Bekerja dari rumah atau WFH punya kelebihan dan kekurangan di mata para pekerja. Kendati demikian, mereka tetap bersiap untuk kemungkinan WFH jangka panjang di masa depan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Nyaris setahun sudah ruang kerja sebagian orang tak sampai lima langkah dari tempat tidur. Istilahnya, ngesot pun sampai. Yang biasanya berjejalan di kereta atau bus untuk ke kantor tentu senang. Namun, lama-lama para pekerja jadi bertanya-tanya, ”Bakal sampai kapan bekerja dari rumah?”
Rizky P Ananda (25), karyawan swasta di Jakarta, bekerja dari rumah sejak Maret 2020 karena pandemi Covid-19. Kantornya menerapkan aturan ini setidaknya hingga Juli 2021. Rizky yang biasanya menghabiskan waktu 1 jam 45 menit dari indekos ke kantor tidak keberatan. Waktu dan energinya tidak lagi terbuang percuma untuk naik-turun kendaraan umum.
Ia mengaku lebih suka bekerja dari rumah karena bisa konsentrasi. Ketenangan dan fokus merupakan sedikit kemewahan dari work from home (WFH) yang ia peroleh.
”Tapi, konsekuensi WFH adalah jadi banyak rapat virtual. Saya pernah mengikuti sembilan rapat dalam sehari. Tanpa sadar, pekerjaan jadi lebih banyak dan waktu untuk istirahat lebih sedikit. Dampak dari ini adalah rentan burnout (kelelahan),” kata Rizky saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (3/2/2021).
Bekerja dari rumah juga berarti kehilangan momen menjalin pertemanan dengan rekan kerja. Padahal, menurut Rizky, pertemanan penting untuk kolaborasi pekerjaan di masa depan. Lebih lanjut, hal ini bisa berpengaruh ke performa kerja.
Hal serupa dialami karyawan swasta Frederick Alfhendra (24). Ia mengaku tidak nyaman berkolaborasi dengan tim kerja secara daring. Ia beberapa kali mendatangi teman-teman kantornya untuk bekerja bersama.
”Kebetulan kami tinggal di gedung indekos yang sama. Saya datang ke kamar mereka untuk kerja bareng, hanya 2-3 orang. Suasana sosialnya jadi lebih ’dapat’. Saya bisa melihat ekspresi dan gestur mereka. Kami bisa saling menyampaikan pendapat dan pengertian secara langsung soal proyek yang dikerjakan,” katanya.
Bekerja dari rumah juga berarti kehilangan momen menjalin pertemanan dengan rekan kerja. Pertemanan penting untuk kolaborasi pekerjaan di masa depan.
Setelah 11 bulan bekerja dari rumah, ia mengaku lebih suka bekerja di kantor. Para karyawan di kantornya punya etos kerja yang tinggi. Ia pun termotivasi untuk bekerja dengan serius dan disiplin. Kedisiplinan itu melonggar saat dia bekerja di rumah.
Karyawan swasta Ivanka Desyra (25) juga merasa kehilangan lingkungan yang mendukung untuk bekerja. Ia bekerja jarak jauh sejak pulang kampung ke Pontianak, Kalimantan Barat, April 2020. Sementara kantornya beroperasi di Jakarta.
Bekerja dari rumah mulanya menyenangkan. Ada banyak waktu senggang untuk mengembangkan diri. Ivanka pun mendirikan usaha binatu beberapa bulan lalu.
”Tapi, lama-lama jadi jenuh, terutama saat lembur. Biasanya lembur itu hal biasa karena ada temannya. Kami saling mendukung sehingga semangat untuk kerja. Sekarang, lembur itu membuat bete. ini berdampak ke turunnya performa kerja,” tutur Ivanka.
Bersiap
Kendati bekerja dari rumah punya sejumlah kekurangan, baik Rizky, Frederick, maupun Ivanka sama-sama bersiap dengan kemungkinan WFH permanen. Mereka bersiasat agar bisa beradaptasi dengan pola kerja baru di masa depan. Rizky dan Frederick berencana melakukan pertemuan tatap muka terbatas dengan rekan-rekan kerja mereka. Sementara Ivanka berkomunikasi dan memperbarui informasi dengan rekan di Jakarta.
