Lintas Masa Sang Wastra
Wastra Nusantara kian mencuri perhatian. Tiap-tiap cara dengan kemasan kekinian yang inovatif dihadirkan untuk menjaga salah satu ragam budaya Tanah Air. Ini semua agar warisan budaya yang ada tidak terus tenggelam.
Wastra Nusantara kian mencuri perhatian. Tiap-tiap cara dengan kemasan kekinian yang inovatif dihadirkan untuk menjaga salah satu ragam budaya Tanah Air. Ini semua agar warisan budaya yang ada tidak terus tenggelam dalam pusaran zaman yang serba cepat.
”Ahai Nurlela! Sukanya berlagu mambo chacha....”
Sepenggal lagu milik Bing Slamet yang tenar pada 1960-an ini sayup-sayup mewarnai ruangan yang biasa dijadikan tempat nongkrong anak muda. Bukan musik Barat modern ataupun tembang Indonesia kekinian seperti khitahnya.
Area tersembunyi di lantai dua dengan pemandangan sekeliling berupa gemerlap gedung pencakar langit Ibu Kota yang biasanya dipenuhi muda-mudi bergaya modis dan trendi, sejenak bersalin rupa. Silih berganti paras kinyis-kinyis berbalut aneka kain Nusantara memadati ruangan.
Pesta Wastra. Begitu tajuk acara yang diinisiasi Komunitas Swara Gembira dari 10-16 Juni 2022. Paguyuban yang berdiri pada 2017 ini berisi anak muda yang peduli pada budaya Indonesia dengan cara yang menarik. Di dalam Pesta Wastra ini ada Pasar Wastra dan lokakarya wastra yang dijalankan Remaja Nusantara yang juga terafiliasi dengan Swara Gembira.
”Lokakaryanya ini mengajarkan anak muda cara mengenakan kain dengan berbagai cara. Jadi, enggak cuma bisa dipake ke acara yang formal. Tapi, untuk nongkrong, ke party, bahkan ke mal,” jelas Brand Director Pasar Wastra, Vianka Svetlana (20), ketika dijumpai di Lucy in The Sky, Kawasan Pusat Bisnis Sudirman, Jakarta, Kamis (16/6/2022).
Sementara untuk Pasar Wastra, memang tak padat layaknya pameran besar. Namun, menurut Vianka, 500 lembar kain dari para perajin yang disediakannya laku terjual. ”Ini udahnambah beberapa ratus lagi. Enggak nyangka peminatnya tinggi,” ungkap Vianka.
Kain beraneka ragam dari Endek Bali, bermacam batik dari sejumlah kota, hingga tenun digantungkan di tiang etalase. Sementara itu, sejumlah kain dengan berbagai motif yang sekilas mirip batik dibentangkan berjajar di belakang panggung, tempat para bintang tamu memanaskan suasana pada malam harinya.
Ya, malam hari menjadi ajang pesta anak muda berkain Indonesia. Bahkan ada satu hari dirayakan juga dengan iringan lagu daerah. Dari ”Ampar-ampar Pisang”, ”O Ina Ni Keke”, hingga ”Cik cik Periuk” dinyanyikan luar kepala bersama-sama oleh para pengunjung diiringi aktor kakak-beradik Jovial Da Lopez dan Andovi Da Lopez.
Walakin, sejumlah kain di belakang panggung tersebut tidak dijual saat itu. Kain-kain itu merupakan besutan dari empat perempuan pesohor, yakni Eva Celia, Tara Basro, Arawinda Kirana, dan Rachel Amanda. Masing-masing membuat tiga motif yang kemudian menggunakan teknik cap dibubuhkan ke tiga kain. Dominasi tema tentang perempuan mengilhami keempat artis muda yang peduli pada kain Indonesia ini.
Berkain tak usai
Siasat untuk memperkenalkan wastra memang terus berevolusi. Namun, upaya melalui pergelaran busana juga beriringan masih berlanjut. Desainer Asha Smara Darra digandeng oleh The Apurva Kempinski Bali menggelar peragaan busana pada Mei lalu.
