Pemerintah dan entitas terkait sebaiknya tidak terburu-buru menggelar proyek ”metaverse” di Indonesia. Banyak aspek yang harus dipenuhi agar kehadiran ”metaverse” bisa mengangkat ekonomi nasional secara nyata.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Perbincangan soal metaverse di dalam negeri semakin sering terdengar setelah perusahaan teknologi WIR Group digadang-gadang akan memperkenalkan purwarupa ekosistem metaverse Indonesia dalam agenda presidensi G-20 Indonesia.
WIR Group merupakan perusahaan teknologi berbasis realitas virtual (virtual reality/VR) dan realitas berimbuh (augmented reality/AR) yang berdiri sejak 2009 di Indonesia.
Obrolan soal metaverse semakin riuh tatkala di awal tahun ini dua bank BUMN, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, mengumumkan kerja sama mereka dengan WIR Group untuk secara bertahap menggarap segmen bisnis pada ekosistem metaverse.
Jika ditelusuri, istilah metaverse mulai dipopulerkan pada 1992 oleh penulis Neal Stephenson lewat novel fiksi distopia karangannya yang berjudul Snow Crash.
Novel ini memiliki latar waktu di awal abad ke-21. Sang tokoh utama, Hiro Protagonist, merupakan pengantar piza di dunia nyata yang menjadikan metaverse sebagai pelarian. Ia menggunakan avatarnya untuk menjelajahi dunia virtual dan banyak menghabiskan waktunya di metaverse.
Tahun lalu, topik soal metaverse kembali populer secara global setelah pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, mengumumkan perubahan nama perusahaan induknya dari Facebook Inc menjadi Meta Platforms Inc. Perubahan nama ini mencerminkan komitmen perusahaan untuk mengembangkan teknologi interaksi tiga dimensi yang lebih riil pada platform-platform mereka.
Teknologi yang membangun ekosistem metaverse memungkinkan avatar kita beraktivitas di dunia maya senyata mungkin, mulai dari belanja, bermain, bersosialisasi, dan bekerja.
Lembaga riset teknologi asal Amerika Serikat, Gartner Inc, mendefinisikan metaverse sebagai ruang bersama virtual kolektif, yang diciptakan oleh konvergensi realitas fisik dan digital. Kolektivitas ini membuat pelaku bisnis tidak perlu membuat infrastruktur mereka sendiri untuk berbisnis karena metaverse telah menyediakannya.
Sederhananya, metaverse adalah dunia maya yang diciptakan dengan menghadirkan kehidupan secara nyata. Teknologi yang membangun ekosistem metaverse memungkinkan avatar kita beraktivitas di dunia maya senyata mungkin, mulai dari belanja, bermain, bersosialisasi, dan bekerja.
Metaverse dengan pengadopsian teknologi rantai blok (blockchain) punya ruang pengembangan yang nyaris tidak terbatas sebagai platform bisnis dan transaksi. Potensi ini bisa tergarap optimal dengan syarat kualitas infrastruktur digital, termasuk sumber daya manusianya, sudah memadai.
Tentu untuk menyambut potensi metaverse, Indonesia perlu memiliki sumber daya manusia yang punya kemampuan dan kecakapan digital mumpuni. Talenta digital yang mumpuni akan membuat negeri ini tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga menjadi pemain di bidang teknologi.
Potensi ini bisa tergarap optimal dengan syarat kualitas infrastruktur digital, termasuk sumber daya manusianya, sudah memadai.
Berdasarkan laporan konsultan strategi ekonomi AlphaBeta di tahun 2020, jumlah tenaga kerja yang menggunakan keterampilan digital di dunia sebanyak 149 juta orang. Jumlah ini diprediksi akan meningkat hingga 819 juta pekerja pada 2025. Keterampilan digital yang dimaksud di sini di antaranya kemampuan mengoperasikan perangkat lunak, mengembangkan web/perangkat lunak/gim, hingga membuat pemodelan data skala besar.
Masih menurut AlphaBeta, Australia menjadi negara dengan persentase pekerja berketerampilan digital paling tinggi di Asia Pasifik. Sebanyak 64 persen pekerjanya telah mengaplikasikan keterampilan digital. Sementara, hanya 19 persen pekerja Indonesia yang punya kecakapan digital.
Laporan lain yang dibuat Institute for Management Development juga memperjelas fakta bahwa daya saing dan kompetensi sumber daya manusia di sektor digital Indonesia masih rendah. Untuk wilayah Asia, daya saing masyarakat menempati posisi ketiga terendah pada 2021.
Daya saing digital dalam laporan tersebut merujuk pada tiga indikator utama, yakni pengetahuan untuk menemukan, memahami, dan membangun teknologi baru; teknologi untuk melihat kemungkinan pengembangan di suatu negara; serta tingkat kesiapan sebuah negara dalam memanfaatkan transformasi digital.
Bila menyampingkan literasi keamanan digital, metaverse bisa menjadi mimpi buruk penggunanya.
Ketangguhan sistem keamanan digital juga menjadi syarat mutlak jalannya ekosistem metaverse. Awal tahun ini, Nina Jane Patel (43), perempuan asal London, Inggris, mengisahkan mimpi buruknya saat mencoba masuk ke dunia virtual Horizon Venues buatan Meta. Ia dilecehkan secara verbal serta mendapat serangan secara seksual oleh tiga atau empat avatar dengan suara laki-laki.
Bila menyampingkan literasi keamanan digital, metaverse bisa menjadi mimpi buruk penggunanya. Perlu diketahui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah meluncurkan hasil riset bertajuk ”Survei Status Literasi Digital Indonesia pada Oktober 2021”. Hasil survei menunjukkan indeks literasi keamanan digital Indonesia terhitung rendah, dari skala 1-5, Indonesia berada di kisaran nilai 3,1.
Pemerintah dan entitas terkait sebaiknya tidak terbawa arus tren global kemudian terburu-buru menggelar proyek metaverse Indonesia. Banyak aspek yang harus dipenuhi oleh pemerintah agar kehadiran metaverse bisa mengangkat ekonomi nasional secara nyata.
Sebelum bicara banyak soal metaverse, mari berkaca dan melakukan penilaian diri. Sudah siapkah talenta-talenta di Indonesia dalam menyambut metaverse?