Metaverse dengan segala komponennya akan terus bergerak maju. Sektor pendidikan yang pertama-tama harus bersiap. Ke depan mungkin akan dibutuhkan jurusan atau program studi yang fokus mengajarkan pengembangan metaverse.
Oleh
ZUL TINARBUKO
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Ingar-bingar metaverse bergaung lewat puluhan bahkan ratusan seminar daring (online), webinar, atau kuliah umum. Sambutan masyarakat awam tampak antusias membayangkan sebuah dunia alternatif virtual yang ada di hadapan mereka. Berbagai sektor mulai melirik metaverse, tak hanya pendidikan, tetapi keuangan, perbankan, hiburan, juga sektor pemerintahan berandai-andai mewujudkan metaverse.
Banyak kesepakatan dibuat, para ahli dihadirkan, para pengampu kepentingan baru atau lama mulai muncul. Apabila mengikuti beberapa webinar dan kuliah umum, jarang sekali yang membahas bagaimana menyusun strategi riil untuk mewujudkan konsep metaverse tersebut, termasuk kaitannya dengan strategi-strategi nasional Indonesia terutama dalam pengembangan strategis di sektor pendidikan.
Metaverse yang multitafsir
Metaverse merupakan sebuah konsep, bukan produk milik suatu perusahaan tertentu. Selain sebagai sebuah konsep, metaverse sebenarnya lebih cocok apabila disebut sebagai sebuah tujuan. Sebagai tujuan, tentu kita membutuhkan kendaraan untuk mencapai tujuan tersebut.
Konsep metaverse sebenarnya multitafsir karena hingga kini tidak mempunyai satu definisi tunggal. Neal Stephenson (1992) pertama kali menggunakan istilah ini di novel Snow Crash yang berlatar ”distopia”, di mana pascakrisis ekonomi ada satu semesta paralel bernama ”Metaverse” yang dapat diakses hanya oleh orang-orang dari kelas elite berteknologi.
Sungguh definisi yang ironis, di mana sekarang konsep metaverse digadang-gadang sebagai dunia alternatif yang berkebalikan dengan konsep yang ada di novel tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah sebenarnya bagaimana cara mengakses metaverse? Apakah hanya orang-orang elite berteknologi tadi yang bisa mengaksesnya?
Dalam satu panel konferensi bagian dari salah satu festival film Double Exposure (2021) di Amerika Serikat, definisi metaversedipertanyakan sekali lagi. Karena apabila mengacu dari novel Stephenson tadi, konsep metaverse yang terus bergaung akhir-akhir ini memancing diskusi yang tidak karuan. Apakah mengenai dunia virtual, konten VR/AR, gim, atau bahkan mengenai konsep di mana terjadi desentralisasi finansial melalui kripto, blockchain, atau penggunaan avatar yang membentuk identitas/komunitas baru?
Tentu itu semua adalah komponen yang mendukung untuk mewujudkan metaverse. Menyambung benang merahnya, melaluimetaverse setidaknya kita bisa mempunyai satu platform alternatif sehingga memungkinkan siapa saja (tidak hanya kaum elite berteknologi) untuk berkumpul dan berkomunikasi secara virtual.
Sesuai yang dikatakan oleh sejarawan Yuval Noah Harari (2011) tentang manusia sebagai makhluk sosial bahwa berinteraksi dan bekerja sama satu sama lain menjadi cara untuk mempertahankan eksistensi spesies yang sudah bertahan selama 300.000 tahun, dan hal tersebut merupakan keunggulan manusia. Berkumpul menjadi salah satu dari berbagai macam cara untuk menjalin interaksi tadi.
Hanya saja, disrupsi-disrupsi terus terjadi di sekitar kita, di kota-kota besar terjadi penumpukan kepadatan penduduk, kondisi jalan macet, transportasi publik kurang memadai. Belum lagi ditambah aturan pembatasan aktivitas karena pandemi Covid-19.
Poin kedua adalah berkomunikasi. Menurut Cherry (1964), manusia membutuhkan suatu wahana untuk menyampaikan sebuah informasi. Metaverse perlu digarisbawahi bukan wahana tersebut karenametaverse itu konsepnya adalah sebuah ruang atau platform sebagai tempat berkumpul tadi. Jadi metaversebukan wahana komunikasi.
Metaverse itu konsepnya adalah sebuah ruang atau platform sebagai tempat berkumpul tadi. Jadi, metaverse ” bukan wahana komunikasi.