Sejalan dengan kampanye yang rutin dilakukan The Apurva, kali ini dengan judul Unity in Diversity membawa kain Nusantara. Asha pun memilih untuk mengangkat wastra dari Nusa Tenggara. Tidak hanya peragaan busana, Asha juga memamerkan koleksi kainnya dari sejumlah daerah di Nusa Tenggara.
Semuanya berasal dari perjalanannya pada 2004 menekuni kain-kain dari Nusa Tenggara yang beragam. Dari tenun Lombok, tenun Sabu, tenun Rote, tenun Flores, tenun Alor, tenun Sumba, tenun Timor, hingga tenun Buna. ”Awal perkenalan saya dengan kain Nusa Tenggara itu malah dengan Alor yang saat itu cukup sulit memperoleh informasinya,” jelas Asha.
Kini, perjalanan yang memiliki makna bagi perkembangannya itu dituangkan dalam 30 tampilan dengan beraneka macam siluet. Khas Asha yang lugas dan simpel terpancar dari karyanya kali ini. Sejumlah stelan atasan dan bawahan bergaya boxy top dipadu celana pendek dan atasan tak berlengan dengan celana lebar berpotongan 3/4 dihadirkan.
Tak ketinggalan gaun yang multifungsi dapat dikenakan untuk acara formal ataupun bersantai. Salah satunya tube dress. Gaun dengan detail bawah yang lebar berlipit berpotongan di pinggang dan bagian atasnya berupa kemben polos dapat dipadu dengan outer atau blazer dengan kain senada bawahannya.
Ada pula gaun panjang halter neck berbelahan tinggi berwarna merah polos yang dikombinasikan blazer tenun. Siluet ini tersedia dalam beberapa warna selain merah. Begitu juga dengan loose dress tanpa lengan selutut yang diciptakan beberapa versi dengan motif tenun berbeda-beda. Aplikasi berupa anyam juga bordir melengkapi koleksi kali ini.
Pengolahan kain menjadi aneka busana ini, lanjut Asha, dengan menggunakan sejumlah pertimbangan dalam hal pemotongan kain. ”Dilihat dari tingkat kesulitan pembuatan dan keindahannya sendiri. Ada kain yang buatnya sulit dan indah banget, jadi aku sendiri pun ngerasa aduh sayang deh dipotong,” ungkap Asha.
Apalagi jika kain yang hendak digunakan merupakan kain antik, Asha sering memutuskan untuk tak memotongnya. ”Dilihat juga berangkat dari nilai kain itu sendiri. Mau dijadikan busana atau tidak, itu lebih melihat ke kainnya seperti apa,” ujar peraih juara ASEAN Young Designer Contest di Singapura pada 1999 yang menguatkan ketertarikannya pada wastra.
Kegelisahan
Di tengah ingar bingar penggunaan wastra, Asha dan Vianka menyimpan kegelisahan serupa. Serbuan kain tradisi dengan metode print yang memang menjadikan harganya jauh lebih miring sangat disayangkan. Isu lama, tapi belum ditanggapi secara tepat. Padahal hal ini berpotensi menggerus para perajin wastra di daerah asalnya.
”Isu ini sangat penting. Kita mau menjaga dan melestarikan warisan budaya, tapi belum ada kebijakan dan pengaturan terkait motif asli yang banyak di-print begitu saja. Ini juga pengingat untuk kita yang bergerak di dunia fashion agar tidak mematikan wastra sendiri dengan printing,” tutur Asha.
Vianka juga mengimbau dan mengajak untuk lebih menghargai para perajin yang bersusah payah. Membuat sebuah kain itu merupakan seni keindahan tersendiri. Saran bagi anak muda yang mulai gemar berkain dan tergerak untuk koleksi, tetapi dananya masih terbatas, pemilihan batik cap dinilainya bisa menjadi pilihan ketimbang cetak yang kadang kala pun motifnya sekadar menjiplak dan tampak pabrikan.
Seperti benang yang saling mengikat dalam satu tenunan penuh makna, itulah budaya Indonesia. Untuk menjaganya, butuh usaha yang tak instan dan berkelanjutan.