Sedikit demi Sedikit, Lama-lama Jadi Metasemesta
”Augmented reality” atau AR diyakini Meta sebagai persiapan menuju metasemesta. Namun, di luar ambisi besar Zuckerberg, fisibilitas dunia virtual di masa depan masih banyak dipertanyakan.

Salah satu filter AR yang dipamerkan di #MenujuMetaverse Cafe dibuat oleh acara reality show kompetisi menyanyi The Voice, seperti yang terlihat pada Jumat (5/8/2022). Filter AR mendeteksi jari yang membentuk huruf V lalu menimpanya dengan logo acara tersebut.
Baru lima hingga sepuluh tahun lagi metasemesta (metaverse) atau dunia virtual diyakini baru siap menyentuh kehidupan sehari-hari umat manusia. Ini bukan pernyataan dari kaum skeptik. Justru ini dari Meta, yang ”meledakkan” istilah metaverse itu sendiri ketika berganti nama dari Facebook pada Oktober 2021 lalu.
Country Director untuk Meta di Indonesia, Pieter Lydian, mengatakan, metasemesta membutuhkan waktu karena banyak hal harus dikembangkan agar memungkinkan metasemesta bisa terbangun kelak. Dari sisi teknologinya sendiri hingga kesiapan talenta yang ada.
Untuk mempersiapkan itu, pengembangan AR atau augmented reality dinilai menjadi jembatan yang tepat menuju metasemesta.
”Selama ini metasemesta mungkin lekatnya sama VR (virtual reality). Itu tidak salah, tetapi kurang tepat. Karena metasemesta mungkin baru terbangun 5–10 tahun mendatang. Tapi hari ini, kita bisa mengintip (metasemesta) melalui AR (augmented reality),” kata Pieter pada Jumat (5/8/2022) di Jakarta dalam acara peluncuran #MenujuMetaverse Cafe.

Presiden Hacktiv8 Juventia Vicky Riana (kiri) berbincang dengan Country Director untuk Meta di Indonesia Pieter Lydian (tengah) dan Manager Program AR/VR Asia Pacific Meta Trimikha Valentius (kanan) saat peluncuran pameran bertajuk #MenujuMetaverse Cafe di Titik Temu Coffee, Blok M, Jakarta Selatan, pada Jumat (5/8/2022). Pieter mengatakan, metasemesta yang dipopulerkan oleh Meta baru akan siap 5-10 tahun lagi, sesuai dengan perkembangan teknologi, kreator, dan platform, serta perangkatnya.
AR adalah singkatan dari augmented reality. AR memungkinkan pengguna berinteraksi dengan benda digital dalam konteks dunia nyata. Contoh sederhana adalah filter swafoto topeng di Instagram atau Snapchat. Topeng tersebut adalah benda digital, tetapi seakan terpasang di benda fisik, yakni wajah pengguna.
Contoh lain adalah fitur penerjemahan otomatis di Google Translate. Pengguna cukup mengarahkan kamera ke tulisan berbahasa asing, lalu aplikasi otomatis membaca dan menimpa tulisan tersebut dengan bahasa yang kita inginkan.
Baca juga: Metaverse-Dimensi Kehidupan Virtual Buatan Manusia
Metasemesta mendudukan konsep utamanya pada VR atau virtual reality. Di sini, realitasnya adalah virtual; seluruhnya dibangun dari benda virtual. Pengguna dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan virtual ini.
#MenujuMetaverse Cafe adalah sebuah pameran filter augmented reality (AR) Instagram. Ada setidaknya 20 filter AR yang dipamerkan. Pameran ini berlangsung pada 5–7 Agustus 2022 di Titik Temu Coffee, M Bloc Space, Jakarta Selatan.