Lalu, apa sebenarnya wahana yang dimaksud? Teknologi VR (realitas virtual) dan/atau AR (realitas berimbuh)-lah yang akan menjadi wahana atau kendaraan untuk mencapai metaverse. Tanpa kedua teknologi ini, angan-angan kita untuk mencapai metaverse tidak akan pernah terwujud. Teknologi VR dan AR itu jugalah yang akan membawa kita untuk bisa berkomunikasi satu sama lain dengan user lain yang terwakilkan oleh avatar-avatar unik di metaverse.
Poin terakhir adalah virtual. Apabila mengacu pada KBBI, virtual adalah tampil atau hadir dengan menggunakan perangkat komputer. Meskipun wujudnya tidak bisa disentuh secara fisik, satu hal yang diharapkan dapat dirasakan pengguna adalah seolah-olah kita berada secara fisik di dunia rekaan itu. Konsep ”berada” atau hadir itulah yang harus dicapai dalam dunia virtual, atau nanti di metaverse. Sekali lagi untuk mencapainya, kita harus menumpang kendaraan VR atau AR.
Konten media ajar vokasi
Setelah dijabarkan dengan mendetail di atas, seharusnya semakin jelas bahwa untuk mencapai cita-cita metaverse tadi tidaklah gampang. Proses ini sedikit banyak sedang dicerna pelan-pelan, termasuk Pemerintah Indonesia yang salah satunya sudah memulai sebuah proyek skala nasional dalam ranah pendidikan vokasi.
Bermula dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke Jerman pada akhir 2021, terjadi kesepakatan kelanjutan kerja sama dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) di antara kedua negara. Yang menarik, kesepakatan ini disambut oleh pihak Jerman dengan ide yang berorientasi masa depan. Melalui kerja sama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian difasilitasi oleh GIZ, sebuah lembaga internasional Jerman yang mengimplementasikan kerja sama pembangunan.
Saat ini sedang berlangsung proyek spesifik terhadap pentingnya pengembangan SDM melalui Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (TVET). Proyek yang menjadi bagian dari prioritas utama strategi pembangunan nasional ini secara serius memanfaatkan perkembangan teknologi realitas virtual (VR) sebagai salah satu media untuk mendigitalisasi materi ajar dan mengembangkannya menjadi media/model pembelajaran yang berbasis teknologi.
Saat ini sedang berlangsung proyek spesifik terhadap pentingnya pengembangan SDM melalui Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (TVET).
Melalui proyek TVET tersebut telah ditunjuk beberapa institusi pendidikan yang menjadi kolaborator untuk pengembangan konten VR dalam berbagai topik vokasi. Pada prosesnya, para institusi pendidikan yang ditunjuk ini diharapkan dapat mengembangkan konten sebagai bagian dari digitalisasi materi ajar. Sehingga kemudian, materi ajar yang sebelumnya hanya bisa ditransfer melalui tatap muka di dalam kelas dapat ditampilkan dalam wujud alternatifnya melalui teknologi VR/AR atau pada akhirnya dapat ditampilkan melalui metaverse. Walaupun wujud metaverse itu virtual, kita sudah seharusnya menyoroti langkah yang lebih konkret.
Di luar proyek nasional yang sedang dikerjakan tadi, ada satu harapan yang ke depan bisa menjadi pemikiran bersama. Metaversedengan segala komponennya akan terus bergerak maju. Banyak sektor yang akan beradaptasi dan mengikuti kemajuan perkembangan teknologi dan konsep turunannya. Konten-konten yang berkaitan dan diharapkan dapat mengisi metaverseakan terus dibutuhkan. Keahlian-keahlian baru akan dibutuhkan, profesi-profesi baru mungkin akan muncul.
Sektor pendidikan yang pertama-tama harus bersiap. Karena apa, lagi-lagi semua harus bermula dari sektor ini. Ke depan akan dibutuhkan satu institusi, mungkin jurusan atau program studi yang fokus mengajarkan pengembangan metaverse. Baik secara teknologi maupun konten, teknologi VR/AR, grafik visual komputer, kamera 360, kurensi digital, NFT, dan lain sebagainya. Tak hanya pengajaran, tetapi kegiatan penelitian di balik ingar-bingar metaversejuga mulai dipikirkan.
Sekali lagi, metaverseadalah tujuan, harus ada proses pengukuran dan pembuktian bahwa peradaban manusia akan selamat mencapai tujuan baru. Metaverse!
Zul Tinarbuko, Praktisi Media Baru dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara