Kepada orangtua, para remaja ini meyakinkan bahwa menikah di usia belia lebih banyak celakanya daripada bahagianya.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Nai marah-marah lantaran anak gadisnya, Chanda, menolak ketika diminta mencuci piring dan membersihkan rumah. Chanda justru meminta ibunya agar memerintah Bento (14) untuk membersihkan rumah. Alasannya, Chanda sudah terlalu sering dimintai tolong dan seharusnya gantian dengan kakak lelakinya itu. Menurut Chanda, Nai sebagai ibu harus adil.
Nai marah-marah dan menuding Chanda telah bersikap kurang ajar terhadap seorang ibu. Lagi pula, kata Nai, seorang anak laki-laki tidak seharusnya mencuci piring ataupun membantu membersihkan rumah. Sebab, kelak, tugasnya jauh lebih berat, yakni menjaga martabat keluarga.
Menyikapi itu, dengan nada lembut, Chanda mengatakan, ”Kalau sa(ya) bisa mencuci piring, bersihkan rumah, Kakak Bento juga bisa cuci piring dan bersihin rumah. Terus kalau Kakak Bento bisa menggembala kambing dan cari kayu, sa(ya) juga bisa bantu. Yang ga bisa dilakukan laki-laki adalah menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.”
Nai melunak dan mencerna kata-kata anaknya itu. Merasa mendapat angin, Chanda lalu menjelaskan dengan panjang lebar tentang konsep jender. Dia menekankan bahwa peran jender yang diungkapkan Nai yang bernada memprioritaskan laki-laki tersebut hanyalah konstruksi sosial dan banyak merugikan perempuan. Padahal seharusnya laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dalam bingkai yang adil.
Tiga paragraf tadi merupakan penggalan drama berdurasi 15 menit berjudul ”Kesetaraan Gender”. Naskah drama itu ditulis oleh Chanda, yang sekaligus berperan sebagai anak dalam drama tersebut. Dalam kehidupan nyata, Chanda seorang siswi kelas I sekolah menengah kejuruan yang tinggal di sebuah desa di Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Siang itu, di teras sebuah Gedung yang biasanya dimanfaatkan sebagai fasilitas menimbang bayi oleh pos pelayanan terpadu (posyandu) setempat, sekitar 20 remaja berkumpul, Rabu (1/6/2022).
Mereka bermain drama, bercerita tentang kesibukan keseharian, lalu bermain ular tangga.
Para remaja ini tergabung dalam komunitas Memilih Masa Depan (Mapan), sebuah komunitas yang dinisiasi Plan Indonesia dengan tujuan utama memberi bekal kepada remaja dan anak muda menghadapi masa depan. Di komunitas ini, mereka mendapatkan pendamping yang membantu memahami permasalahan di sekeliling, lalu memberinya pemahaman baru. Para remaja ini lambat laun paham tentang hal-hal yang tidak seharusnya dan pelan-pelan menjadi agen yang turut meluruskan hal-hal bengkok tadi.
Drama pendek si atas merupakan salah satu karya yang lahir dari kegelisahan sekaligus pengetahuan tentang konstruksi soal terjadi relasi jender yang ganjil. Drama tadi sempat ditampilkan di beberapa tempat sebagai alat kampanye tentang pentingnya berlaku adil terhadap anak tanpa menjadikan jenis kelamin sebagai penghambat.
Tari (13), salah satu anggota Mapan, mengatakan, dahulu banyak sekali anak perempuan yang dilarang sekolah tinggi-tinggi oleh orangtuanya. Bahkan yang lulus SMA pun jarang. Alasan orangtua jelas sekali bahwa ketika beranjak remaja, perempuan harus segera menikah. ”Katanya untuk mengurangi beban keluarga, jadi harus cepat menikah,” ujar Tari.
Di banyak desa di Nagekeo masih banyak orangtua yang beranggapan bahwa anak perempuan adalah beban. Beban itu akan berkurang ketika dia remaja dan menikah. Sebab, tanggung jawab akan beralih dari orangtua kepada suami. Akibatnya, banyak anak menikah saat masih terlampau belia, di bawah umur. Ini kemudian memunculkan dampak lanjutan, yakni tengkes (stunting) karena mereka belum cukup matang secara mental dan tak cukup lihai mengasuh anak.
Tidak sedikit juga para suami yang menikah di usia muda ini akhirnya meninggalkan anak istrinya dengan alasan merantau untuk memperbaiki perekonomian. Pada akhirnya, istri dan anaknya kembali ke orangtua dan kembali menjadi beban. ”Saya tidak mau seperti itu,” kata Tari, gadis berpostur jangkung yang bercita-cita menjadi polisi ini.
Berani bermimpi
Setelah bergabung dengan Mapan dan mendapat banyak pengetahuan, Tari dan rekan-rekannya menjadi agen bagi kawan-kawan sebayanya. Beberapa anak yang putus sekolah mereka datangi ke rumahnya dan mereka ajak lagi untuk kembali ke sekolah. Beberapa berhasil masuk sekolah dan berani bermimpi sembari menolak menikah di usia muda.
Lebih dari itu, anak-anak belia ini mempunyai keberanian tinggi untuk berbicara di depan umum. Selain karena biasa dilatih, mereka juga sudah biasa berargumen saat menghadapi sikap orangtua yang kadang tak sebangun dengan keinginan mereka. Keberanian itu yang membuat mereka tak takut bermimpi. Mereka juga mempunyai gambaran sendiri kapan waktu yang pas untuk menikah, bukan lagi berdasarkan keinginan orangtua.
”Nanti saja kalau sudah jadi pengacara,” kata Ica, gadis berusia 15 tahun yang lebih suka mengepang dua rambutnya itu. Dia ingin menjadi pengacara agar bisa membantu banyak orang yang terkena masalah.
Adapun penulis drama tadi, Chanda, ingin menjadi dokter spesialis saraf. Selain agar bisa menolong banyak orang, dia menilai menjadi dokter akan mudah mempunyai banyak uang. Tentu saja sebagian uang itu juga akan dia gunakan untuk membantu orang lain. Cita-cita itu tercetus setelah dia melihat kehidupan tantenya yang seorang dokter. Berkaca dari tantenya yang tinggal di Kupang itu, Chanda makin yakin bahwa perempuan bisa mandiri, sukses, dan memberi manfaat baik bagi sekeliling. Syaratnya ialah salah satunya jangan buru-buru menikah saat masih berusia di bawah umur.
Di desa lain, di Enonapi, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Ningsi Selan (19) beserta teman-temannya di Komisi Perlindungan Anak Desa melakukan hal serupa. Mereka berkampanye kepada sesama remaja agar menolak dinikahkan di usia belia. Kepada orangtua, mereka meyakinkan bahwa menikah di usia belia lebih banyak celakanya daripada bahagianya. Kampanye oleh anak-anak muda keren ini membuahkan hasil, di Enonapi tidak ada lagi pernikahan di bawah umur, setidaknya dalam empat tahun terakhir ini.
Hasilnya, antara lain, angka tengkes menurun drastis. Semula ada 39 anak tengkes, sekarang tinggal satu.