Kenang dan Selamatkan Wajah Pembentuk Geliat Kota Bandung
Arsitektur lawas di Kota Bandung mengakar sejak lama. Keberadaannya tidak hanya koleksi sejarah yang bisa dihancurkan, tetapi bayangan wajah masa depan yang sebaiknya dipertahankan.
Jeda antara Perang Dunia I dan II menjadi masa keemasan bagi gairah pembangunan di Kota Bandung, Jawa Barat. Adu gengsi para pengusaha dan pemerintah, rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda, hingga tren dunia melatarbelakanginya.
Selepas kepanikan dan nyaris menanggung malu saat Kongres Pengusaha Gula I di Bandung tahun 1896, warga kala itu tidak diam. Pemerintah kota, pengusaha swasta asal Eropa, hingga bangsawan pribumi sepakat Bandung harus lebih baik di segala bidang. Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe menyebut, selain pendidikan, sosial, dan infrastruktur jalan, penataan kota jadi perhatian utama.
Berjalan sejak tahun 1918, proyeknya dinamakan Pengembangan Kota Baru Bandung dan dipimpin Kolonel VL Slors. Salah satu yang dibenahi adalah kualitas perumahan. Maklum, saat itu, tata kotanya tidak ideal. Salah satu contohnya, rumah tidak sehat hingga kuburan bertebaran tidak teratur.
Salah satu kawasan yang dibenahi adalah Andir. Daerah itu bisa dibilang menjadi kawasan real estate pertama di Bandung. Rumah-rumah di sana dibangun dengan harga 2.000-10.000 gulden, harga tidak murah saat itu.
Kawasan lebih elite ada di sekitar Kosambi dengan gaya romantik yang jadi tren dunia saat itu. Untuk yang lebih eksklusif dibuat di sekitar Orange Plein atau sekitar Taman Pramuka saat ini. Sebanyak 19 rumah sewa atau motel dibuat di sana dan dikenal dengan sebutan ”Lux Vincent”.
Pegawai negeri kecil juga disediakan tempat. Salah satunya di kawasan Cihapit. Rumah di sana tidak terlalu besar tetapi dilengkapi taman, pasar, hingga pertokoan.
Pribumi juga diperhatikan. Mereka disediakan rumah petak di bilik bambu. Di Karapitan, misalnya, rumah bambu diklaim dibangun dan ditempatkan dengan baik.
Baca juga: Di Tengah Muram Covid-19, Cikadut Jaga Keberagaman hingga Ujung Makam
Penataan itu pernah memikat Hendrikus Petrus Berlage (1856-1934), arsitek terkenal dari Belanda. Dia menyebut Bandung layak dijadikan contoh bagi pembangunan kota kolonial di Hindia Belanda. Namun, dia juga menyampaikan kritik. Seharusnya Bandung punya lebih banyak ciri khas lokal, tidak sekadar menyerap bangunan seperti di Eropa.
Kelas dunia
Kreativitas Bandung didengar Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Gayung bersambut. Saat itu, Batavia sedang didekap pencemaran hingga episentrum wabah penyakit. Puncaknya, Bandung dipilih menjadi bakal ibu kota Hindia Belanda awal 1920-an. Bandung yang sehat dinilai lebih layak huni ketimbang Batavia. Fakta yang tidak jauh berbeda kala ini.
Dunia pendidikan juga ikut bergairah. Sekolah Tinggi Teknik (de Techniche Hoogeschool/TH)–kini Institut Teknologi Bandung (ITB)–pertama di Hindia Belanda dibangun di Bandung. Tujuannya, memenuhi kebutuhan tenaga teknik yang semakin terbatas akibat pecahnya Perang Dunia I. Salah satu syarat pembangunannya, memadukan konsep bangunan modern dengan kekhasan lokal.