Lorong masuk menuju pameran filter augmented reality (AR) #MenujuMetaverse Cafe yang digelar di Titik Temu Coffee, Blok M, Jakarta Selatan, seperti yang terlihat pada Jumat (5/8/2022). Pameran ini menampilkan 20 filter AR Instagram yang hasil bootcamp Metavolution Spark AR hasil kerja sama sekolah pemrograman Hacktiv8 dan Meta.
Pieter mengatakan, #MenujuMetaverse Cafe adalah cara untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mulai mencicipi bagaimana berinteraksi dengan benda digital dalam skala yang sederhana; contoh kecil kelak bagaimana metasemesta bekerja.
Pengguna cukup mengarahkan kamera ponsel mereka ke kode QR yang disediakan. Jika berhasil terpindai, kode tersebut akan membawa kita ke tautan sebuah video Instagram Reels yang menggunakan filter tersebut. Di situ, pengguna bisa mencoba efek AR yang ditawarkan.
Kreator filter AR yang dihadirkan, antara lain, adalah Magdalena Fridawati, Clarissa Putri, Anastasia Siantar, Indra Jegel, dan Luthfi Himawan. Ada juga filter AR buatan lembaga dan korporasi seperti dari PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dan reality competition show The Voice.
Filter AR yang ditawarkan beragam bentuknya. Dari yang simpel seperti filter untuk swafoto hingga sebuah gim. Namun, pameran ini menunjukkan kapabilitas interaktivitas AR.
Misalnya, filter ShootingConeTraining yang diproduksi PSSI, memanfaatkan kamera pada ponsel untuk mengendalikan arah tendangan karakter gim yang berlatih menendang bola ke cone.
AR memang dianggap oleh Meta, perusahaan induk Facebook, Instagram, Oculus, dan Whatsapp, sebagai langkah awal untuk membangun metasemesta.
Logikanya mudah dipahami. Sebelum membangun dunia yang seluruhnya terdiri atas benda virtual, ada baiknya latihan dengan menghadirkan benda virtual di lingkungan dunia nyata.

Marker atau penanda konten AR buatan PSSI, seperti yang terlihat pada Jumat (5/8/2022) di Jakarta.
Dunia virtual metasemesta memang menjadi ambisi besar Mark Zuckerberg. Begitu besar ambisinya hingga, nama perusahaan yang didirikannya diubah dari Facebook menjadi Meta.
Pieter mengutip sebuah laporan yang disusun firma riset pasar Analysis Group bersama Meta yang mengklaim bahwa metasemesta dapat memberikan kontribusi ekonomi secara global sebesar 3 triliun dollar AS pada 2031. Angka fantastis ini setara Rp 44.731,7 triliun atau hampir 15 kali lebih besar dari APBN 2022 Indonesia.
”Bahkan dari 3 triliun dollar AS itu, sepertiganya dari kawasan Asia Pasifik. Jadi, penting sekali mendorong komponen bangsa untuk membangun metasemesta bersama dan jadi pemain produktif yang bisa mengambil potensi tersebut,” kata Pieter.
Pieter mengatakan, dalam pembangunan metasemesta, dibutuhkan empat komponen. Pertama adalah kreator. Mereka yang akan membangun dunia virtual ini. Kedua, konektivitas. Ketiga, perangkat. Keempat adalah platform.
Oleh karena itu, untuk memulai membangun ambisi metasemesta, kolam talenta kreator yang kapabel perlu dibentuk.
Baca juga: Bicara Talenta Sebelum Bicara ”Metaverse”
Dalam upaya ini, Meta menggandeng Hacktiv8, lembaga pelatihan pemrograman asal Indonesia. Meta dan Hacktiv8 menggelar Metavolution with Spark AR, sebuah kompetisi dan bootcamp khusus pengembangan produk AR. Program ini berjalan selama Mei-Juni 2022
Sebanyak 10 efek AR yang dihadirkan oleh Meta saat itu adalah lulusan dari program ini, kata President of Hacktiv8 Juventia Vicky Riana.
”Dari 500 pelamar, kami memilih 50 orang untuk ikut program. Dari situ terpilih 45 efek filter AR. Instalasi AR yang hadir di sini adalah kreasi dari mereka yang ikut bootcamp Metavolution. Harapannya, setelah program ini berakhir, mereka dapat dilirik oleh calon klien yang dapat meng-hire mereka untuk brand perusahaan mereka,” kata Vicky.
Belum diyakini semua pihak
Pandangan bahwa metasemesta akan menjadi sebuah teknologi yang mengubah dunia dalam jangka waktu 1-2 dekade ke depan belum menjadi konsensus yang diyakini luas.
Pada Februari-Maret 2022 lalu, Pew Research Center dan Elon University, North Carolina, AS, menyurvei 624 inovator teknologi, pengembang, pemimpin bisnis, pejabat publik, peneliti, dan pegiat teknologi soal pandangan mereka terhadap peran metasemesta kelak pada 2040; 18 tahun mendatang. Hasilnya lalu disusun dalam dokumen ”The Metaverse in 2040” yang diterbitkan 30 Juni 2022 .
Hasilnya, 46 persen atau hampir setengah dari para pakar tersebut tidak percaya bahwa metaverse akan berperan signifikan dalam kehidupan sehari-hari dua dekade dari sekarang.

