Parade Pameran Tunggal 51 Perupa benar dikatakan penggagasnya, William Robert, bukan semata sebuah pameran karya seni rupa. Ini sebuah gerakan sosial di tengah pandemi Covid-19 agar kita tetap tangguh.
Oleh
Nawa Tunggal & Mohammad Hilmi Faiq
·6 menit baca
Ketika perupa memamerkan karya-karya seni di tempat tinggal mereka, warga di sekeliling menemukan sisi lain yang menggembirakan. Itu, antara lain, yang tersirat dari Parade Pameran Tunggal 51 Perupa di wilayah Jabodetabek. Pameran ini menggugurkan elitisme seni sebagaimana tuduhan banyak kalangan sekaligus mengindahkan dunia warga.
Suatu pagi di awal Desember 2021, tukang jamu Wahyuti (52) memasuki rumah Setiyoko Hadi, salah satu pelanggan setianya di Depok. Ketika kakinya menginjak beberapa anak tangga yang menghubungkan dengan lantai atas, Wahyuti ragu dan berhenti sejenak. Dia baru sadar, ada yang tidak biasa dengan tangga itu karena terdapat gambar wajah Setiyoko di setiap anak tangga. ”Bapake Dion, maaf, ini tidak apa-apa diinjak-injak?” kata Wahyuti yang tentu saja diizinkan Bapake Dion, panggilan akrab Setiyoko.
Setiyoko merupakan salah satu seniman yang terlibat dalam pemeran 51 perupa. Dia mengubah ruang tamu, tangga, dan sebagian lantai dua sebagai galeri. Di tangga, puluhan gambar wajah dia ditempel sehingga tangga yang dulu polos kini penuh imaji. ”Saya baru tahu kalau Bapake Dion pinter gambar. Gambarnya bagus-bagus. Lucu-lucu,” kata Wahyuti yang hari itu menambah waktu kunjungnya agar bisa menikmati drawing, digital printing, dan instalasi karya Setiyoko.
Ini baru kali pertama Wahyuti melihat karya seni yang dipamerkan. Dia tidak begitu paham makna karya-karya itu, tetapi yang jelas dia menjadi lebih betah di tempat tersebut. Sambil menikmati keindahan yang tersaji, ia digelayuti tanya tentang cara Setiyoko menciptakan karya-karya itu. Tetapi, ia tidak mencari jawaban lebih jauh. Katanya, mungkin suatu hari dia bisa melihat langsung Setiyoko menggambar untuk menjawab rasa penasaran itu.
Pertanyaan yang sama mengepung alam pikir pengunjung Kopi & Resto Rumah Pondok Aren milik seniman Krishna Eta di Jurang Mangu Barat, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan. Mereka bertanya tentang video berdurasi 2 menit 14 detik yang menjadi bagian dari instalasi di salah satu ruang 2,5 x 3,5 meter, berdempetan dengan kafe. Sebagian besar pertanyaan itu menyangkut proses kreatif dan Krishna menjawabnya dengan detil. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar yang biasanya ke kafe untuk main game online. Ketika melihat video digital art bertema totem yang dikreasi dengan teknik digital imaging , mereka tergoda.
Kesempatan itu digunakan Krishna untuk sekalian menceritakan tentang makna karya yang antara lain mengajak untuk melestarikan nilai leluhur dan menghargai perbedaan. ”Dengan begitu, karya ini bisa lebih dekat dengan pengunjung,” kata Krisna.
Karya seni yang hadir di jantung pemukiman itu kemudian memunculkan rasa baru, pemukiman jadi lebih hidup. Warga menemukan pancingan baru untuk mengamati hingga bertanya tentang makna.
Di tempat lain, Djamaluddin Nasution mengajak warga duduk di kursi panjang, Selasa (11/1/2022) siang. Kursi di pinggir gang itu ada di seberang Studi Artpora, milik salah satu peserta parade, yakni Revoluta Syafri di Duren Sawit, Jakarta Timur. ”Coba, lihat ketika ada warga yang lewat di gang ini. Setidaknya, mereka akan melihat karya-karya seni yang sedang dipamerkan. Kalau sempat, mereka juga akan berhenti dan bertanya-tanya,” ujar Djamaluddin, Ketua RT 003 RW 009 Kelurahan Duren Sawit.
Rumah-rumah yang ada di sepanjang gang itu sebelumnya beku tanpa aktivitas. Warga melintasinya dan tidak akan begitu peduli. ”Ini menunjukkan ketika seorang seniman membuka pameran karya seni di rumahnya itu ada manfaatnya. Warga pun senang dan bisa menikmatinya,” ujar Djamaluddin, yang begitu sederhana dan mudah dalam mengilustrasikan segi manfaat dari Parade Pameran Tunggal 51 Perupa itu.
Coba, lihat ketika ada warga yang lewat di gang ini. Setidaknya, mereka akan melihat karya-karya seni yang sedang dipamerkan. Kalau sempat, mereka juga akan berhenti dan bertanya-tanya.
