pakaian, tanah, dan rumah digital benar-benar jadi milik mereka,” kata Borget.
Skeptisisme
Meski demikian, masih ada skeptisisme publik terhadap Web3, termasuk metasemesta.
Laporan hasil survei berjudul “The Metaverse in 2040” yang dilakukan Pew Research Center dan Elon University, North Carolina, AS pada Februari–Maret 2022 menemukan bahwa tidak ada konsensus utuh bahwa metasemesta akan berpengaruh luas setidaknya pada 10-20 tahun ke depan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F06%2F4e4daffe-dcf4-4730-aaf7-9f8e93982ee4_jpg.jpg)
Pengunjung menikmati karya yang ditampilkan melalui virtual reality (VR) dalam Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) 2021 di Grand Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (6/11/2021). Dengan mengusung tema "Publik", perhelatan ICAD ke-11 tahun ini mengangkat karya para seniman dan desainer yang menuangkan gagasan dalam merespons situasi saat ini yang mungkin relevan dengan publik pascapandemi. ICAD XI 2021 akan berlangsung hingga 28 November 2021. KOMPAS/RADITYA HELABUMI 06-11-2021
Survei ini mewawancarai 624 inovator, eksekutif, pejabat publik, peneliti, dan pegiat teknologi mengenai peluang metasemesta bisa diadopsi secara luas pada 2040.
Dalam laporan itu, disebut bahwa 46 persen atau hampir setengah dari para pakar tersebut tidak percaya bahwa metasemesta akan berperan signifikan dalam kehidupan sehari-hari umat manusia 20 tahun dari sekarang.
Skeptisisme ini muncul, selain karena diyakini bahwa masyarakat akan melihat banyak sisi negatif yang diakibatkan oleh metasemesta.
Metasemesta memungkinkan metode monetisasi baru yang bisa masuk ke segala aspek kehidupan manusia. Sebab, manusia akan bisa ‘hidup’ di dalamnya langsung.
“Sisi gelap metaverse adalah teknologi ini memungkinkan adanya monetisasi terhadap kehidupan pribadi dan sosial manusia, hingga mengurangi kemampuan negara dan regulator untuk memastikan keadilan warga negara, serta menambah kuasa terhadap korporasi yang mengelolanya,” tulis Gina Neff, profesor dan Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Teknologi Minderoo di University of Cambridge, Inggris.
(AFP)