Dunia maya menjadi tempat interaksi warganet yang memunculkan gerakan-gerakan komunal baru. Salah satunya adalah ”cancel culture” yang secara harfiah berarti budaya pembatalan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·6 menit baca
”Twitter, do your thing” atau ”Twitter, do your magic”. Dua kalimat ini sangat sering muncul di Twitter. Kalimat itu digunakan untuk mendorong warganet menilai sesuatu. Apabila mereka tidak menyukainya, mereka akan menggali lebih dalam isu tersebut dan kemudian melakukan budaya pembatalan alias cancel culture.
Sederhananya, cancel culture berarti aksi pemboikotan oleh warganet kepada seseorang, sekelompok orang, atau institusi yang melakukan hal ofensif. Pemboikotan bisa dalam bentuk kecaman, pembahasan kesalahan masa lalu, doxing, atau penghentian dukungan secara massal kepada orang tersebut. Kegiatan pemboikotan berlangsung sistematis, seperti lewat petisi daring, surat terbuka, dan tagar.
Cancel culture berkembang sejalan dengan gerakan Me Too, gerakan melawan pelecehan dan kekerasan seksual yang marak di jagat media sosial pada 2017. Cancel culture bisa terjadi dalam topik apa saja dan kepada siapa saja. Namun, gerakan ini biasanya muncul dalam pembahasan terkait misogini, ras, dan orientasi seksual.
Lisa Nakamura, Direktur Digital Studies Institute di University of Michigan, mengatakan, ketika sekelompok orang kekurangan kekuatan (power) untuk mengubah sesuatu, salah satu opsinya adalah menolak berpartisipasi. Boikot memiliki konsekuensi sebab atensi berarti uang dalam ekonomi internet,
”Kita tidak lagi berada dalam momen budaya di mana orang-orang yang diperlakukan tidak adil tidak dapat membalas pendapat yang regresif dan beracun. Jika seorang figur publik ingin ’membatalkan’ orang transjender, bukan tidak mungkin figur publik itu akan ’dibatalkan’ sebagai balasan,” katanya.
Kasus terbaru adalah penulis kenamaan asal Inggris, JK Rowling, yang dicerca karena mengeluarkan pernyataan berbau anti-transjender pada Juni 2020. Selain Rowling, deretan pesohor yang menjadi sasaran cancel culture, antara lain rapper Doja Cat, komedian AS Nick Cannon, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Miss Universe Malaysia 2017 Samantha Katie James, politisi Singapura Ivan Lim, dan merek makanan Aunt Jemima dari Quaker Oats Company.
Cancel culture juga terjadi pada orang biasa dan telah berdampak pada di kehidupan nyata. Amy Cooper, seorang perempuan kulit putih, mengancam untuk melapor polisi tanpa alasan kepada seorang laki-laki kulit hitam di New York, Amerika Serikat, pada Mei 2020. Video Cooper viral di Twitter hingga 45 juta views. Ia akhirnya dipecat perusahaan tempatnya bekerja.
Di Indonesia, cancel culture juga terjadi. Motivator Mario Teguh dikecam karena tidak mengakui putranya dan Youtuber Ericko Lim dicela karena berselingkuh dari pacarnya. Yang terbaru, warganet mengampanyekan boikot PT Alpen Food Industry, produsen es krim Aice, karena tidak memenuhi hak pekerjanya.
Pada umumnya, cancel culture baru berhenti ketika pihak yang menjadi obyek menghilang dari dunia maya atau meminta maaf secara terbuka. ”Membatalkan seseorang pada akhirnya adalah permainan kekuasaan; kekuasaan dapat diperoleh dari institusi dan otoritas formal, atau dari pendapat populer,” kata Walid Jumblatt Abdullah, asisten profesor dari Nanyang Technological University.
Cancel culture sedikit berbeda dengan gerakan lainnya yang telah muncul lebih dulu, yaitu call-out culture atau budaya memanggil. Call-out culture lebih kepada teguran dari warganet kepada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kesalahan. Mereka mengkonfrontasi agar pihak itu menyadari kesalahan dan tidak lagi melakukannya.
Bola liar
Cancel culture berfungsi sebagai alat untuk memberi suara kaum termarjinalkan, memberi ruang untuk reformasi sosial, dan menghapus ketidakadilan. Tak bisa dimungkiri, cancel culture merupakan cara instan untuk mengumpulkan suara massa.
Hanya saja, cancel culture saat ini telah bergerak menjadi bola liar yang berujung pada persekusi daring. Apalagi, dalam sejumlah kasus, cancel culture terjadi karena fakta yang tidak lengkap atau bersifat subjektif. Lihat saja kasus perceraian aktor kenamaan asal Amerika Serikat Johnny Depp dan aktris Amber Heard pada 2017.
Awalnya, publik memihak Heard yang menuduh Depp melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Popularitas Heard meningkat bahkan dia melebarkan karier menjadi aktivis perempuan. Sementara Depp dihujat habis-habisan hingga reputasi dan kariernya hancur. Dia bahkan harus kehilangan karakter kebanggaannya, Jack Sparrow, dari seri film Pirates of the Caribbean, pada 2018.
