Bandung Menjahit Kreasi Mode hingga 100 Tahun Lagi
Julukan ”Kota Mode” masih sulit hilang dari Bandung, Jabar. Di tengah bermunculan industri serupa, kreativitas anyar pelaku usahanya terus memelihara imaji itu. Lebih dari 100 tahun, kreasi ternama dijahit di kota ini.
Setidaknya, selalu ada yang baru dari masa ke masa di Bandung, Jawa Barat. Persaingan memicu kreasi anyar sebelum menjadi contoh untuk daerah lain. Namun, semuanya tidak instan. Ada ragam pengalaman yang mengiringi geliat Bandung hingga seperti sekarang.
Jejak mode di kota ini setidaknya terekam sejak awal abad ke-20 lewat Jalan Braga yang melegenda. Dikompori orang-orang kaya pemilik usaha perkebunan teh kala itu, Jalan Braga mencoba memuaskan keinginan menjadi yang terdepan dalam urusan gaya di depan kaca. Muncul tahun 1894, nama besar Jalan Braga mencuat tahun 1921 atau sekitar 100 tahun lalu.
Salah satu kiblatnya juga tidak tanggung-tanggung, Kota Paris di Perancis yang sejak dulu kesohor soal gaya. Busana terbaru di sana, dengan cepat hadir di Bandung. Usaha manusia Bandung untuk selevel dengan para penjahit dunia pun mencuat lewat pelatihan hingga pameran mode.
Braga pernah disebut sebagai ”jalan paling Eropa” di Hindia Belanda.
Dalam Modernisasi dan Terbentuknya Gaya Hidup Elit Eropa di Bragaweg (1894-1949), Harry Ganjar Budiman menuliskan, ada 50 penjahit, seniman, tukang cat, hingga pandai besi dari Jalan Braga ikut dalam Wereldtentoonstelling atau pameran dunia di Paris, Perancis, tahun 1931.
Hal itu sedikit banyak membuat Bandung tampak seperti Paris. Tidak berlebihan jika julukan mewah pun muncul, Parijs van Java alias Paris-nya Jawa.
Pandai membuat karya saja tidak cukup. Pelaku usaha di Jalan Braga juga piawai berdagang dan mempromosikan dagangannya. Salah satu kiblat busana di Hindia Belanda saat itu adalah Toko Au Bon Marche.
Tak seperti namanya yang berarti belanja murah, produk yang ditawarkan berharga selangit. Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha dalam Braga, Jantung Parijs van Java mengatakan, pakaiannya kelas satu dari Eropa sudah tentu dari Paris.
Baca juga : ”Tuinstad”, Inspirasi Taman dan Kebun untuk Masa Depan Kota Bandung
Selain itu, ada juga NV Onderling Belang, yang menjual pakaian asal Amsterdam, Belanda, hingga Kelleer’s Kleiding Modemagajizn, penjahit dan toko mode ternama saat itu.
Dukungan pemerintah kota juga terlihat di sana. Jalan Braga dibuat seperti Belanda. Di jalanan yang panjang, dibuat rumah toko dengan beragam dagangan.
Beragam prioritas pembangunan kota dilakukan di sana. Listrik hingga sambungan telepon yang masih langka kala itu sudah ada di sana. Pembuatan jalan beraspal dilakukan agar lalu lalang kendaraan nyaman melintas di sana. Hasilnya, Braga pernah disebut sebagai ”jalan paling Eropa” di Hindia Belanda.
Akan tetapi, ketenarannya surut terdampak Perang Dunia II hingga transisi pemerintahan. Satu persatu usaha, khususnya yang dikelola orang Belanda, berguguran. Beragam usaha coba dilakukan mengembalikan kejayaan Braga, mulai dari revitalisasi jalan hingga promosi kawasan. Namun, semua masih jauh dari harapan. Braga tetap saja sulit mendekati masa keemasannya.
