Lindungi Kesehatan Mental Saat Pandemi dengan Emosi Positif
Proses beradaptasi pada situasi yang berubah drastis cenderung membuat seseorang menjadi stres. Pun di masa pandemi Covid-19 ini, banyak orang yang kondisi psikologisnya terguncang.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun cukup mengusik kesehatan mental para warga. Dibutuhkan emosi positif untuk membentengi diri dari ancaman gangguan mental.
Saat mendengar kabar tentang mewabahnya Covid-19 di dalam negeri pada tahun lalu, Ola (36) langsung merasa panik. Awalnya, karyawan swasta asal Jakarta Utara itu berusaha untuk tidak percaya. Namun, justru yang muncul adalah sebuah ketakutan.
”Sempat mikir, bisa bertahan enggak, ya. Aku sampai enggak mau ketemu teman. Kalaupun ada teman main, enggak boleh masuk kamar. Itu juga jarang sekali,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (12/4/2021).
Ketakutan yang kerap menghantui Ola itu terbukti setelah dia benar-benar terpapar Covid-19 pada 18 Desember 2020. Sejak itu dia harus menjalani karantina mandiri di rumah selama satu bulan.
Meskipun tidak merasakan gejala, Ola tetap mencemaskan kondisi fisiknya. Kecemasan itu bahkan sering membuat Ola berpikir ekstrem. Sampai-sampai dia pernah membayangkan dirinya berada di dalam peti mati.
”Pas menjalani karantina hari pertama rasanya lama banget. Aku selalu mimpi buruk. Bangun-bangun nangis, pas mau tidur juga nangis. Itu terjadi hampir dua pekan,” tambahnya.
Kecemasan yang dialami Ola tidak datang ujug-ujug. Sejak 2009, Ola telah divonis menderita gangguan kecemasan dan depresi. Sejak itu dia rutin menjalani terapi psikologi dengan dampingan psikiater. Sempat mengalami perbaikan selama beberapa tahun, pandemi membuat gangguan kecemasan tersebut memuncak kembali.
Selama menjalani karantina, Ola menyibukkan diri dengan berbagai hal untuk menghilangkan kecemasannya. Salah satunya melakukan konsultasi dengan layanan telemedik. Dia bahkan melakukannya selama 30 kali selama sebulan. Di sisi lain, Ola juga terus melakukan terapi musik.
”Aku merasa tenang pas konsultasi kesehatan lewat dokter-dokter telemedik. Tetapi, ternyata itu enggak cukup karena aku masih sebal sama teman-teman yang enggak pernah nanyain kabar. Akhirnya aku cerita ke terapis musikku. Habis itu baru bisa tenang,” ungkapnya.
Kecemasan yang dialami Ola tidak hanya dipicu oleh ketakutannya terhadap penyakit Covid-19, tetapi juga situasi pandemi. Pembatasan-pembatasan yang diterapkan saat pandemi amat mengusik kondisi psikologisnya.
Ola pernah merasakan panik ketika kesulitan mengembangkan kemampuan dirinya selama masa pembatasan sosial. Dia merasa telah melewatkan waktu senggangnya untuk mencoba hal-hal produktif.
”Aku mencoba masak, tapi enggak bisa. Aku jadi membandingkan diri dengan orang lain di media sosial. Yang ada kita jadi depresi juga karena merasa enggak bisa apa-apa,” katanya.
Untuk meredakan hal itu, Ola mulai menekuni hobi yang dia gemari, misalnya menanam tanaman di teras rumah, menonton film, dan membaca buku. Film yang ditonton tidak boleh sembarangan. Sebab, salah-salah film tersebut justru dapat berdampak buruk bagi kondisinya.
”Saya juga disadarkan oleh psikiater saya bahwa pandemi bukanlah kompetisi,” ungkapnya.
Terguncang
Founder platform layanan psikologi daring Ruang Berproses, Yohanna Hutabarat, mengatakan, proses beradaptasi pada situasi yang berubah drastis memang cenderung membuat seseorang menjadi stres. Pun di masa pandemi Covid-19 ini, banyak orang yang kondisi psikologisnya terguncang.
”Banyak orang yang berkonsultasi dengan kami dalam kondisi sudah mengalami gangguan mental terlebih dulu. Pandemi ini kemudian memperparah kondisi mereka. Ada juga yang menjadi waspada dengan kesehatan mental karena mereka merasa tidak baik-baik saja,” ungkap kandidat psikolog klinis ini.
Menurut Yohanna, sudah saatnya orang-orang mulai mewaspadai kondisi kesehatan mentalnya. Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum mengingat pandemi telah banyak mengubah kehidupan sosial mereka.
”Kesepian menjadi salah satu hal yang banyak dikeluhkan kepada kami, khususnya bagi orang-orang yang merantau dan jauh dari keluarga. Mereka tidak bisa bebas lagi bertemu dengan keluarga,” tambahnya.
Salah satu cara yang paling simpel untuk mengatasi kecemasan tersebut adalah dengan mindfullness. Seseorang harus berpikir hanya untuk saat ini saja dan mengabaikan situasi masa lalu atau masa depan.
”Jadi, jika kecemasan itu muncul, tarik napas, jangan berpikir ke mana-mana dulu. Kita ada di masa sekarang. Masalah besok nanti dulu. Fokus kembali ke napas,” ungkapnya.
Cara lainnya dengan mengenali diri lebih dalam. Dengan begitu, seseorang dapat melakukan kegiatan yang menyenangkannya tanpa iming-iming target. Jika ingin menekuni hobi, pilihlah hobi yang membuat bahagia, tetapi tidak mengganggu produktivitas.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Rose Mini Agoes Salim, mengatakan, saat ini banyak orang yang sudah mulai beradaptasi dengan situasi pandemi. Meski begitu, masih banyak juga yang merasakan kecemasan. Kecemasan tersebut dapat memicu stres. Sementara stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.
”Eksternalnya tidak bisa diubah karena pemberian dari Allah. Tinggal internalnya sekarang,” katanya.
Salah satu caranya lewat Social Emotional Learning (SEL). Seseorang harus bisa mengidentifikasi dirinya. Artinya, dia harus mengetahui kelemahan dan kekuatan dirinya. Dari situ pemecahan masalah dapat dilakukan.
”Misalnya seseorang dirumahkan karena pandemi dan tidak punya pendapatan. Solusinya harus mencari pendapatan. Itulah pentingnya melakukan identifikasi untuk mengetahui potensi diri,” ujarnya.
Sebaliknya, jika seseorang hanya membebani pikiran dengan hal-hal negatif, yang muncul adalah emosi negatif. Hal ini akan mengganjal seseorang untuk mengembangkan potensinya.