Bujet tim Indonesia yang berlaga di Bocuse d\'Or sekitar Rp 600 juta. Mandif Warokka, peserta kompetisi itu, merogoh kocek pribadinya. Tiket pesawat, dapur, hotel, sampai peralatan seberat 500 kilogram harus dibawa.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Kompas/Priyombodo
Chef Chris Salans menyapa para tamu yang mengikuti fine dining di Mozaic Restaurant di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (20/11/2021). Chef Chris Salans menawarkan kreasi kuliner yang disajikan tim Indonesia saat menjadi salah satu finalis dalam ajang kompetisi kuliner paling bergengsi di dunia, Bocuse Dor di Lyon, Prancis.
Kontes-kontes kuliner global kini diramaikan para juru masak Tanah Air. Pejuang-pejuang gastronomi itu berupaya mengharumkan Nusantara lewat khazanah bumbu-bumbunya meski sambutan di negeri sendiri belum tentu gegap gempita. Mereka pun menyelipkan asa untuk meraih dukungan.
Di dapur Mozaic, Ubud, Bali, Sabtu (20/11/2021), para juru masak luar biasa sibuk. Chris Salans, pemilik restoran itu, menginstruksikan untuk menambah peralatan makan. Hidangan-hidangan terlihat ditata di piring dengan cantik. Bukan sajian biasa, tetapi santapan kelas dunia.
Koki-koki menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Pramusaji kian kemari membawa nampan kayu dan piring eksotik dengan tergesa-gesa agar masakan tetap hangat. ”Oke, tambah lagi. Apakah kamu bisa menyediakannya dengan cepat? Butuh waktu lama untuk menjelaskan masakan kepada tamu,” ujar Chris.
Beberapa konsumen menyelang suapan yang lezat dengan mengangguk-angguk sembari menyimak penjelasan Chris. Di sela hawa yang sejuk seusai hujan, 43 pengunjung datang dan pergi hingga sejak pukul 18.00. Setiap tamu dikenai tarif Rp 1,2 juta.
”Saat lomba, kami harus pakai tomat ceri. Kami juga tambahkan tahu, saus kari, daun kunyit, dan keluak supaya kuat rasa lokalnya,” kata Chris. Autumn tomato feast, an omnium gatherum black tiger shrimp, salmon medallion, beef blade crown, dan blossoms of solanum diantar silih berganti.
Kompas/Priyombodo
Chef Chris Salans memastikan menu yang akan dihidangkan tampil dengan baik dalam fine dining di Mozaic Restaurant di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (20/11/2021). Pada kesempatan tersebut, Chef Chris Salans menawarkan kreasi kuliner yang disajikan tim Indonesia saat menjadi salah satu finalis dalam ajang kompetisi kuliner paling bergengsi di dunia, Bocuse Dor di Lyon, Perancis.
”Keistimewaan malam ini, kami sajikan semua makanan yang dinilai juri-juri Bocuse d’Or. Bedanya, bisa dijelaskan kenapa kami pilih masakan itu,” ucap Chris. Bocuse d’Or digelar di Lyon, Perancis pada September 2021. Tim Indonesia berhasil menembus kompetisi gastronomi yang termasuk paling bergengsi di dunia yang bisa disandingkan dengan Piala Dunia itu.
Mereka terdiri atas Mandif Warokka dan Lutfi Nugraha. Duo tersebut dilatih Presiden Bocuse d’Or Indonesia Gilles Marx dan Chris. ”Mandif juga keliling ke meja-meja untuk menjelaskan gagasannya. Tak seperti saat kompetisi, jurinya cuma pegang menu dan buru-buru,” ujarnya.
Mereka antusias merayakan lolosnya pasangan anak bangsa dalam final perhelatan dua tahunan itu. Maklum saja, sudah 10 tahun terakhir Indonesia hanya menjadi penonton. ”Kalau lolos dengan Perancis, Swedia, dan Amerika Serikat artinya orang tahu Indonesia bisa berlaga di tingkat dunia,” ujar Chris.
Itu pun, Indonesia hanya menempati peringkat ke-17 dari total 24 negara peserta. Chris mengakui hasilnya kurang bagus, tetapi Indonesia sudah menunjukkan kehadirannya. ”Kami harus ke sana lagi. Tidak datang sekali saja terus hilang,” ujarnya.
Di sela kegembiraan itu, Chris tak menampik jika kabar mengusung misi mempromosikan kuliner ke kancah global masih dianggap cukup sepi di Tanah Air. ”Hanya kalangan terbatas yang tahu. Beda dengan Swedia dan Norwegia yang memasarkan pariwisata saat memenangi Bocuse d’Or,” ujar Chris.
Kompas/Priyombodo
Kesibukan di dapur saat pelaksanaan fine dining di Mozaic Restaurant di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (20/11/2021).