Gang sempit
Geliat usaha yang surut di Jalan Braga lantas diisi pengusaha pribumi yang ingin unjuk gigi. Salah satu kawasan tua hadir di Majalaya, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Bandung. Jika dulu menjadi aktor di balik layar penyedia bahan baku tekstil, Majalaya lahir menjadi sentra pabrik dan garmen ternama.
Puncaknya tahun 1960-an, Majalaya menjadi sentra bahan tekstil nasional. Banyak kebutuhan benang hingga produk tekstil setengah jadi untuk kebutuhan nasional datang dari sana. Pada tahun 2018, terdapat setidaknya 217 pabrik tekstil dan garmen di kawasan itu.
Di pusat Kota Bandung, pengusaha lokal juga tidak mau menyerah. Salah satu pelakunya adalah produsen pembuatan tas Elizabeth. Berdiri sejak 2 September 1961, Elizabeth kini adalah legenda Indonesia.
Dari industri rumahan, Ny Elizabeth dan suaminya, Handoko Subali, membangun usaha dari bawah. Modal awalnya mesin jahit tua dan seorang tukang dibantu seorang pembantu.
Sejak kecil, Elizabeth suka menjahit baju. Ia berpikir membuat tas tidak beda jauh dengan menjahit baju. Jadi, ia tidak kesulitan memulai usaha tas. Handoko memasarkan produksinya berupa tas perjalanan. Dia berjualan keliling pasar dengan sepeda.
Usaha itu berkembang pesat hingga berdiri PT Indo Elizabeth Permai yang sebagian besar produksinya berupa tas wanita ternama. Tas buatan Elizabeth bahkan melanglang buana hingga sejumlah negara.
Akan tetapi, saat Elizabeth terus berjaya hingga kini, sebagian pelaku usaha di Majalaya justru merana. Sebagian pengusaha disibukkan dengan banjir, mahalnya bahan baku, kalah bersaing dengan produk impor, alat yang tua, hingga tidak mampu menyediakan pengolahan limbah yang ideal.
Majalaya tidak sendirian. Ada Cibaduyut, sentra pembuatan sepatu, yang pernah tenar, tetapi kini sulit sejahtera. Diklaim ada sejak tahun 1920-an, Cibaduyut mulai tenar pada 1940. Pada periode itu, perajin seperti nama Mang Ajum, Mang Uce, Mang Suaeb, dan Mang Ondo jadi motor utamanya.
Pembuatan sepatu dilakukan para perajin di bengkel-bengkel industri kecil yang terletak di dalam gang-gang sempit. Sebagian besar perajin perakit sepatu yang menggandengkan komponen-komponen sepatu, seperti sol, lidah, dan kulit sepatu.
Sebagian lainnya mengerjakan komponen cetakan sepatu dan unit usaha pembuat sol sepatu. Hasilnya diperdagangkan di toko-toko sepanjang jalan raya Cibaduyut dan sebagian lagi dikirim ke pemesan.
Puncaknya muncul di tahun 1970-1980. Saat itu, produksi sepatu Cibaduyut tersohor jauh ke negeri orang. Sepatu Cibaduyut menjadi simbol gaya orang kaya. Patung sepatu yang dibuat di jalan masuk Cibaduyut menandai keunggulan itu.
Akan tetapi, seperti Majalaya, langkah besarnya mulai surut di akhir 1990-an. Krisis moneter, harga bahan baku, bahan bakar minyak, listrik yang terus naik, hingga banyak munculnya pesaing produk serupa membuat Cibaduyut terseok-seok. Berbagai langkah sudah dicoba, bahkan lewat promosi kepala negara. Namun, hal itu belum membuahkan hasil ideal.
Baca juga : Dari ”Ontbijt” hingga ”Rijsttafel”, Akulturasi Kekayaan Kuliner Negeri
Minat khusus
Dari keterbatasan lantas melahirkan tantangan. Ketika banyak usaha hancur dihajar krisis moneter, ada sektor lain justru bersemi. Salah satu yang terlihat adalah tren kegiatan olahraga luar ruang atau kegiatan di alam bebas. Kali ini, urang Bandung kembali mengambil peran.