”Saya meyakini pola kerja jarak jauh masih akan berlangsung lama walau semua orang sudah divaksinasi Covid-19. Kita harus beradaptasi,” ujar Ivanka.
Persiapan para karyawan tersebut sesuai dengan hasil survei dari Dell Technologies dan Kantar, firma riset global. Survei dilakukan terhadap 7.192 karyawan pada Oktober 2020 di tujuh negara, yakni Indonesia, Australia, India, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan. Dari jumlah itu, 1.030 responden dari Indonesia.
Hasilnya, 81 persen responden menyatakan siap bekerja jarak jauh untuk jangka panjang. Kendati demikian, 33 persen responden mengaku khawatir jika kehidupan profesional dan pribadi mereka tercampur. Kekhawatiran lain mereka adalah tentang stabilitas jaringan internet (32 persen) dan kurangnya interaksi dengan perusahaan (31 persen).
Survei mendapati bahwa karyawan membutuhkan teknologi dan perangkat yang tepat untuk bekerja dari rumah. Selain itu, mereka juga butuh pelatihan lanjutan dari pihak perusahaan, salah satunya tentang memanfaatkan teknologi untuk kerja.
”Perusahaan harus menyiapkan teknologi yang tepat dan bisa digunakan oleh karyawan. Perangkat teknologi pun sebaiknya dibantu disediakan oleh perusahaan. Tidak mungkin semua ditanggung karyawan,” kata Director of Commercial Client Dell Technologies di Indonesia dan Filipina Martin Wibisono.
Martin menambahkan, perusahaannya sudah menerapkan sistem kerja jarak jauh sejak 2009. Proporsinya 65 persen karyawan bekerja di kantor, sementara 35 persen sisanya bekerja dari rumah. Sejak Maret 2020, nyaris 90 persen karyawan bekerja dari rumah. Perusahaan menyiapkan help desk untuk membantu karyawan yang butuh bantuan.
Sebanyak 81 persen responden menyatakan siap bekerja jarak jauh untuk jangka panjang. Kendati demikian, 33 persen responden mengaku khawatir jika kehidupan profesional dan pribadi mereka tercampur.
Adapun riset dari Gartner pada Juni 2020, sebanyak 47 persen perusahaan berencana memperbolehkan karyawan bekerja jarak jauh secara permanen. Sebanyak 87 persen akan memberlakukan hal ini sesekali.
Kultur kerja
Pakar budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menekankan pentingnya kultur bekerja. Sebab, batasan antara kehidupan profesional dan pribadi kerap kabur selama pandemi. Menurut dia, setiap orang punya hak untuk tidak terhubung di luar jam kerja.
”Orang sering lupa bahwa teknologi hanya alat pembantu. Di balik perangkat dan teknologi adalah manusia yang punya hak beristirahat dan melakukan hal lain. Kultur manusia adalah bekerja dengan jam terbatas. Jika itu dilanggar, akan menimbulkan ketidaknyamanan,” ujar Firman.
Menurut dia, perusahaan perlu menyusun ulang kultur bekerja di masa pandemi, khususnya ketika sebagian besar karyawan bekerja jarak jauh. Misalnya, kesepakatan tentang jam kerja dan diskusi rutin. Adanya konflik saat bekerja terjadi karena kultur perusahaan belum terbentuk.
Martin Wibisono mengatakan, perusahaan harus menyadari bahwa kultur kerja di masa pandemi telah berubah. Komunikasi rutin antaranggota divisi diperlukan, minimal seminggu sekali. Komunikasi privat pun diperlukan, salah satunya untuk evaluasi performa kerja. Atasan juga harus bisa menciptakan suasana kerja yang produktif walau tidak bisa saling bertatap muka.
”Konsep bekerja saat ini berubah. Kita tidak lagi terikat pada waktu dan tempat, tetapi lebih berorientasi pada hasil. Perusahaan harus siap membantu karyawan agar bisa berperan secara profesional dan personal,” ujar Martin.