Negara-negara Skandinavia itu lalu mengklaim jika makanannya tergolong paling lezat di dunia. Tak heran, tim-tim unggulan disokong pemerintahnya dengan anggaran yang amat besar. ”Bujet kami sekitar Rp 600 juta dari sponsor, pemerintah, dan pribadi. Mandif saja menyumbangkan uangnya,” katanya.
Pengeluaran demikian besar karena selain tiket pesawat, dapur, dan hotel, peralatan dengan berat total 500 kilogram harus diboyong. ”Sementara itu, beberapa tim Eropa mengganggarkan lebih dari Rp 1 miliar. Mereka bisa saja naik mobil,” kata Chris.
Ia menyisipkan harapan untuk tim Indonesia kembali berlaga. Peserta tak cukup disiapkan satu atau bulan saja namun sepanjang tahun. ”Setelah nasional, ke level Asia. Baru ke final. Perlu banyak dukungan pemerintah dan swasta,” ucap Chris.
Dedi Sutan tak ketinggalan memeriahkan pentas kuliner global dengan menembus World Pastry Cup di Lyon, Perancis pada tahun 2017. ”Sejarah rempah sangat panjang jadi saya pakai pala segar. Saya petik langsung dari kebun di Jembrana (Bali). Enggak ada yang dibuang kecuali kulit luarnya,” katanya.
Capaian menembus kompetisi internasional juga ditunjukkan Harry Nazarudin. Ia sungguh tak menyangka bukunya, Nasgor: Makanan Sejuta Mamat menembus nominasi Gourmand World Cookbook Awards 2021. Ia bersaing dengan dua pakar kuliner lain, masing-masing dari Amerika Serikat dan Yunani.
ARSIP PRIBADI
Harry Nazarudin
”Nanti, juaranya memenangi kategori penulis buku tentang nasi. Enggak berharap lolos karena buku saya ringan. Banyak ilustrasi juga,” katanya. Penyelenggara lomba yang berbasis di Madrid, Spanyol, itu justru menilai karya Harry menarik dan mudah dibaca.
Penulis dan Moderator Komunitas Jalansutra tersebut sudah menulis seri buku 100 Mak Nyus bersama Bondan Winarno dan Lidia Tanod. Karya tentang nasi goreng atau nasgor yang ditulis Harry sendiri menjadi buku keenamnya dan diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama–M&C pada Maret 2021.
”Indonesia termasuk negara dengan konsumsi nasi paling besar di dunia. Eh, buku soal nasi yang menembus lomba itu hanya satu,” katanya sambil tersenyum. Harry ingin menduniakan hidangan Tanah Air, khususnya nasi goreng lewat Gourmand World Cookbook Awards 2021.
”Buku yang pernah menang, tebal-tebal. Saya kirim saja, Juli 2021. Ternyata, buku saya yang hanya 120 halaman masuk,” katanya. Penyerahan penghargaan diperkirakan berlangsung pada Oktober atau November 2022. Lomba itu sudah digelar sejak 26 tahun lalu.
”Sebenarnya, buku saya bisa dianggap pemenang, tapi buat tahun depan, itu penentuan best of the best (terbaik dari yang terbaik),” katanya. Di setiap kategori, masing-masing peserta hanya mewakili satu negara. Tahun ini, total 1.336 karya diajukan untuk mengikuti Gourmand World Cookbook Awards.
Kompas/Hendra A Setyawan
Pakar kuliner William Wongso mencoba roti buatan Debryna Dewi Lumanauw di rumah Debryna di kawasan Grogol, Jakarta, Jumat (14/12/2019). Kesibukan sebagai dokter tidak menyurutkan hasrat Debryna untuk menghidupi hobi membuat roti.
William Wongso menilai tim-tim kompetisi kuliner dunia bisa keluar sebagai pemenang karena pemerintahnya sangat mendukung. ”Perancis menang Bocuse d’Or tahun ini. Sebelumnya, negara-negara Skandinavia. Semua dibiayai pemerintah,” ujar pakar kuliner itu.
Ia mengibaratkan lomba tersebut olimpiade dengan peserta yang tak mungkin disiapkan hanya beberapa bulan. Negara-negara maju menyiapkan koki andalannya dengan terus berlatih. “Bisa sampai setahun. Enggak kerja. Hanya latihan. Itu pun belum tentu menang," ujarnya.
William yang pernah ikut menyemarakkan ajang-ajang global dengan menjadi juri dan meraih The Best Book of The Year lewat bukunya, Flavors of Indonesia dalam Gourmand World Cookbook Awads 2017 di Yantai, China itu menilai kuliner Indonesia perlu lebih gencar dipromosikan.
”Belum dikenal. Paling, orang-orang Belanda tahunya rendang, nasi goreng, mi, dan gado-gado,” katanya sambil tertawa. Paling tidak, jika mengikuti kompetisi-kompetisi dunia, tetapi belum menjadi juara, tim Indonesia bisa menimba pengalaman.