Henri Maclaine Pont menyambut gairah itu. Dia menerima undangan menjadi arsitek TH tahun 1918. Dari banyak karya sebelumnya di Semarang, Surabaya, dan Cirebon, Pont dianggap mampu menterjemahkan konsep yang diinginkan. Pegiat sejarah dari Komunitas Aleut, Ryzki Wiryawan, punya informasi lain. Selain karena, Pont dipilih karena bayarannya lebih terjangkau.
Tahun lalu, tepat 100 tahun TH berdiri di Indonesia. Bangunannya disebut berhasil memadukan gaya modern dengan unsur tradisional. Gayanya diklaim seperti rumah adat Sunda Julang Ngapak dengan atap Cagak Gunting.
Perdebatan pun muncul. Sejumlah kalangan menyebut TH bukan bercirikan Sunda. Ada yang menyebut lebih mirip rumah Batak hingga Minangkabau.
Perdebatan pun muncul. Sejumlah kalangan menyebut TH bukan bercirikan Sunda. Ada yang menyebut lebih mirip rumah Batak hingga Minangkabau.
Perdebatan itu tidak mengubah bentuk bangunan. Bisa jadi di luar ketangguhan desain, bahan baku lokal, hingga kontruksi teknis, perdebatan itu membuat TH selalu diperhatikan dunia aristektur hingga kini.
Salah seorang yang mengkritisinya adalah CF Wolff Schoemaker. Dia adalah sosok penting arsitektur di Hindia Belanda, khususnya Bandung. Periode 1924-1940, dia pernah menjadi guru besar di TH.
Bakat besarnya muncul sepulang dari Amerika Serikat tahun 1918. Dalam tulisan Studi Perbandingan Karya 3 Orang Arsitek Belanda Kelahiran Jawa di Indonesia, Hartono mengatakan, Schoemaker terinspirasi arsitek ternama dunia Frank Lloyd Wright. Frank Lloyd Wright adalah arsitek organik yang sangat kesohor. Garis-garis dominan yang sejajar dengan tanah, serta detail-detail geometris kelihatan sangat dominan sekali.
Bambang Setia Budi dalam Schoemaker dan Penanda Kota Bandung mengatakan, Hotel Preanger mengingatkannya pada langgam seni dekoratif Frank Lloyd Wright pada awal 1920-an, khususnya karya Imperial Hotel di Tokyo (1915-1925). Motif geometrik secara dekoratif mengisi pada bidang dan pertemuan elemen bangunan. Karya ini memberi identitas tersendiri yang menegaskan sebutan art deco ala Schoemaker.
Masjid Cipaganti yang dibangun pada tahun 1933 juga memperlihatkan detail serupa, lewat unsur seni bangunan Jawa, yaitu berupa penggunaan atap tajuk tumpang dua, empat saka guru di tengah ruang shalat, dan detail ornamen, seperti bunga dan sulur-suluran. Sementara unsur Eropa terlihat pada pemakaian kuda-kuda segi tiga penyangga atap.
Baca juga: Pupuk Peduli dari Bandung untuk Hadapi Pandemi
Selain mengadaptasi unsur baru, Robert Voskuil dalam Bandung: Citra Sebuah Kota mengatakan, Schoemaker juga masih mempertahankan gaya sebelumnya. Hal itu terlihat dalam pembangunan Gereja Katholik Santo Petrus. Selain art deco, ada unsur neogotik dalam pembangunan gereja itu.
Namun, banyak pihak tidak ada yang lebih indah dari rancangan Schoemaker selain Villa Isola. Dirancang Schoemaker tahun 1933, gedung itu ditempati DW Barrety, tokoh pers Hindia Belanda.
Sayangnya, Direktur Aneta, kantor berita Hindia Belanda, itu tidak menikmati lama Villa Isola. Barrety tewas dalam kecelakaan pesawat de Uiver tahun 1934. Kini, tempat itu dijadikan gedung Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia.
CJ van Dullemen, sejarawan seni dari Universitas Leiden, Belanda, juga terpesona. Dia mengatakan, Villa Isola melampaui zamannya. Hal itu ia ketahui setelah 25 tahun menelusuri jejak Schoemaker.
Bandung adalah kota Schoemaker.