Satu dari sekian banyak pelakunya muncul lewat merek dagang Alpina yang didirikan tahun 1985. Perintisnya Paidjan Adriyanto sukses membawa Alpina menjadi produsen aksesoris luar ruang papan atas.
Di akhir tahun 1990-an, bisa dibilang menjadi zaman emas. Anak-anak gaul biasanya mengenakan produk Alpina. Entah itu tas, sandal, hingga dompet. Merek-merek bajakan lantas bermunculan demi menarik konsumen. Namun, ketatnya persaingan pasar membuat Alpina kini tidak setenar dulu. Semuanya menjadi konsekuensi nyata di zaman yang semakin cepat ini.
Selain Alpina, raja tren mode luar ruangan adalah Eiger besutan Ronny Lukito. Ronny mengawali bisnisnya dengan meneruskan usaha toko tas ayahnya di sebuah rumah kecil di Gang Tamin, Bandung, sekitar tahun 1953.
Awalnya, Ronny memproduksi tas dengan nama Butterfly. Nama tersebut dia ambil dari merek mesin jahit ternama buatan China yang dimilikinya waktu itu.
Tahun 1979, nama Butterfly diubahnya menjadi Exxon. Namun, karena digugat perusahaan Exxon Oil Amerika Serikat, nama itu diubahnya lagi menjadi Exsport (Exxon Sporty) hingga lahir merek lainnya, Eiger (dicetuskan tahun 1990-an), Bodypack, dan Neosack. Nama-nama itu dipilih Ronny bersama tim kreatifnya.
Berkat kegigihannya, usaha yang semula hanya berskala rumah tangga dengan ekonomi keluarga pas-pasan itu bisa berkembang pesat. Ronny mampu membeli tanah seluas 6.000 meter persegi di kawasan Kopo, Kota Bandung. Lokasi ini menjadi pabrik Eiger.
Tahun 1992, dia memperoleh penghargaan Upakarti dari Pemerintah Republik Indonesia berkat usahanya menjalin kemitraan dengan para perajin tas. Ronny berperan sebagai bapak angkat bagi perajin. Selain mempekerjakan ribuan orang, dia memberi modal pada awal usaha belasan perajin lalu membeli tas yang diproduksi perajin.
Dari kepiawaiannya menjahit tas, Ronny lalu menggeluti usaha restoran dan resor berbasis pelestarian lingkungan. Selain restoran Kampung Daun, ada Dusun Bambu di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, yang dibuat ramah lingkungan.
Eiger juga sering mendukung beragam program berbau petualangan dan olahraga luar ruangan. Media sosial disasar. Sponsor bagi pemanjat tebing nasional juga dilakukan. Semua membuat imaji Eiger sebagai produk mode ternama dari Bandung sulit dilepaskan hingga saat ini.
Jika Eiger fokus di aktivitas luar ruangan, lain lagi dengan kawasan Muararajeun yang menampung minat khusus anak muda yang ingin tampil beda. Seperti Cibaduyut, usahanya hadir dari rumah warga di antara labirin gang di kawasan Cibeunying Kaler.
Salah satu nama tenar yang ikut dibesarkan Muararajeun adalah C59 milik Marius Widyarto. Wiwied, panggilan akrabnya, mengatakan, banyak belajar di sana. Salah satunya sosok Siman. Kini, C59 menjadi salah satu merek ternama Indonesia dengan gerai di dalam dan luar negeri. Salah satu pembeda produk C59 adalah kemampuannya menangkap kegelisahan dan minat anak muda. Warna cerah hingga melayani hampir semua jenis kaus dan celana juga jadi penarik konsumen.
Muararajeun juga mengambil peran ikut memunculkan industri clothing yang melegenda dari Bandung saat krisis moneter datang. Kaus dibuat sesuai keinginan konsumen dan dicetak dengan jumlah terbatas. Idenya ingin setara dengan kaus mahal buatan luar negeri yang sulit dijangkau anak Indonesia kala itu. Nama tenar seperti 347, Airplane, dan God.Inc muncul dengan toko pemasaran sendiri (distribution outlet/distro).
