Insentif Sektor Properti Disambut Baik dengan Catatan
Para pelaku bisnis properti menyambut baik berbagai insentif dari pemerintah untuk membangkitkan kembali sektor ini, seperti uang muka nol persen dan insentif PPN. Namun ada beberapa catatan terkait kebijakan ini.
Angin segar berbagai insentif untuk sektor properti mendorong keyakinan pengembang. Bahkan, muncul kalimat: inilah saatnya berinvestasi rumah! Namun, ada beberapa catatan terkait insentif tersebut.
Insentif uang muka nol persen menjadi salah satu angin segar tersebut. Tak berhenti sampai di sini, pemerintah juga memberikan insentif penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rumah untuk mendorong gerak perekonomian nasional yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (1/3/2021), secara resmi menyatakan, insentif PPN diberikan pemerintah untuk mendorong konsumsi dan produksi perumahan di sektor properti. Pemberian insentif PPN atas penyerahan rumah tapak dan rumah susun ditanggung pemerintah selama enam bulan untuk masa pajak 1 Maret-31 Agustus 2021.
Pemberian insentif itu menggunakan mekanisme PPN yang ditanggung pemerintah (DTP) dengan besaran 100 persen dari PPN yang terutang atas penyerahan rumah tapak atau rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp 2 miliar. Untuk harga rumah tapak atau rumah susun di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar, insentifnya ditetapkan sebesar 50 persen dari PPN.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menegaskan, insentif ini diharapkan menjadi momentum percepatan pemulihan ekonomi nasional di bidang properti, terutama mendorong penjualan pasokan rumah yang telah dibangun pengembang pada tahun 2020 dan 2021. Juga, membantu masyarakat untuk memperoleh rumah layak huni yang sudah ada di pasar perumahan melalui pembebasan PPN.
Kriteria rumah tapak atau rumah susun yang mendapat fasilitas ini adalah penyerahan secara fisiknya dilakukan pada saat pemberian insentif (Maret-Agustus 2021), rumah baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni, serta diberikan maksimal untuk satu unit rumah tapak dan atau rumah susun untuk satu orang dan tidak boleh dijual kembali dalam jangka waktu satu tahun.
Atas kebijakan terbaru ini, pengembang properti sangat mengapresiasi niat pemerintah. Tentunya, di balik kebijakan itu, tantangan yang tidak ringan harus dihadapi pengembang.
Kebijakan pemerintah ini menunjukkan apresiasi terhadap pengembang properti. Itu artinya, kami benar-benar diposisikan setara dengan industri-industri lain untuk memajukan ekonomi yang sedang terpuruk. (Bambang Ekajaya)
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya mengatakan, ”Kebijakan pemerintah ini menunjukkan apresiasi terhadap pengembang properti. Itu artinya, kami benar-benar diposisikan setara dengan industri-industri lain untuk memajukan ekonomi yang sedang terpuruk.”
Berdasarkan data Kementerian Keuangan dalam ”Overview Kebijakan Perumahan Indonesia”, potensi penyerapan tenaga kerja untuk pembangunan 500.000 rumah subsidi masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak 3 juta orang, kemudian satu unit apartemen menyerap 300 orang, dan sektor penjualan/pengelolaan menyerap 1.500 orang.
Di sektor properti lainnya, pembangunan satu pusat perbelanjaan berpotensi menyerap tenaga kerja 1.000 orang dan untuk pengelolaannya menyerap 15.000 orang. Sementara proses pembangunan hotel bintang tiga menyerap 300 orang dan untuk pengelolaannya menyerap 250 orang.
Direktur Pemasaran PT Ciputra Residence Yance Onggo menuturkan, banyak aspek yang dapat membuat bisnis properti bergairah dalam mendorong perekonomian nasional. Apabila pelaksanaan kebijakan ini bagus, diharapkan dapat ditingkatkan kembali levelnya terkait kriteria yang beririsan dengan insentif tersebut. Dengan demikian, sektor konstruksi sebagai penopang industri properti dapat berkontribusi lebih besar lagi.