Adhari, Ketua RT 002 yang tinggal di seberang Studio Artpora, keluar dari rumahnya. Ia turut bergabung untuk berbincang tentang pameran tersebut. Di Studio Artpora, turut serta seniman Eko Banding dan Karya Indah berpameran bersama Revoluta. Arya, saapan Karya Indah, memamerkan instalasi yang antara lain berupa ratusan paku payung tertancap. ”Senimannya memukul-mukul paku itu sampai tengah malam. Waktu itu saya menyampaikan kepada warga sekitar, kalau pekerjaan seniman seperti itu tak akan tiap hari dan warga ternyata mengiyakan, mau menerima,” ujar Adhari.
Parade Pameran Tunggal 51 Perupa di Jabodetabek dibuka secara virtual oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pada 2 Desember 2021, berlangsung hingga 2 Februari 2022. Di sepanjang pameran di Studio Artpora ternyata membawa pula keriangan bagi kaum mudanya. ”Hampir setiap malam ketika tidak hujan mereka kumpul-kumpul di depan studio untuk makan atau bernyanyi bersama. Kalau Sabtu malam bisa sampai pukul 02.00 dini hari,” ujar Revo, sapaan akrab Revoluta.
Ada kelindan antusiasme antara perupa dan warga. Parade Pameran Tunggal 51 Perupa benar dikatakan penggagasnya, William Robert, bukan semata sebuah pameran karya seni rupa. Ini sebuah gerakan sosial di tengah pandemi Covid-19 agar kita tetap tangguh.
Mencicipi metafora
Setelah beberapa menit duduk di kursi panjang, Djamaluddin mengajak masuk ke Studio Artpora. ”Saya tidak mengetahui ini,” ujar Djamaluddin, seraya menunjuk instalasi lukisan abstrak karya Revo di dinding.
Revo menjelaskan kiasan lukisan-lukisan abstrak itu sebagai satu kesatuan wajah perempuan disertai polemiknya. Djamaluddin masih bingung. Revo tak surut. Ia mencontohkan dirinya sendiri. Sebagai perempuan dan perupa, ia dihadapkan dengan polemik urusan domestik rumah tangga, norma, dan profesi kesenimanan. ”Wajah perempuan itu seperti lukisan abstrak. Sulit untuk dimengerti,” tutur Revo.
Revo mengungkapkan sisi kehidupan perempuan perupa yang dihadapkan beragam tanggung jawab. Ada tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, ada pula tanggung jawab sebagai perupa yang harus membangun reputasi seni. Keduanya kerap bertentangan dan menjadi polemik yang tidak mudah untuk didamaikan. Penjelasan yang tetap tak mudah dicerna Djamaluddin.
Saya tertarik dengan seniman, karena kehidupannya berbeda. Seniman lebih bebas.
Menarik lagi bagi Christina, yang akrab di sapa San San, warga Sektor 7 Gading Serpong, Tangerang Selatan. San San bertemu penjual minuman kelapa muda sekaligus seniman Ade Pasker di sebuah kafe. Mereka lalu akrab. “Saya tertarik dengan seniman, karena kehidupannya berbeda. Seniman lebih bebas,” ujar San San, yang berprofesi sebagai instruktur kebugaran dan bekerja untuk sebuah kantor asuransi.
Dalam pameran ini, Ade menampilkan beberapa lukisan ekspresionisme di kiosnya yang berukuran tidak lebih dari 3 meter x 3 meter. ”Di lukisan ini ada figur manusia, anjing, dan kelelawar. Di situ ada juga pemandangan pantai,” tutur Ade, ketika menunjukkan salah satu lukisan yang diberi judul ”Zona Merah” dengan media cat minyak di atas kanvas berukuran 40 cm x 20 cm.
San San tidak melihat figur-figur yang dimaksud Ade. Ade bersikukuh kalau figur-figur itu tetaplah ada di dalam lukisan yang tidak mau disebut sebagai lukisan abstrak itu. Ade sedang memainkan bahasa seni, bahasa metafora dari karyanya. San San diajak Ade untuk mencicipi metafora karya seni.
Tidak mudah menelan begitu saja setiap metafora yang disuguhkan perupa. Akan tetapi, mereka riang mencicipi metafora itu, membawanya pulang dan merenungkan kiasan yang tidak mudah itu sepanjang waktu. Sebagaimana dialami juga oleh Wahyuti yang pagi itu keluar rumah Setiyoko untuk keliling menjajakan jamu dengan membawa kegembiraan baru setelah menikmati karya pelanggannya.
Bayangkan ada puluhan titik di Jabodetabek yang menyuguhkan keindahan serupa saat ini. Ratusan bahkan mungkin ribuan warga tengah terpapar getaran keindahan seni. Wajar jika penggagasnya menyebut pameran ini sebagai gerakan sosial. Setidaknya, mereka telah mengindahkan warga.