”Tuinstad”, Inspirasi Taman dan Kebun untuk Masa Depan Kota Bandung
Bandung memiliki sejuta julukan. Salah satunya "Tuinstad", yang sering kali diartikan sebagai kota taman atau kebun. Keberadaan kedua tempat itu memegang peran penting dalam peradaban kota.
Julukan ”Tuinstad” bagi Kota Bandung sering kali dimaknai ganda. Ada yang menyebutnya sebagai ”Kota Taman”. Namun, sebagian kalangan menyebutnya jadi ”Kota Kebun”. Penamaannya bisa jadi berbeda, tapi perannya sama besar bagi laju peradaban kota.
Awal abad ke-20, disebut-sebut sebagai masa keemasan Bandung. Dari desa kecil di pegunungan, Bandung lari kencang jadi salah satu kota terpandang di Hindia Belanda. Pembangunan jalan raya, rel kereta api, bangunan dengan ragam arsitektur, hingga penataan kota menjadi bukti. Rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung membuat geliat kota semakin melesat.
Jadi magnet pembangunan, jumlah penduduk Bandung pun melonjak. Pada tahun 1899, jumlah penduduk pribumi 16.424 orang dan Eropa tercatat 399 orang.
Tahun 1905 atau hanya enam tahun kemudian jumlah penduduknya melonjak dengan 41.400 orang pribumi dan 2.200 orang Eropa. Warga Eropa biasanya tinggal di kawasan Utara, sedangkan pribumi menetap di Selatan. Kedua kawasan dibatasi rel kereta api.
Dalam buku Toponomi Kota Bandung yang ditulis T Bachtiar, Etti RS, dan Tedi Permadi, disebutkan dengan banyak orang berlatar belakang berbeda datang ke Bandung, dibutuhkan kejelian memanfaatkan peluang di tanah yang baru.
Ambil contoh saat sebagian orang memanfaatkan peluang berdirinya Pusat Kavaleri Berkuda milik Belanda di Cimahi, tidak jauh dari Bandung. Mereka menanam rumput untuk pakan kuda militer di berbagai tempat. Lahan tempat mereka menanam rumput lantas dikenal warga dengan sebutan Kebonjukut atau kebun rumput.
Baca juga : Dari ”Ontbijt” hingga ”Rijsttafel”, Akulturasi Kekayaan Kuliner Negeri
Seiring semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, perlahan kawasan agroindustri itu bertambah banyak. Tercatat sedikitnya 25 daerah di Kota Bandung dengan ragam fungsi dan komoditas dengan penamaannya diawali dengan kebun (kebon) dan bertahan hingga kini. Mulai dari Kebonjati, Keboncau, Kebonkalapa, Kebonbibit, hingga Kebonkangkung.
Simak jejak sejarah di kawasan Kebonjati. Dulu, tempat itu dijadikan tempat penyimpanan kayu jati besar tanpa gudang. Kayu jati itu disimpan untuk bahan baku pembuatan rel kereta api di sekitar Bandung.
Pembuatan jaringan rel kereta api juga ada di balik kemunculan kawasan Kebonkawung. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto mengatakan, kawasan itu pernah menjadi tempat tinggal 400 buruh rantau yang akan mengerjakan jaringan rel kereta api menghubungkan Bogor-Bandung di akhir abad ke-19. Ditumbuhi banyak pohon kawung (aren) yang tangguh menyimpan air, kawasan itu dipandang tepat sebagai tempat tinggal.
Ragam kebon-kebon itu, kata Kunto, diduga menarik perhatian Roosmale Nepvue, mantan Wali Kota Appeldorn di Belanda. Dalam kunjungannya tahun 1936 ke Bandung, Kunto menyebut Nepvue yang menyematkan julukan Tuinstad. Alasannya, Nepvue melihat banyak kebon bertebaran di tengah kota.
Akan tetapi, pendapat Kunto bisa jadi meleset. Tuinstad yang dimaksud mungkin bukan kebon-kebon, melainkan taman-taman menawan di Bandung.
Hary Ganjar Budiman, peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya, dalam tulisan Perkembangan Taman Kota di Bandung Masa Hindia Belanda (1918-1942), menyebutkan ada lima taman besar di Bandung yang dibangun periode 1885-1925.
Tempat itu adalah Pieterspark, kini Taman Dewi Sartika, yang didirikan tahun 1885, Molukenpark kini Taman Maluku (1919), Ijzermanpark kini Taman Ganesha (1920), Jubileumpark kini dikenal Kebun Binatang Bandung (1923), dan Insulindepark kini Taman Lalu Lintas (1925).
Selain itu, ada juga lapangan di sekitaran Bandung. Dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, Kunto mengatakan, lapangan itu seperti Oranjeplein, Citarumplein, Orchideeplein, Houtmanplein, Limburg Stirumplein, Pandawaplein, Rotgansplein, hingga Sabangplein.
