Mengolah Keberagaman ala Lutfi Yanuar
Presentasi tanda dari artefak budaya memengaruhi cara kita menyerap, merasa, dan berpikir. Ini sebuah proses membentuk identitas. Presentasi inilah yang diadaptasi oleh Lutfi Yanuar.
Memperbincangkan keberagaman budaya menjadi sebuah ide sepertinya biasa, tetapi nyatanya masih ada kreativitas seni yang mampu menyegarkannya kembali. Misalnya, melukis keberagaman produk budaya melalui teknik yang saling dipertukarkan gaya dan medianya sebagai sisi keberagaman yang lainnya.
Di situ ada proses persilangan. Seperti produk budaya dari Timur berupa relief candi dari batuan andesit dilukis dengan gaya pop culture atau budaya popular yang sebelumnya berkembang di Barat. Ada lukisan realisme dari Barat diubah dengan teknik melukis seperti membuat relief candi dengan fluida serbuk marmer, dan sebagainya.
”Ketika semua orang mempunyai keberagaman cara, kita akan memiliki kualitas kekayaan persepsi,” ujar Lutfi Yanuar, perupa muda lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2017, Kamis (27/1/2022).
Saya ingin menampilkan ilusi, kedalaman, dan logika yang bermain dari setiap produk kebudayaan yang memiliki keberagaman.
Lutfi mencipta karya-karya lukisan dengan obyek keberagaman budaya yang ditemuinya selama ini. Ia menggunakan berbagai gaya dan media untuk melukiskannya. Karya-karya itu ditampilkan di Pameran Tunggal Menoreh Metafora, 21 januari hingga 21 Februari 2022 di Galeri Orbital Dago, Bandung.
Pameran karya-karya Lutfi ini menguatkan pentingnya menghormati suatu keberagaman budaya. Selain dari keberagaman artefak bersejarah sebagai produk budaya global, Lutfi menukik sampai ke bidang seni rupa sendiri yang juga memiliki keberagaman teknik.
”Saya ingin menampilkan ilusi, kedalaman, dan logika yang bermain dari setiap produk kebudayaan yang memiliki keberagaman,” ujar Lutfi.
Perahu Borobudur
Lutfi menceritakan sebuah karya lukisnya yang menampilkan salah satu artefak dalam relief Candi Borobudur, yakni perahu bercadik. Ia menggunakan teknik melukis pop culture sehingga nuansa relief batu candinya sama sekali hilang.
Perahu bercadik itu dilukis dengan warna biru di bidang bawah bagian kanvas yang berukuran 165 centimeter (cm) kali 150 cm. Bentuk dan komposisi kapal tetap sama dengan gambar yang tertera sebagai relief. Ada sapuan warna jingga yang mengesankan volume atau bentuk perahu itu tidak datar.
Di bagian atas perahu itu Lutfi melukiskan seorang dewi dari mitologi Romawi, yaitu Venus. Ia melukiskan seorang perempuan cantik yang berdiri di atas cangkang kerang besar yang terbuka.
”Ini dari sebuah lukisan realisme yang kemudian saya lukis dengan fluida dari serbuk marmer,” kata Lutfi, pria kelahiran Bandung, yang kemudian tumbuh di Kebumen, Jawa Tengah.
Lutfi di dalam lukisannya itu berupaya mengesankan Venus yang semula sebagai lukisan realisme diubah seperti arca. Di sisi kiri Venus itu kemudian dilukis sebuah medali dengan hiasan ornamental berwarna jingga.
Warna medali itu sama dengan warna jingga yang menjadi sapuan goresan di kapal bercadik Borobudur. Medali yang dilukis Lutfi itu berasal dari artefak yang ada di Masjid Mantingan, Jepara.
Masjid ini memiliki riwayat peninggalan Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak. Ini sebuah masjid yang dibangun Ratu Kalinyamat untuk menghormati mendiang suaminya, Pangeran Kalinyamat, yang terbunuh oleh pasukan Arya Penangsang dari Kerajaan Jipang.
”Medali itu memiliki ornamen sebuah kuda yang diilustrasikan tidak secara realisme,” ujar Lutfi.
Kemudian, di sisi kiri medali itu Lutfi menggambar Cakra Baskara milik tokoh Kresna dari epos Mahabharata. Lutfi menggunakan teknik border untuk membuat cakra itu.
Baca Juga: Jalan Kreatif di Lorong Sempit
Di sisi kirinya lagi, Lutfi menggambar burung Kinara dari mitologi Hindu-Buddha. Kinara sebagai wujud sosok surgawi berkepala manusia dan bertubuh burung.
Sebanyak lima artefak dari produk kebudayaan global itu dihadirkan Lutfi dengan teknik melukis yang berbeda-beda. Jika menilik setiap artefaknya, tentu narasi karya ini akan sangat berkepanjangan.