Situasi berbalik 180 derajat ketika Depp akhirnya membawa bukti baru bahwa dirinya menjadi korban kekerasan dari Heard dan balik menuntut Heard pada 2019. Warganet kini menghujat Heard. Mereka melakukan kampanye agar Heard berhenti menjadi duta besar L\'Oréal dan tidak berperan dalam film Aquaman yang kedua.
Dampak negatif lainnya adalah cancel culture menutup ruang debat dan diskusi. Profesor Hukum di Stanford University, Richard T Ford, merupakan satu dari sekitar 150 tokoh ternama yang menulis surat terbuka terkait kebebasan berbicara—meskipun mereka kemudian dikritik karena merupakan bagian dari kaum elitis.
Surat itu mengkritik kebiasaan untuk tidak memberi ruang kepada kesalahan dan mengalahkan ide-ide melalui pembungkaman, bukan perdebatan. ”Aktivisme di Twitter itu mudah; butuh beberapa detik untuk menyerang seseorang atau mengedarkan sebuah petisi agar orang itu dipecat atau diasingkan,” kata Ford.
Dalam beberapa kasus, cancel culture memicu polarisasi masyarakat. Di dunia politik, Presiden AS Donald Trump memecah belah rakyat AS dengan kebiasaannya untuk menyerang pihak yang ingin dia cela. Salah satunya adalah ketika Trump berusaha mendiskreditkan gerakan Black Lives Matter yang bergelora akhir Mei 2020 pasca-kematian George Floyd, warga kulit hitam.
”Intoleransi dan kefanatikan Trump telah mengilhami perilaku serupa dari para pengikutnya dari kanan, yang kemudian memicu reaksi balik dari kalangan progresif. Semakin banyak sikap ’kita lawan mereka’ di mana tindakan itu dipandang benar dan bahkan menjadi sama seperti dogmatis dan pantang menyerah, sama seperti ideologi musuhnya,” ucap Ford.
Perubahan sosial
Nakamura percaya cancel culture baru menjadi masalah ketika gerakan itu memecah gerakan sosial atau menargetkan sejumlah pihak secara tidak akurat. ”Pada akhirnya, gerakan itu adalah kekuatan penting untuk perubahan. Gerakan Black Lives Matter akan sangat berbeda seandainya tak ada dokumentasi tentang rasisme sehari-hari di Walmarts, jalur lari dan jalur sepeda, serta ruang publik lainnya,” pungkasnya.
Cancel culture, pada titik tertentu, berhasil membuat perubahan politik dan sosial. Pada video rasis Amy Cooper, misalnya, pembuat kebijakan di AS akhirnya mengusulkan undang-undang baru yang menambah laporan polisi palsu di AS sebagai bagian dari kejahatan rasial. Ini dapat melindungi orang-orang kulit hitam yang kerap menjadi korban laporan palsu.
Jurnalis Ernest Owen dalam kolom opini The New York Times menulis, sebagai seorang milenial, dirinya telah berpartisipasi menggunakan platform digital untuk mengkritik orang-orang berkuasa yang mempromosikan kefanatikan atau menyakiti orang lain. Namun, ia melakukannya bukan tanpa alasan.
”Ini bukan perundungan orang yang memiliki pendapat berbeda, tetapi menekan orang-orang berpengaruh yang telah berbuat jahat atau berpotensi di masa depan,” katanya, melawan kritik Presiden AS ke-44 Barack Obama terkait cancel culture.
Dalam beberapa kasus, cancel culture berhasil melumpuhkan pergerakan orang-orang bermasalah yang waktu itu belum tersentuh hukum. Salah satunya adalah musisi R Kelly yang ternyata adalah predator seksual. Warganet meramaikan tagar #MuteRKelly (Bisukan R Kelly) sebagai upaya untuk menghentikan dukungan terhadap karier dan finansial penyanyi ini. Konser R Kelly di Jerman batal karena petisi daring warganet pada 2019.
Keith Hampton, profesor media dan informasi di Michigan State University, mengingatkan, cancel culture tidak lagi menjadi gerakan positif apabila sengaja menyakiti orang lain. ”Rasa bersalah dan mempermalukan orang tidak benar-benar sukses mengubah opini,” tuturnya.
Diskursus mengenai sampai titik mana cancel culture berlaku dan berdampak masih berlangsung. Saat ini, implementasi gerakan komunal virtual ini masih kembali pada kebijaksanaan masing-masing warganet melihat konteks dan fakta.
Namun, sama seperti di dunia nyata, setiap pengguna media sosial perlu menyadari untuk mengedepankan diskusi dan pertukaran ide ketika berjelajah di dunia maya. Di saat bersamaan, mereka perlu ingat bahwa bebas berbicara tidak berarti bebas dari konsekuensi. (AFP/BBC/CNN/Telegraph/South China Morning Post)