Krisis seperempat abad atau ”quarter life crisis” umum dialami para dewasa muda di usia 20-an tahun. Krisis pada akhirnya akan lewat dan membuat individu tumbuh semakin dewasa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis seperempat abad atau quarter life crisis dimaknai sebagai masa sulit para milenial masa kini. Serangan emosional dari dalam dan luar diri datang bertubi-tubi. Ujungnya, milenial mempertanyakan dan meragukan eksistensi diri, hingga kehilangan arah hidup. Kendati berat, badai krisis akan berlalu pada akhirnya.
Krisis ini dipicu banyak hal, salah satunya membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Hal ini lazim dialami milenial. Melalui media sosial, anak muda membandingkan diri dengan orang lain yang dinilai ”lebih”, baik dalam segi penampilan fisik, prestasi, pekerjaan, maupun kehidupan romansa.
Krisis eksistensi diri juga kerap dipicu desakan untuk mengikuti standar ”kesuksesan” publik. Konstruksi sosial menentukan ”linimasa ideal” yang harus dicapai seseorang untuk sukses. Misalnya, lulus kuliah tepat waktu, mendapat pekerjaan dalam waktu singkat, mapan secepatnya (umumnya untuk laki-laki), lantas menikah di usia muda (untuk perempuan).
Anak muda yang ”gagal” mengikuti linimasa umumnya akan merasa tertekan. Tak jarang mereka menerima ”penghakiman” publik karena ”kegagalannya”. Akhirnya, anak muda mulai mempertanyakan jati diri, harga diri, dan ragu akan masa depan.
Psikolog dan Co-founder Arsanara Development Partner, Neysa Nadia, pada Minggu (16/8/2020) mengatakan, krisis seperti itu dialami pada orang dewasa di fase awal dan madya. Krisis dewasa awal umum terjadi di usia 20-an tahun, sedangkan krisis dewasa madya pada usia 30 tahun hingga 40-an tahun.
”Tantangan krisis kehidupan dewasa awal umumnya adalah tentang cara membangun relasi dengan orang lain, termasuk mencari pasangan hidup. Mereka juga dalam fase mencari identitas diri. Tantangan krisis kehidupan madya biasanya seputar kehidupan rumah tangga, misalnya tanggung jawab dalam mendidik anak,” kata Neysa pada pertemuan virtual berjudul How to Change Quarter Life Crisis into Quarter Life Opportunity.
Tantangan krisis kehidupan dewasa awal umumnya adalah tentang cara membangun relasi dengan orang lain, termasuk mencari pasangan hidup. Mereka juga dalam fase mencari identitas diri
Dewasa ini, salah satu pemicu quarter life crisis ialah kehidupan orang lain yang tampak lebih baik di media sosial. Hal itu membebani diri sendiri. Namun, Neysa menekankan pentingnya membandingkan diri dengan orang lain secara obyektif.
”Lihatlah seberapa mirip situasi kita dengan orang tersebut. Tidak adil jika kita membandingkan diri dengan orang yang punya situasi lebih baik. Kita perlu sering mengingatkan diri agar menjadikan mereka sebagai inspirasi, bukan beban. Silakan jadikan mereka sebagai target (pencapaian), tapi dengan kecepatan dan kemampuan diri sendiri,” kata Neysa.
Baik pada diri sendiri
Salah satu cara jitu menghadapi quarter life crisis, menurut Neysa, adalah dengan bersikap baik pada diri sendiri. Artinya, jangan menyepelekan diri sendiri dan jangan menyimpan dendam atas kesalahan yang dilakukan di masa lampau.
Kekurangan diri baiknya diterima, kemudian dipelajari agar bisa disiasati. Mengenal seluk-beluk diri penting untuk memahami diri sendiri. Berbicara dengan nada positif ke diri sendiri (positive self-talk) amat disarankan untuk semua individu.
Self-talk juga penting untuk mengidentifikasi cita-cita yang ingin diraih di masa depan. Setelah keinginan teridentifikasi, seseorang perlu menginvestasikan waktu untuk pengembangan diri dengan keterampilan yang memadai.
”Identifikasi seperti itu memberi kita arah atau action plan. Jadi, keinginan kita tidak sekadar mengawang-awang saja. Selanjutnya, penting juga untuk menemukan dukungan, baik dari teman, keluarga, maupun Tuhan,” ujar Neysa.
Pelajaran berharga
Pegiat media sosial Naajmi Wicaksono (34) pernah mengalami krisis kehidupan seperempat abad. Krisis itu ia alami ketika berusia 25 tahun. Ia membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang dinilai lebih sukses dari dirinya. Lambat laun, hal itu memicu depresi. Ia pun pernah mencoba bunuh diri.
Untuk menghadapi krisis, ia dan temannya berbagi cerita dan menyemangati satu sama lain. Naajmi juga menulis di blog pribadinya. Setelah krisis lewat, ia memutuskan pergi ke psikolog untuk mendapat pertolongan profesional.
”Pelajaran terbesar dari quarter life crisis adalah menyadari bahwa krisis ini tidak berlangsung selamanya di hidup. Hanya sesaat. Semua rasa, cemas, iri hati, depresi, dan perasaan tidak berguna ini mengajarkan saya banyak hal. Ini harus dilalui agar jiwa kita tumbuh dan menjadi manusia yang lebih baik,” kata Naajmi yang juga penyintas bipolar dan borderline personality disorder (BPD), yakni gangguan kesehatan jiwa yang ditandai, antara lain, dengan kesulitan mengatur emosi.
Ia menekankan bahwa krisis tersebut akan terlewati. Selama krisis, ia pun belajar bahwa anak muda perlu berhenti membandingkan dirinya dengan orang lain. Masing-masing orang juga perlu mendefinisikan makna kesuksesan dan kebahagiaannya sendiri.
Naajmi menambahkan pentingnya menemukan cara menghadapi krisis kehidupan. Sebab, krisis tersebut memicu kecemasan dan depresi. Selain anak muda yang mengalami quarter life crisis, kecemasan dan depresi juga dialami sebagian publik selama pandemi.
Berdasarkan swaperiksa oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Gangguan Jiwa Indonesia per 14 Mei 2020, ada 69 persen orang di Indonesia yang mengalami masalah psikologis selama pandemi. Studi dilakukan terhadap 2.364 responden.
Studi juga menyatakan bahwa 68 persen orang mengalami kecemasan, 67 persen depresi, 77 persen menderita trauma psikologis, dan 49 persen lainnya berpikir tentang kematian.
”Berbagai tekanan banyak dirasakan oleh masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Itu antara lain ketakutan akan kehilangan orang terdekat karena tertular Covid-19, rasa frustrasi dan bosan untuk terus berada di rumah, juga ketakutan kehilangan pekerjaan dengan situasi ekonomi saat ini,” kata Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Association Nova Riyanti Yusuf (Kompas, 13/8/2020).
Sebelumnya, Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) dan Ikatan Alumni Universitas Airlangga Komisariat Fakultas Kesehatan Masyarakat juga melakukan survei serupa. Survei berlangsung pada 6-13 Juni 2020 secara daring dengan 8.031 responden di seluruh provinsi.
Survei menyatakan bahwa lebih dari 50 persen responden mengalami kecemasan dengan kategori cemas dan sangat cemas. Konteks kecemasan yang dialami adalah interaksi sosial (67 persen), agama (55 persen), pekerjaan (63 persen), ekonomi (58 persen), dan pendidikan (74 persen).