Villa Isola tetap dibangun simetris kiri-kanannya. Namun, keunikannya ada pada penambahan ruang yang dilakukan vertikal empat lantai. Ada tangga melingkar di kiri-kanan pintu masuk.
Villa Isola bahkan memiliki atap mendatar yang menabrak kelaziman atap mengerucut yang menjadi solusi panasnya hawa daerah tropis. Keberadaan tiang api berbahan bakar gas di halaman belakang semakin menegaskan sebuah perubahan radikal di zamannya.
Di Indonesia, kata Dullemen, terdapat 68 gedung hasil rancangan Schoemaker. Sebagian besar gedung-gedung itu berada di Bandung. Sisanya di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
”Bandung adalah kota Schoemaker,” kata Dullemen.
Baca juga: Anak Muda Bandung Lawan Korona
Internasional dan lokal
Bukan hanya Schoemaker yang getol menjadikan Bandung sebagai laboratorium karya. Albert Aalbers, arsitek keturunan Belanda lainnya, punya antusias yang sama.
Guru Besar Sekolah Aristektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB Widjaja Martokusumo mengatakan, Aalbers bisa disebut sebagai arsitek generasi pertama yang membawa aliran internasionalisme ke Hindia Belanda. Bank DENIS (De Eerste Nederlandsch- Indische Spaarkas), kini Kantor Pusat Bank Jabar dan Banten, yang dibangun tahun 1935, menjadi contohnya (Kompas, 7 September 2003).
Penggunaan material baja untuk struktur bangunan dan pengolahan bentuk massa yang plastis dengan unsur horizontal pada fasad memperlihatkan hal itu. Rancang ulang Hotel Homann setahun kemudian menunjukannya kembali sembari menambahkan art deco dalam interiornya.
Namun, lama tinggal di Indonesia, adaptasi lokal ikut memengaruhinya. De Driekleur, rumah tinggal dibangun tahun 1938, jadi buktinya. Saat penjajahan Jepang, gedung ini sempat jadi markas kantor berita Domei. Dari sini, teks proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 disebarluaskan. Sejak 2007, bangunan ini digunakan Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN).
Dalam tulisan ”Ekspresi Tropis dalam Modernitas AF Aalbers, Studi Kasus: De Driekleur”, Andrew Cokro Putra dan Bambang Setia Budi mengatakan, di bagian atap, atap masih datar yang mencirikan arsitektur modern. Kantiliber (metode konstruksi menampilkan struktur balok tanpa penyangga seperti kolom) dibuat hingga 1 meter untuk menahan air hujan ke dalam ruangan.
Penggunaan teknologi kedap air dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Aalbers untuk mewujudkan atap datar yang tanggap akan curah hujan tinggi di Hindia Belanda. Untuk menghindari serangga, Aalbers tidak menggunakan paving pada bagian luar dan menggantinya dengan aspal. Aalbers juga memilih warna putih. Bukan tanpa alasan, putih diklaim menyerap segala spektrum warna sehingga tidak menyilaukan.
Di awal 2000, BTPN menggandeng arsitek berpengalaman, Budi Lim, memimpin restorasi Gedung De Driekleur. Hasilnya memuaskan. BTPN mendapat penghargaan 2014 UNESCO Asia Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation untuk kategori Honourable Mention.
Uniknya, bukan tiga nama di atas yang punya kesempatan membangun gedung paling ikonik di Bandung, Gedung Sate. Pemerintah kala itu sudah kadung kepincut dengan VL Slors yang sukses menata Cimahi (1895) dan Bandung (1918).
Dalam Gedung Sate, Sudarsono Katam menyebut Slors menyanggupi tawaran itu. Dia dibantu beberapa arsitek, seperti arsitek muda J Berger mewakili Landsgebowendiest (Jawatan Gedung-Gedung) serta EH de Rood dan G Hendriks dari Gemeente van Bandoeng (Kotapraja Bandung).
