Selain respons terhadap ruang, para seniman Parade Pameran Tunggal 51 Perupa merespons kediriannya sehingga menunjukkan ketangguhan masing-masing. Ini yang dipilih menjadi tema oleh penggagas parade ini.
Oleh
Nawa Tunggal dan Mohammad Hilmi Faiq
·6 menit baca
Lingkungan masyarakat urban sesungguhnya menyuguhkan ladang luas bagi energi kreativitas warganya. Lorong-lorong sempit permukiman bisa menjadi jalan kreatif bagi peserta Parade Pameran Tunggal 51 Perupa di wilayah Jabodetabek.
Lorong di perkampungan Kayu Manis Utara di Matraman, Jakarta Timur, itu hanya cukup dilalui dua orang saat berpapasan. Di salah satu sisinya terbentang dinding-dinding yang menjadi bagian belakang rumah-rumah toko yang kebetulan menghadap jalan raya. Jalan itu sekaligus halaman muka bagi rumah-rumah warga di gang itu. Dinding-dinding tadi dijadikan Sri Hardana sebagai galeri pameran tunggalnya atas seizin para pemiliknya. Daerah ini dipadati industri percetakan rumahan. Di sisi kanan persis di muka halaman rumah percetakannya menjadi arena karya seni instalasinya.
Perupa Sri Hardana, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 2006, menjadi salah satu pelaku industri percetakan rumahan tersebut dan menjadi peserta parade pameran. Ia menyebut lokasi pameran karyanya itu sebagai Lorong Artmedia. Sri Hardana menggunakan beragam media limbah percetakannya untuk menghadirkan karya seni. Ia kebetulan juga memiliki hobi memelihara burung berkicau. Tak ayal pilihan media seni instalasinya bernuansa perlengkapan pehobi burung berkicau. ”Seperti karya ini saya susun dari perlengkapan burung murai bertengger, juga untuk makan atau minum di situ,” ujar Sri Hardana tentang cara dia merespons kenyataan keseharian menjadi karya seni, Selasa (11/1/2022).
Ia memilih berpameran di Lorong Artmedia karena sebagian besar waktunya dia habiskan di sana daripada di rumahnya di Kampung Melayu. Dia merespons ruang yang sempit itu sebagai ruang pamer. Keterbatasan ruang menjadi isu banyak seniman, tetapi justru di sanalah kreativitas mereka ditantang. Tiap seniman mempunyai strategi yang serupa, yakni menjadikan ruang yang terbatas sebagai ekspresi seni yang bermakna luas.
Jika Sri Hardana berkutat dengan lorong, Krishna Eta harus menyiasati ruang kafe dan restonya yang terbatas. Pandemi memperkecil kemungkinan bagi dia untuk berpameran di rumah sendiri yang luasnya hingga 200 meter persegi karena kedua anaknya khawatir tertular virus Covid-19 jika banyak orang lain. Maka, dia memilih kafenya di Jurang Mangu Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Di ruang 2,5 meter x 3,5 meter itu dia memasang televisi berukuran 42 inci yang memutar video digital art berdurasi 2 menit 14 detik secara loop.
Di belakangnya semburat sinar merah keunguan sebagai simbol doa yang melangit. Lalu di sekelilingnya bertaburan bunga dan dedaunan kering serta batang-batang kayu kering sebagai simbol nilai leluhur yang mulai dilupakan. Respons serta pilihan Krishna tentang ruang itu efektif karena pelanggannya bisa lebih dekat dengan seni yang dia sajikan.
Partisipasi warga
Pameran di atas susah terlaksana tanpa partisipasi warga. Ini juga terasa begitu kental dari peserta lainnya, Dedy Suherdi, di Perumahan Citra Garden, Kalideres, Jakarta Barat. Dia telah mengantongi izin berpameran dari ketua RW di kompleks perumahan. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1992 itu selain menciptakan karya seni, juga memproduksi kuliner untuk dijajakan secara daring. Tentu saja rumahnya dipenuhi beragam perabotan memasak, selain perlengkapan-perlengkapan berkarya seni.