Baca juga : Berbagi Strategi Mencermati Prospek Properti 2021
Tantangan menghadang
Meski demikian, berbagai pihak memberi catatan pada pemberian insentif pemerintah ini. Menurut Bambang, di satu sisi, pemerintah ingin menggerakkan roda perekonomian melalui sektor properti. Namun, di sisi lain, pergerakan itu akan kurang berdampak signifikan, karena pemerintah menekankan kriteria penjualan rumah ready stock. ”Sebetulnya, ini malah akan mengerem penjualan rumah indent,” kata Bambang.
Pengamat properti Ali Tranghanda dari Indonesia Property Watch (IPW) mengatakan, perputaran uang di sektor properti tidak dapat dianggap enteng, bahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan sektor otomotif, apalagi jika dihitung sampai pada industri ikutannya. Menurut dia, sektor properti tidak sepenuhnya kehilangan daya beli di segmen tertentu pada masa pendemi.
Berdasarkan riset IPW, penjualan sepanjang tahun 2020 menurun 31,8 persen dibanding tahun 2019. Namun, jika sedikit dirinci, kenaikan penjualan tahun 2020 pada segmen harga Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar tumbuh 12,5 persen. Sementara segmen lainnya mengalami penurunan bervariasi.
Kebijakan penghapusan PPN tersebut telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.010/2021. Aturan relaksasi ini hanya berlaku untuk rumah yang terbangun siap huni sampai batas waktu 31 Agustus 2021. Artinya, kata Ali, rumah harus ready stock atau diupayakan terbangun sampai periode insentif PPN berakhir.
”Inilah saatnya para pengembang yang mempunyai unit ready stock untuk meningkatkan penjualan dengan relaksasi luar biasa. Termasuk proyek-proyek apartemen yang saat ini masih tersedia banyak stok karena secara harga jual pasti akan lebih rendah dari biasanya,” kata Ali.
Tantangan lainnya, pembangunan rumah baru harus dapat diselesaikan selama enam bulan. Jika ada unit yang terjual pada bulan Maret, misalnya, pengembang harus segera membangun sampai selesai pada bulan Agustus. Namun, jika penjualan terjadi pada bulan Mei atau setelah itu, pengembang diperkirakan tidak akan sanggup menyelesaikan rumah pada jendela pemberian insentif.
”Pengembang tidak akan mengambil risiko membangun banyak unit dalam kondisi saat ini sebelum ada pembeli. Karena itu, kebijakan ini hanya menguntungkan pengembang yang kini memiliki rumah ready stock, dan (insentif ini) tak dapat mengangkat potensi daya beli masyarakat lain yang ingin membeli properti secara indent,” ujar Ali.
Menurut Ali, kebijakan yang seharusnya luar biasa ini menjadi kontra produktif, karena ada aturan ready stock. Fokus pemerintah seharusnya memperbesar pasar, bukan hanya untuk menghabiskan stok rumah. Paling tidak, ada patokan standar progres bangunan sampai batas akhir periode relaksasi.
Ada baiknya kebijakan ini juga diperlebar jangkauannya untuk pengembang-pengembang menengah dan kecil yang saat ini kemungkinan tidak berani membangun ready stock karena pendanaan yang terbatas. IPW memandang, jika dimungkinkan, pemerintah dapat memberikan standar minimal dari progres yang terbangun sampai masa periode kebijakan berakhir Agustus 2021. Artinya unit hunian tidak harus siap huni, tetapi ada persyaratan minimum lainnya.
”Untuk menjangkau pengembang menengah dan kecil yang juga tidak memiliki ready stock, tetapi pasarnya besar, ada baiknya pemerintah menerapkan batasan minimum progres hunian sampai batas waktu berakhir. Paling tidak, misalnya, harus ada pondasi atau naik dinding, sehingga tidak harus siap huni 100 persen,” ujar Ali.
Enam bulan, tenggat waktu yang teramat singkat. Seperti juga sektor otomotif yang mendapat relaksasi pajak bertahap selama sembilan bulan, sektor properti juga berpacu dengan waktu untuk mengejar kebangkitan kembali.
Baca juga : Bayang-bayang Pandemi di Sektor Properti 2021