Meta ikut membuka paviliun di rangkaian Pertemuan Tahunan Forum Ekonomi Dunia 2022, di Davos, Swiss. Meta mengusung tema metasemesta di paviliunnya. Pengunjung yang hadir bisa mencoba metasemesta yang dibawa Meta.
Ada sejumlah argumen terhadap pandangan tersebut. Pertama, sejumlah pakar mengutarakan bahwa dalam virtual reality dan metasemesta hanya akan menarik audiens yang spesifik. Mereka meyakini bahwa mayoritas umat manusia tidak akan melihat sejumlah fitur yang dianggap meningkatkan kualitas hidup mereka dari metasemesta.
Kedua, perkembangan teknologinya belum akan memadai pada 2040. Peralatan yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam dunia VR dan metaverse diyakini sejumlah pakar belum benar-benar mudah digunakan (user-friendly). Diyakini, kecepatan jaringan internet dan luasnya akses masih akan menjadi ganjalan bagi metasemeta untuk diadopsi luas secara global.
Baca juga: Kampus Mulai Kembangkan Mata Kuliah di ”Metaverse”
Ketiga, para pakar meyakini ada kekhawatiran dari publik bahwa metasemesta dan dunia VR hanya digunakan oleh korporasi besar untuk mencari keuntungan. Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa rezim otoritarian juga dapat memanfaatkan dunia VR untuk melakukan surveilans. Kedua hal ini akan memperlambat adopsi VR dan metasemeta di masa depan.
Keempat, metasemesta dan VR diyakini juga akan lambat adopsinya karena teknologi ini dilihat publik dapat memperparah sejumlah problem sosial yang saat ini sudah muncul.
Sejumlah hal ini, antara lain, memperlebar kesenjangan digital, memunculkan bentuk baru pelecehan dan perundungan, memberi kanal baru untuk misinformasi, hingga memicu ancaman baru terhadap data pribadi, hingga meningkatkan komersialisasi dan monetisasi terhadap kegiatan manusia sehari-hari.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F09%2F93e4b09a-a452-47c2-bf02-a2925c1cd4aa_jpg.jpg)
Kapolres Kendari Komisaris Besar Eka Faturrahman, disaksikan Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir (kedua dari kiri), mencoba masuk di dunia Kendari Metaverse di kantor Wali Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (9/5/2022). Program ini merupakan langkah lanjutan memperluas digitalisasi yang diluncurkan tepat di hari ulang tahun ke-191 Kendari.
Jacquelyn Ford Morie, seorang pionir VR dan chief scientist di firma VR All These Worlds, mengatakan, kesuksesan VR pada dua dekade ke depan mensyarakatkan teknologi ini dapat memberikan benefit kepada publik, bukan sekadar hiburan atau gim.
”(Metasemesta dan VR) harus memberikan value kepada penggunanya—tidak sekadar melihat mereka sebagai sumber uang,” tulis Morie.
Senior fellow University of California, San Diego, Michael Kleeman, mengatakan, dunia VR tidak mampu menggantikan kepuasan yang bisa dihadirkan dunia nyata.
”Kecuali kita melihat ada keinginan berskala besar dari umat manusia untuk kabur dari kenyataan, dunia virtual tidak akan menambah banyak nilai untuk manusia. Dunia virtual tidak mampu memuaskan dinamika nyata hubungan interpersonal. (VR) pun mahal secara bandwidth internet, kecuali Anda hanya bermain gim. Dan ini pun cuma memberikan sedikit value,” kata Kleeman.
Kendati demikian, VR memang memiliki janji yang fantastis. Avi Bar-Zeev, ko-kreator dari Google Earth dan HoloLens, mengatakan, VR akan secara fundamental dapat menghilangkan batas-batas paling dasar kehidupan nyata: ruang lokasi, hukum fisika, dan bahkan waktu.
”Di mana beberapa jam hanya terasa beberapa menit, dan kita bisa pergi ke masa lalu atau imajinasi masa depan,” tulis Bar-Zeev.