Gedung ini diberi nama Gouvernements Bedrijven (Pusat Instansi Pemerintahan). Total ada 20 bangunan pemerintahan yang akan dibangun di sana. Pembangunan gedung yang semula akan sekaligus tetapi urung dilakukan karena krisis ekonomi saat itu.
Pemerintah Hindia Belanda hanya membangun dua gedung seluas 10.877,734 meter persegi dari luas lahan 27.990,859 meter persegi. Selain untuk Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan juga untuk Kantor Pos, Telegraf, dan Telepon. Arsiteknya dinilai berhasil memadukan bentuk atap seperti pura di Bali hingga ornamen sisik ikan khas Sunda serta gaya Spanyol dan Italia.
Pembangunan diselesaikan selama empat tahun dengan biaya 6 juta gulden. Enam juta itu disimbolkan seperti tusuk sate di puncak gedung. Hal itu menginspirasi penaman masyarakat sebagai Gedung Sate hingga kini. Sekali lagi Berlage puas dengan hasil kerja Slors dan kawan-kawan. Gedung Sate dianggap sebagai karya besar (een groots werk).
Baca juga: Nostalgia Rasa Legenda Bandung
Ironi
Namun, punya nama besar, kisah hidup bahkan setelah mati arsitek penentu wajah Bandung itu tidak selalu indah. Dari masuk kamp interniran, rindu tidak berbalas, hingga ironi setelah mati.
Maclaine Pont, misalnya, harus tinggal berjauhan dengan anak istrinya di Belanda. Pedihnya, hal itu berujung pada perpisahan. Dalam artikel berjudul ”Henri Maclaine Pont, Tak Seindah Karyanya” di laman ITB, MacLaine Pont juga merasakan pahitnya penjajahan Jepang.
Pada Oktober 1943, ia masuk kamp interniran di Surabaya. Dua tahun kemudian, ia keluar kamp karena kondisi kesehatannya terus memburuk. MacLaine Pont pun kemudian dirawat di Brisbane, Australia. Padahal, tahun itu pula MacLaine Pont diminta menjadi Guru Besar di TH.
Pulang ke Indonesia pada September 1946, MacLaine Pont hanya menemukan kecewa. Posisi Guru Besar di TH Bandung sudah hilang. Dia lantas kembali ke Belanda dan tinggal di Den Haag. Pada 2 Desember 1971, MacLaine Pont mengembuskan napas terakhir pada usia 86 tahun.
Aalbers juga masuk kamp interniran Jepang di Cimahi lalu kemudian dipindahkan ke Jatinegara. Meski pindah ke Amsterdam tahun 1946, Aalbers masih berharap kembali ke Bandung.
Hal ini terlihat dari nama biro arsitekturnya yang masih mencantumkan kata Bandung sebagai berikut: Aalbers en De Waal, Architecten, Amsterdam-Bandoeng. Namun, Aalbers harus melupakan harapan itu karena kondisi kesehatannya dan persoalan politik. Dia tutup usia di tahun 1961.
Wolff Schoemaker juga merasakan ironi. Bedanya, semua terjadi setelah kematiannya pada 22 Mei 1949. Ini terjadi saat makamnya di Blok CB Kelas I No 1086 kompleks Taman Pemakaman Umum Kristen Pandu, Bandung, akhir Juli 2002 nyaris dibongkar.
Alasannya, kuburan itu menunggak retribusi selama sembilan tahun. Tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab. Padahal, jumlah retribusi yang mesti dibayar hanya Rp 180.000. Lewat pemberitaan Kompas, makam itu tak jadi dibongkar.
Namun, paling menyedihkan dari semua itu adalah saat banyak karya mereka tidak abadi. Ada bangunan atau desain yang dihancurkan dan hilang tanpa jejak. Punya banyak bangunan bersejarah, hingga tahun 2017, Bandung tercatat menyisakan 418 unit. Semua harus dijaga. Bila hilang lagi, wajah Bandung akan muram kehilangan asal-usul pembentuknya.
Baca juga: Sadar Bencana di Cekungan Bandung