Para pelaku usaha distro juga menggelar revolusi lewat acara besar bersama dalam satu kesempatan. Dikenal dengan nama KICKfest, acara ini terus digelar setidaknya setahun sekali sejak 2007. Pandemi tidak mampu menghentikan semangat berkarya. KICKfest tetap digelar secara daring pada 2020 dan 2021.
Salah satu saksi perjalanan itu adalah Ibrahim Soebagyo. Di tahun 2002, ia mendapat pesanan besar dari salah distro ternama di Bandung. Bram senang bukan main. Namun, ia harus menunggu enam bulan sebelum desain dan konsep kausnya diterima dan siap diproduksi.
”Saya melakukannya sendirian, dari desain gambar, membuat sablon, memotong kain, hingga mengemasnya. Siang malam begadang menghasilkan produk berkualitas untuk promosi,” ujarnya.
Sejak saat itu, perlahan, karyanya mulai dikenal. Pesanan dari distro kelas kakap pun berdatangan. Jika dihitung, lanjut Bram, setidaknya ada 70 merek kaus yang sudah ia kerjakan.
Dari kapasitas produksi kurang dari 100 kaus per bulan, sekarang ia mampu mengerjakan pesanan hingga 5.000-6.000 kaus per bulan. Produksi Muararajeun juga melanglang buana ke Malaysia, Brunei Darussalam, Timor Leste, Australia, hingga Jerman.
Sekarang, tercatat 70 orang di Muararajeun bekerja di sektor ini. Lebih dari 300 kaus dibuat warga setiap hari. Ibu rumah tangga juga diberdayakan dengan mayoritas bekerja di bagian cek akhir dan pengepakan.
Promosi Jokowi
Di era terkini, geliat kreasi bermunculan. Selain muncul kelompok kecil menjahit mandiri di berbagai kelompok masyarakat dengan pemasaran ke berbagai daerah dan negara, lini usaha skala menengah tetap berevolusi.
Tidak hanya berkutat di baju, muncul pula lini serupa yang fokus pada sepatu, jaket, kacamata, hingga helm dan minat otomotif lainnya. Keinginan memuaskan keinginan minat khusus konsumen lewat detail seperti jaket Rabbit and Wheels, transparansi harga ala sepatu Nah Project, hingga bahan pembuatan tidak bisa dilakukan seperti Hirka yang sepatu dari kulit ayamnya sudah terjual hingga Jepang hingga Perancis.
Bandung kembali jadi patokan, tidak hanya dalam bentuk dan model, tapi gaya berbisnis. Namun, inti semuanya tetap sama. Semua dihidupi kreativitas, jahitan tangan-tangan yang terampil, dan isi kepala yang tidak pernah kehabisan ide.
Kali ini, usaha pemerintah untuk ikut serta dalam industri kreatif harus diakui kian tinggi. Tidak hanya menggunakannya, mereka ikut mempromosikannya lewat media sosial.
Presiden Joko Widodo menggunakan merek asal Bandung saat menjajal Sirkuit Mandalika, NTB. Sepatu dari Nah Project, jaket Rabbit and Whells, serta helm dari RSV Helmet. Presiden tampak percaya diri mengenakan setelan produk lokal itu.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga tidak ingin ketinggalan. Dengan belasan juta pengikut di media sosial, dia ikut berpromosi hingga berdiplomasi. Salah satunya dia perlihatkan saat memberikan kain batik hasil rancangannya pada perwakilan negara sahabat yang datang ke Jabar.
Dia era pandemi, Emil, mengizinkan pelaku usaha untuk menggunakan namanya sebagai merek produk. Harapannya, hal itu bisa ikut memulihkan Jabar dan Indonesia dari pukulan Covid-19 yang meluluhlantahkan banyak sektor, tak terkecuali dunia mode tanah air.
Tahun ini, ketangguhan itu belum akan berhenti. Bandung seperti ingin menjahit kreasi lagi hingga 100 tahun lagi. Bahkan, seterusnya.
Baca juga : Sarapan Turut Menjaga Peradaban Bandung