Setelah berbincang dengan ketua RW dan warga, salah satu warga menawarkan rumah kosongnya untuk dijadikan galeri. Dalam sebulan, warga itu kemudian merenovasinya hingga akhirnya menjadi mirip sebuah galeri, tempat Dedy berpameran dan menggelar lokakarya dua kali sepekan untuk warga. ”Setiap Kamis dan Minggu sore, saya mengajak paling banyak enam warga untuk belajar membuat karya seni. Dari setiap pertemuan itu tidak boleh ada warga yang sama, harus bergantian,” kata Dedy, yang menyematkan tajuk pameran tunggalnya, Beauty: Black, White, and….
Di dalam pamerannya, Dedy menampilkan potongan arang bakau dan ditegakkan di atas cermin berbentuk bujur sangkar kecil yang dibingkai kayu hitam pula. Ia mengisahkan, bingkai bujur sangkar itu sebagai kesombongan manusia yang ingin mengendalikan alam.
”Pesisir di Batang, Pekalongan, dan lainnya, sekarang makin sering dilanda rob atau kenaikan air laut hingga menggenangi permukiman warga. Yang dilakukan warga dan pemerintah selalu membangun tempat supaya lebih tinggi, bukan membenahi akar persoalan dari bakau di pesisir yang sudah hilang,” ujar Dedy.
Dedy terlahir di kawasan pesisir Pamanukan, Subang, Jawa Barat. Saat kecil dia dekat dengan lingkungan pantai yang asri dengan rerimbunan bakau. Istrinya asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang juga tidak jauh dari kawasan pesisir. Waktu itu ia juga memulai meriset berbagai kawasan pesisir di Pekalongan dan sekitarnya.
Warga biasanya mengambil batang bakau dari pesisir untuk dijadikan arang kayu. Arang bakau memiliki kualitas lebih bagus dibandingkan dengan arang kayu lainnya sehingga arang bakau menjadi lebih mahal. Warga kemudian secara masif memburunya, hingga keadaan bakau itu sekarang makin habis. Masa-masa sekarang menjadi masa kekelaman bagi wilayah pesisir utara Jawa. Dedy merefleksikan hal itu ke dalam karya-karya lukisannya yang bernuansa hitam arang.
Ketangguhan
Selain respons terhadap ruang, para seniman merespons kediriannya sehingga menunjukkan ketangguhan masing-masing. Ini yang dipilih menjadi tema oleh penggagas parade ini, William Robert.
Simaklah cerita Damianus Sunu Wibowo di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini terbiasa sejak pukul empat dini hari terbangun untuk memulai bersih- bersih studio sekaligus tempat tinggalnya di atas tanah seluas 5.000 meter persegi. Ia memamerkan bermacam lukisan dengan beragam media. Beberapa lukisan di atas kanvas bisa dijumpai di salah satu ruang. Begitu pula lukisan di berbagai perlengkapan rumah ataupun koleksi mobil dan sepeda motornya.
Ketika beberapa warga mengunjunginya, Wibowo meminta mereka sudi bergilir untuk diajak berkeliling studionya. Dia memotret mereka dan membaginya ke kolega.
Itu mirip dengan yang dilakukan Setiyoko Hadi di Cinere, Depok. Rumahnya beberapa kali digunakan sebagai tempat berkarya bersama. Makanya, dia tidak begitu kerepotan jika harus mengubahnya menjadi galeri. Dia hanya mengecat dinding menjadi warna putih setelah memindah dinding kayu pelapisnya. Dia juga mengecat lemari di bawah tangga beton agar senada dengan karya yang ditempel di sekujur badan anak tangga tersebut. Dengan kata lain, respons Setiyoko terhadap ruang tidak mengubah banyak ruang yang ada alias tetap menjaga kediriannya sebagai penghuni rumah.
Respons ruang dan upaya menjaga kedirian ini juga dapat dimaknai sebagai ajang pembuktian diri perupa: ketangguhan. Parade pameran didukung publikasinya secara daring lewat media sosial. Hal ini menjadi terobosan inovasi menarik di kala pandemi Covid 19. Perupa tetap bisa berkarya, berekspresi, dan berpameran di tengah masa pandemi. Masyarakat pun dimudahkan untuk menikmati. Ada keluwesan, baik secara langsung maupun lewat daring di media sosial.
Keberagaman terbukti jadi ladang kreativitas yang tidak terbatas. Pameran di studio perupa juga menjadi alternatif penting di saat galeri-galeri makin selektif dan terbatas dalam menghadirkan pameran.