Gangguan tidur tidak hanya menyebabkan produktivitas terganggu pada siang hari, tetapi juga dapat meningkatkan risiko terkena penyakit. Dengan mengetahui gejala gangguan tersebut, kesehatan tidur dapat diperbaiki.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gangguan tidur tidak hanya menyebabkan produktivitas terganggu pada siang hari, tetapi juga dapat meningkatkan risiko terkena penyakit. Dengan mengetahui gejala gangguan tersebut, kesehatan tidur dapat diperbaiki.
Ketua Divisi Psikiatri Geriatri Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Martina Wiwie Setiawan mengatakan, gangguan tidur merupakan masalah yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan waktu tidur. Hal ini kerap mengakibatkan stres dan gangguan aktivitas pada siang hari.
”Ada juga orang yang tidurnya singkat, tetapi tidak merasa terganggu karena kebutuhan tidur orang berbeda-beda,” katanya dalam webinar ”Edukasi Kesehatan Tidur: World Sleep Day Virtual Course" yang diselenggarakan oleh Kelompok Staf Medis (KSM) Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher RSCM FKUI bersama Instalasi Peningkatan Kompetensi dan Simulasi Klinik (iCom-Sik_ICTEC RSCM FKUI), Jumat (19/3/2021).
Gangguan tidur disebabkan oleh kesehatan tidur yang kurang baik. Hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan, pekerjaan, perubahan zona waktu, atau pola konsumsi yang tidak sehat. Masalah medis, seperti asma, diabetes, dan jantung, juga dapat menyebabkan gangguan tidur.
Selain itu, gangguan tidur juga dapat dipicu oleh faktor psikologis. Khususnya di masa pandemi seperti saat ini, dengan kecemasan dialami banyak orang. ”Misalnya karena khawatir tertular pandemi Covid-19 atau bisa juga karena takut kehilangan pekerjaan,” ungkapnya.
Menurut Wiwie, gangguan tidur dan cemas adalah dua hal yang saling terkait. Ketika kecemasan mendominasi, seseorang akan kesulitan tidur. Sebaliknya, saat tidak bisa tidur, kecemasan akan meningkat.
”Spektrum cemas sangat banyak, mulai dari cemas fisiologis, seperti takut menghadapi ujian hingga gangguan cemas seperti cemas pascatrauma atau fobia,” ungkapnya.
Merujuk dari sejumlah studi, Wiwie menyatakan bahwa waktu terbaik untuk terlelap adalah pukul 22.00-02.00. Saat tidur dalam pada jam tersebut, tubuh akan lebih mudah memperbaiki imunitas, memperbaiki peradangan, hingga mengolah memori jangka pendek menjadi jangka panjang.
Ada beberapa gangguan tidur berdasarkan International Classification of Diseases, antara lain insomnia (gangguan memulai atau mempertahankan tidur), hipersomnia (mengantuk berlebihan), gangguan ritme bangun dan tertidur, hingga obstructive sleep apnea (OSA) atau henti napas saat tidur.
Tirza Z Tamin dari Departemen Rehabilitasi Medik RSCM-FKUI mengatakan, 80 persen penderita OSA adalah orang dengan obesitas. Selain itu, merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol juga dapat meningkatkan risiko OSA.
Untuk mengurangi gejala berat pada OSA, seseorang bisa melakukan latihan aerobik, latihan penguatan otot, atau latihan pernapasan. Latihan aerobik bisa dilakukan dengan intensitas sedang di rumah, seperti senam atau naik-turun tangga.
”Di masa pandemi ini aktivitas fungsional kita menurun. Pandemi juga cenderung menambah kegemukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan latihan yang sesuai,” katanya.
Pandemi Covid-19 membuat Diki (29), karyawan swasta asal Jakarta Pusat, mengalami gangguan tidur. Beberapa kali dia mengaku kesulitan tidur meski sudah berjam-jam berbaring di atas kasur.
”Pandemi sempat bikin jenuh dan gelisah karena lebih banyak kerja dari rumah dan enggak bisa ketemu teman kerja. Saking gelisahnya sempat susah tidur kalau malam,” ungkapnya saat dihubungi.
Diki mengaku beberapa kali tertidur pada dini hari. Meski begitu, jam bangunnya tetap tidak berubah. Hal ini juga yang membuatnya sering mengantuk saat bekerja di rumah pada siang hari.
”Godaannya juga besar banget karena meja buat kerja dekat dengan kasur. Kalau sudah mengantuk, biasanya tidur dulu sekitar satu jam,” ungkapnya.
Menurut Ketua Tim Sleep Disorder Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Manfaluthy Hakim, gangguan tidur tidak hanya mengganggu aktivitas seseorang. Jika terus berlanjut, hal ini dapat meningkatkan risiko terkena penyakit.
”Jika berlanjut, dapat meningkatkan tekanan darah dan mengganggu metabolisme yang bisa meningkatkan kegemukan atau gangguan jantung,” katanya.
Gangguan tidur yang sering dikeluhkan selama ini adalah berkurangnya kualitas tidur, kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur, hingga berperilaku abnormal saat tidur. Menurut dia, ada beberapa gejala yang dapat diamati, seperti mendengkur atau merasakan nyeri kepala saat bangun.
Tahapan tidur
Secara umum, ada dua tahapan dalam tidur, yakni rapid eye movement (REM) dan non-REM. Tahapan REM terdiri atas dari empat fase. Pada fase pertama, tubuh akan mudah terbangun. Fase selanjutnya ditandai dengan mimpi yang sulit dijelaskan.
Pada fase ketiga dan keempat, tubuh biasanya lebih sulit dibangunkan atau disebut tidur dalam. Dengkuran biasanya lebih sering muncul pada fase ini.
Sementara pada tahapan non-REM, bola mata akan bergerak secara cepat, denyut jantung fluktuatif, dan kecepatan pernapasan meningkat. Pada tahapan ini, badan akan terasa sulit digerakkan dan mimpi cenderung bervariatif.
”Fase-fase akan membentuk siklus tidur yang tidak selalu berurutan. Bisa saja saat tidur kita langsung masuk ke fase kedua atau langsung lelap di fase ketiga,” kata Manfaluthy.
Normalnya, seseorang memiliki 5-7 kali siklus dalam sekali tidur, sekitar 50 persen berada pada fase kedua. Meski begitu, gangguan tidur bisa terjadi pada semua fase.
Menurut Manfaluthy, setiap orang memiliki kebutuhan tidur yang berbeda-beda bergantung pada usianya. Untuk usia 18-40 tahun, misalnya, kebutuhan tidurnya 7-8 jam per hari. Sementara latensi tidur (waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur), normalnya berlangsung selama 8-10 menit.
”Pada penderita insomnia latensi tidur ini dapat berlangsung berjam-jam,” katanya.
Saat tidur, tubuh akan melakukan perubahan posisi sebanyak 20-40 kali dalam satu malam. Tubuh juga akan terbangun setidaknya 1-2 kali dan akan meningkat seiring dengan usia. Sejauh tidak melebihi ketentuan tersebut, tidur seseorang dikatakan sehat.