Komitmen dalam berkreasi dan berkarya tidak lahir begitu saja. Cinta dan kesetiaan menjadi penggeraknya. Selain pada dunia mode, loyalitasnya pada wastra Nusantara, terutama kain lurik, membawanya hingga pada titik ini.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
Komitmen dalam berkreasi dan berkarya tidak lahir begitu saja. Cinta dan kesetiaan menjadi penggeraknya. Selain pada dunia mode, loyalitasnya pada wastra Nusantara, terutama kain lurik, membawanya hingga pada titik saat ini. Capaian 15 tahun yang jauh dari hingar-bingar bagi desainer Phillip Iswardono.
Bertajuk Love, Loyalty, Dedication, peragaan busana tunggal yang digelar di Candhari Heaven, Yogyakarta, Sabtu (25/6/2022), bukan hanya merayakan kiprah Phillip sepanjang 15 tahun. Akan tetapi, acara ini juga menjadi persembahan dan penghormatan Phillip bagi sahabatnya, Wim van Kuijk, seorang penulis asal Belanda.
”Dia adalah sosok yang penting bagi saya dan menginspirasi. Dia juga terus memberikan dukungan dan motivasi saat merasa ragu. Perjalanan saya di dunia rancang busana ini tidak akan sampai di sini tanpa sosoknya,” ucap Phillip ketika dijumpai sebelum peragaan busana.
Untuk itu, perhelatan pada sore hari yang hangat di taman terbuka tersebut dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama, dibuka dengan memperlihatkan kemampuannya mengolah kain lurik menjadi busana yang cocok digunakan lintas usia. Phillip mendirikan jenama bernama Konsep by Phillip. Maklum, dari 15 tahun berkarya, sedekade dihabiskannya menggali keragaman kain lurik.
Pria asal Yogyakarta ini juga menggunakan momen kali ini untuk menerbitkan buku bertajuk Larik Lurik yang berkisah tentang sejarah kain lurik dan upayanya. Kain lurik yang naik daun ketika kampanye wastra mulai digalakkan ini memang memiliki cerita yang unik.
Sekilas kain lurik yang kerap disulap menjadi atasan berbentuk surjan ini akrab dikenakan oleh bapak penarik andong atau sebagai kain gendongan mbok bakul di pasar. Padahal, keberadaan kain lurik ini juga digunakan para bangsawan keraton pada masanya sebagai busana pesiar.
Berbicara sejarah, jejak lurik dengan motif Tuluh Watu terpatri dalam Prasasti Raja Airlangga berangka tahun 1033 Masehi. Kala itu, lurik digambarkan digunakan oleh anak-anak dalam upacara ruwatan. Dalam buku bertajuk Lurik: Sejarah, Fungsi, dan Artinya bagi Masyarakat yang ditulis Wahyono, kehadiran lurik bisa jadi jauh lebih tua lagi. Jenis luriknya pun beragam dengan ragam nama karena lurik bukan sekadar garis. Lurik yang identik dengan garis memiliki pemaknaan dan kegunaannya tersendiri.
Dari buku yang ditulis Phillip, motif dasar lurik secara umum terdiri dari corak garis searah panjang kain yang disebut lajuran. Kemudian, ada juga garis yang searah lebar kain yang disebut pakan malang. Selain itu, ada lurik dengan corak kecil yang disebut cacahan.
Untuk motifnya, Udan Liris yang berbentuk garis tidak lurus dan terputus seperti rintik hujan. Kemudian, motif Kluwung yang menampakkan garis lebar terpola. Motif ini dipercaya sebagai tolak bala, kadang juga digunakan dalam upacara tujuh bulanan seorang ibu. Ada juga yang memilih menggunakan motif Tumbar Pecah.
Motif lainnya adalah Sapit Urang yang biasa digunakan para prajurit keraton dan Kain Telupat yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bermakna kehidupan pemakai yang damai, sejahtera, dan makmur. Masih banyak lagi motif yang lain.
Kali ini, ragam motif ini digabungkan oleh Phillip dan dipadukan dengan tenun ikat menjadi busana-busana yang berjiwa muda, urban dan kekinian. Sebanyak 36 tampilan dibesut dalam bentuk gaun selutut, set atasan dan bawahan, luaran, hingga atasan bergaya kimono.
Ciri khasnya berupa gaya tumpuk dan drapery dituangkan dalam koleksi ini. Pada dasarnya, tak ada kejutan yang baru dalam siluet yang disuguhkan. Namun, sesuai dengan perayaan 15 tahun, karya-karyanya kali ini seperti katalog apa yang pernah dibuatnya hanya dengan pemilihan dan paduan kain yang lebih segar.
Kesetiaannya pada lurik bukan tanpa alasan. ”Ini juga merupakan bentuk pemberdayaan para perajin yang ada. Lurik ini membuatnya tidak mudah sesungguhnya karena itu perajin harus memperoleh hak yang semestinya,” ucap Phillip.
Ini juga merupakan bentuk pemberdayaan para perajin yang ada. Lurik ini membuatnya tidak mudah sesungguhnya karena itu perajin harus memperoleh hak yang semestinya.
Warna musim panas
Sementara itu, pada sesi kedua, Phillip keluar dari zona nyamannya yang biasa mengolah kain tradisional. Para model yang biasanya hanya wara-wiri di landas peraga tampil secara teatrikal. Mereka tertawa dan berjalan ke sana kemari seolah tengah menjelajah tempat liburan yang eksotis.
Aneka gaun musim panas dengan bawahan yang melambai ringan. ditampilkan. Siluetnya tanpa lengan menambah kesan santai dan bebas. Ada pula set atasan dan bawahan yang beberapa berbentuk crop top dengan celana lebar. Motif bunga, garis-garis, kotak-kotak, hingga colorblock mendominasi dalam 36 tampilan.
Warnanya terasa segar, dipenuhi warna oranye dan merah muda. Kombinasi warna lain, seperti biru, kuning, dan hijau lembut, menambah cemerlang. Hanya saja, Phillip sepertinya enggan ribet sehingga pemilihan siluet untuk busananya tidak neko-neko. Begitu pula dengan tampilan busana untuk pria yang cukup memadukan kemeja motif floral atau bergaris dengan celana pendek.
”Sengaja ingin memilih yang nyaman dan bisa dikenakan kapan saja sesuai dengan suasana. Karena itu, pilihan terusan dengan potongan lebar atau two pieces yang warna-warni tidak terlalu ketat dengan potongan yang umum disukai yang diambil pada koleksi kali ini,” kata Phillip.
Memang, kadang kala perayaan tak perlu sesuatu yang penuh kejutan. Cukup mereka ulang jejak yang pernah ditapaki sebagai ajang untuk refleksi diri.