Fungsi taman dan lapangan itu berbeda dengan kebon yang lebih dijadikan tempat tinggal atau kawasan agroindustri. Kawasan itu lebih condong menjadi tempat wisata, tempat edukasi flora, paru-paru kota, hingga kerinduan orang Eropa pada ruang publik seperti di kampung halamannya.
Baca juga : Kreativitas Wisata ”Bandoeng Tempo Doeloe” Hadirkan Keabadian
Simak latar belakang pembangunan Pieterspark, taman tertua di Kota Bandung. Dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda (1891-1942), Ahmad Sunjayadi mengatakan, taman itu lahir dari inisiatif Asisten Residen Pieter Sijthoff membangun tempat hiburan bagi orang Eropa yang bertambah banyak di Bandung. Di sana, banyak aktivitas seni ditampilkan hingga tempat orang menghabiskan akhir pekan.
Jantung pengembangan kota
Seiring waktu, taman lebih dari sekadar ruang hijau. Taman menjadi jantung pengembangan kota. Hal itu bisa dilihat dari pembangunan Insulindepark (Taman Nusantara).
Dalam buku Geliat Kota Bandung: Dari Kota Tradisional Menuju Modern yang dikeluarkan Bank Indonesia Institute, selain menjadi taman botani, Insulinde dijadikan sebagai inti dari komplek wilayah yang memiliki identitas nama jalan dengan nama-nama kepulauan di Nusantara, seperti Jalan Jawa, Jalan Sumatera, Jalan Riau, hingga Jalan Kalimantan.
Selain itu, Insulindepark sulit dilepaskan dari rencana penataan kota terkait pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung yang dirancang sejak tahun 1911. Dalam buku Bandung: Citra Sebuah Kota, Robert Voskuil mengatakan, Insulindepark menjadi bagian pusat pengembangan kawasan militer baru di Bandung-Cimahi, seiring rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung.
Rencana itu perlahan menarik dunia usaha datang ke Bandung. Pada tahun 1910, bengkel piroteknik dari Surabaya pindah ke Bandung. Sekitar 12 tahun kemudian, disusul kepindahan Artillerie Constructie Winkel yang menjadi cikal bakal Pindad, bersama banyak pekerjanya dari Surabaya.
Bandung lantas semakin ramai saat Technische Hoogeschool te Bandoeng (Institut Teknologi Bandung), Gouvernements Bedrijven (Gedung Sate), hingga Landskoepoek Inrichting en Instituut Pasteur (Bio Farma) dibangun. Meski rencana pindah ibu kota itu gagal akibat resesi ekonomi, Bandung telanjur bersolek.
Kini, kebon-kebon itu masih ada meski hanya menyisakan nama. Pohon aren terakhir di Kebonkawung tumbang disambar petir tahun 1975. Tidak terlihat lagi jejeran kelapa di Kebonkelapa pernah menjadi terminal hingga kini pusat perbelanjaan.
Lahan kosong di Kebonjati pun mustahil ditemukan. Kini, kawasan itu berubah menjadi tempat perniagaan berharga tinggi karena letaknya dekat dengan Stasiun Kereta Api Bandung dan pusat perbelanjaan ternama. Meski banyak kawasan bernama kebon itu kini tetap menjadi permukiman, sejarah dan asal-usulnya rentan dilupakan tidak berjejak.
Nasib taman bisa jadi lebih beruntung. Keberadaannya menjadi inspirasi munculnya banyak taman lain di Bandung. Kini, tercatat 633 taman dengan total luas lahan 2.161.954,15 meter persegi. Semuanya menjadi penyumbang ruang terbuka hijau dan masih menjadi tempat warga beraktivitas.
Baca juga : Kenang dan Selamatkan Wajah Pembentuk Geliat Kota Bandung
Hanya saja, inspirasi itu bisa jadi percuma apabila keinginan Pemerintah Kota Bandung untuk membuatnya hidup mengikuti zaman tidak selalu mulus. Keinginan melengkapinya dengan koneksi internet belum ideal. Lampu penerangan yang minim membuat kawasan sekitar taman menjadi rawan, terutama malam hari. Pagar yang menutupi sebagian taman juga rentan membuatnya berjarak dengan warga.
Awal tahun 2020 sebelum pandemi, Pemkot Kota Bandung berencana merevitalisasi 100 taman, median jalan, hingga jalur hijau. Alokasinya mencapai Rp 34 miliar. Bebarapa taman yang akan diperbaiki adalah Inklusi, Foto, Superhero, Gaya, Gesit, dan Pet Park. Namun, pandemi Covid-19 memberikan ujian tidak ringan bagi rencana itu.
Dengan sejumlah tantangan yang ada, arti julukan Tuinstad tampaknya tidak penting lagi diperdebatkan. Di ujung kisah, taman atau kebun punya peran sama memberi warna geliat Kota Bandung. Tugas manusianya mempertahankannya tetap menjadi inspirasi untuk masa depan. Mengutip arsitek dan planolog Henry S Churcill, ”the City is the People”, identitas kota adalah identitas manusianya.