”Makna khusus dari saya bukan pada narasi setiap artefaknya, tetapi makna dari aksi saya dalam membuat keberagaman cara melukisnya,” ujar Lutfi, yang memberi judul lukisan itu Eclectic Identity #12.
Lutfi tak berhenti di situ. Secara mendetail ia kemudian menceritakan lagi karya serupa lainnya, seperti yang diberi judul Eclectic Identity #8 dan #9. Metode yang digunakan Lutfi mirip. Ia mencomot artefak dari produk-produk kebudayaan tertentu kemudian melukis dengan teknik tertentu yang jelas berbeda dengan kelaziman artefak itu.
Di era sekarang, tidaklah terlalu sulit untuk meraih setiap kisah dari artefak yang ditampilkan Lutfi. Mesin-mesin pencari informasi dari teknologi berbasis internet sudah cukup membantu.
Lutfi melalui karya-karyanya itu menghadirkan ilusi, kedalaman, dan logika yang bermain di situ. Ia mengetengahkan hal paling esensial di dalam ekosistem apa pun dan di mana pun, yaitu esensi sebuah keberagaman.
Keberagaman itu merawat dan menumbuhkan kehidupan. Termasuk di dalam seni. Sejauh keberagaman terjaga dengan baik, di situ daya kreativitas pun tumbuh subur.
Baca Juga: Kesedihan Sekaligus Kebahagiaan
Menoreh
Menoreh menjadi pilihan kata pertama yang dijadikan tema pameran tunggal Lutfi Yanuar. Dari sisi teknik ataupun obyek yang dilukis tentu bukan sebagai hal baru. Menoreh sebagai aksi inilah yang pertama-tama untuk ditawarkan melalui pameran ini.
”Lutfi Yanuar bukan sedang mengajak untuk bertanya-tanya tentang gambar apa yang dibuatnya. Akan tetapi, mengajak untuk bertanya tentang gambar itu diapakan oleh Lutfi Yanuar,” kata kurator pameran Doni Ahmad.
Di dalam catatan kuratorialnya, Doni menegaskan, begitu banyak simbol dan tanda dalam artefak budaya beroperasi secara metaforis. Sebagian besar pembahasannya berkutat pada perihal makna di balik tanda.
Tidaklah mengherankan jika kemudian artefak budaya dan beberapa karya seni kontemporer menjadi obyek interpretasi semata. Pengkajian berhenti pada urusan tafsir-menafsir dari aspek naratif.
”Padahal, kita bisa beranjak untuk membahas persoalan cara-cara sebuah tanda beroperasi, tentang bagaimana tanda-tanda dalam artefak budaya bekerja, dan tidak sekadar menginterpretasikan apa yang digambarkan,” ujar Doni Ahmad.
Presentasi tanda dari artefak budaya memengaruhi cara kita menyerap, merasa, dan berpikir. Ini sebuah proses membentuk identitas. Presentasi inilah yang diadaptasi Lutfi Yanuar dengan mengangkat artefak budaya bersumber dari arca, relief candi, ornamen masjid, komik, buku, tapestri, wayang kulit, teks, dan karya seni lainnya.
Aneka ragam artefak yang telah bertukar gaya dikomposisikan Lutfi dengan menekankan kemunculan kualitas pola-pola interpretasi dan demonstrasi yang beragam. Ia secara sadar menghindari asosiasi naratif.
Pameran ini juga berupaya membahas kemungkinan-kemungkinan bagaimana tanda atau simbol bisa bekerja ketika dikomposisikan dengan tanda lainnya melalui aneka cara.
Aneka ragam gaya justru menjadi metafora bagi keragaman identitas. Lutfi mengungkap makna identitas secara eksistensial dengan membahas aspek interpretasi, demonstrasi, serta praksis dari teknik dan komposisi.
”Pameran ini juga berupaya membahas kemungkinan-kemungkinan bagaimana tanda atau simbol bisa bekerja ketika dikomposisikan dengan tanda lainnya melalui aneka cara,” kata Doni.
Lutfi mengajak kita untuk memaknai aksi dan tindakannya dalam memilah dan memilih, serta mengomposisikan unsur-unsur rupa ke atas kanvas. Oleh karena itu, persoalan mengenai bagaimana cara menoreh tanda menjadi lebih penting daripada berusaha menemukan makna di balik metafora itu sendiri.
Dampak dari komposisi, jukstaposisi, dan kontrasnya tanda-tanda yang hadir dalam karya Lutfi membawa sensibilitas kita untuk menyadari jamaknya cara pandang dan cara tafsir terhadap tanda-tanda di sekitar kita. Seperti inilah metafora yang dipaparkan Lutfi.