Narasi Akademik Pempek Palembang Belum Kuat
Pempek Palembang masih harus berupaya lebih keras untuk mendapat pengakuan Warisan Budaya Takbenda dari UNESCO. Penguatan dan penggalian sejarah melalui riset mendalam masih menjadi pekerjaan rumah.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya Palembang mengusulkan makanan khasnya pempek sebagai warisan dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO terkendala narasi akademik yang minim. Selama ini tidak ada naskah kuno yang menceritakan secara spesifik mengenai kelahiran atau keberadaan pempek.
Sejarawan ataupun budayawan Palembang hanya melacak asal-usul pempek dari bukti yang terputus-putus. ”Palembang harus menelusuri lagi nasakah-naskah kuno, termasuk hingga Leiden, Belanda, untuk mencari tahu asal-usul pempek,” ujar Pudentia MPSS, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam seminar daring ”Pempek Palembang menuju Warisan Dunia” yang diselenggarakan Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat (Sumbar), Rabu (22/7/2020).
Riset total seperti itu perlu dilakukan untuk memperkuat substansi dan naskah akademis. Hal ini penting untuk menguatkan argumen menjadikan pempek sebagai warisan budaya takbenda (WBTB) ketika diuji oleh UNESCO.
Agar tidak diklaim daerah atau negara lain, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mengusulkan pempek menjadi WBTB Indonesia beberapa tahun lalu. Sejak 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun menetapkan pempek sebagai WBTB Indonesia dari Sumsel. Lalu, mulai 2019, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel membentuk tim untuk mengusulkan pempek sebagai WBTB dunia di UNESCO.
Pudentia yang juga Ketua Asosiasi Tradisi Lisan mengatakan, paling tidak ada empat poin utama yang dibutuhkan pempek untuk menjadi WBTB dunia, antara lain mempunyai makna signifikan dari Indonesia untuk dunia. Kemudian, pembuktian telah dipreservasi dan dilestarikan, memiliki kekhasan luar biasa sebagai suatu identitas, dan komunitas yang berperan nyata.
Sejauh ini, menurut Pudentia, pempek sudah memiliki tiga poin utama menuju WBTB dunia. Segenap pihak telah berupaya melestarikan pempek sehingga tetap bertahan hingga sekarang. Bahkan, varian pempek terus berkembang dari waktu ke waktu.
Secara luas, pempek juga menjadi identitas atau jati diri Palembang. Hampir semua pihak sepakat, pempek berasal dari Palembang dan Palembang adalah tempat lahirnya pempek walau pempek juga banyak di daerah lain, seperti Bangka-Belitung, Jambi, dan Bengkulu.
Baca juga: Membawa Pempek Mendunia
Komunitas pempek di Palembang mulai dari pembuat, penjual, penikmat, hingga pemerintahnya pun sangat serius untuk menjadikan pempek sebagai WBTB dunia. Terbukti, rutin digelar sejumlah diskusi ataupun seminar untuk menyusuri jejak pempek dan mempromosikannya sebagai salah satu WBTB Indonesia hingga dunia.
Meski demikian, belum ada narasi akademik yang kuat mengenai pempek. Selama ini, sejarah mengenai pempek hanya berasal dari tradisi tutur yang lemah referensi akademik atau tanpa sumber data akademik. Contohnya mengenai cerita rakyat yang mengabarkan pempek muncul sejak 1617 atau abad ke-17 dan dijual oleh lelaki keturunan China yang biasa disebut apek dengan bersepeda di Palembang.
Pempek harus belajar dari narasi kuliner luar negeri yang lebih dahulu dapat pengakuan dunia. (Pudentia MPSS)
Sejarah itu diragukan karena sepeda baru muncul atau ada pertama kali pada abad ke-18 di Eropa. ”Sejarah pempek yang ada sekarang harus dikaji atau dikuatkan kembali. Pempek harus belajar dari narasi kuliner luar negeri yang lebih dahulu dapat pengakuan dunia, seperti kimchi dari Korea Selatan yang memiliki kisah yang kuat dan panjang terkait kehidupan atau kebudayaan masyatakat Korea,” katanya.
Pudentia menuturkan, empat poin itu harus disiapkan secara matang karena memang tidak mudah menjadi WBTB dunia. Sebagai gambaran, UNESCO hanya memberikan Indonesia kesempatan mengusulkan satu warisan untuk menjadi WBTB dunia setiap dua tahun.
Saat ini, sangat banyak warisan Indonesia yang antre untuk dapat kesempatan itu. Bahkan, alat musik tradisional asal Sulawesi Utara, kolintang, sudah 10 tahun berjuang, tapi belum dapat kesempatan.
Pada 2021 atau ketika kesempatan terbuka lagi, Indonesia akan mengusulkan alat musik tradisional Pulau Jawa, gamelan, sebagai WBTB dunia. Gamelan sudah menanti tiga tahun untuk kesempatan itu. Pada 2023, Indonesia mungkin mengusulkan tempe atau jamu dari Pulau Jawa sebagai WBTB dunia.
Paling cepat, pempek baru bisa diusulkan sebagai WBTB dunia pada 2025. ”Walau demikian, peluang pempek menjadi WBTB dunia tetap ada. Apalagi, Indonesia belum pernah mengusulkan kuliner tradisional menjadi WBTB dunia,” tuturnya.
Penelusuran mendalam
Peneliti muda BPNB Sumbar Efrianto A mengutarakan, karena sumber akademik yang minim, timnya harus melakukan penelusuran mendalam mencari tahun mengenai sejarah pempek di Palembang pada 2014. Faktanya, sejarah yang ada juga dari sumber yang terputus-putus.
Orang Palembang meyakini pempek sudah ada sejak abad ke-7. Hal itu dibuktikan adanya penjelasan penanaman pohon sagu untuk dimanfaatkan masyarakat oleh Raja Sriwijaya dalam Prasasti Talang Tuo yang menjelaskan pendirian Taman Sriksetra di Palembang pada 23 Maret 684.
Dari situ, pempek yang terbuat dari sagu dan ikan diyakini sudah ada di Palembang sejak abad ke-7. Apalagi, di Palembang, tak sulit mencari bahan baku ikan dari Sungai Musi yang membentang luas dan panjang di sana.
Baca juga: Pempek Palembang Menolak Tenggelam
Sementara itu, kata pempek memang dianggap baru muncul pada 1920-an. Dahulu, pempek dikenal dengan istilah kelesan. Namun, di awal abad ke-20 itu, banyak orang keturunan China yang disebut apek menjual kelesan. Dari itu, orang-orang mulai menyebut kelesan sebagai pempek yang berasal dari penggalan panggilang berulang kata apek.
Adapun kelesan atau pempek pertama yang muncul adalah jenis lenjer atau yang berbentuk bulat memanjang. Per 2014, sedikitnya sudah ada 22 variasi pempek dari yang direbus, digoreng, dibakar, dimakan dengan cuko, dengan kuah khusus, dengan cabe, berbahan campuran sagu dan ikan, berbahan sagu, ikan, dan unsur lain, hingga hanya berbahan salah satu unsur tersebut.
”Waktu itu, kami harus melakukan wawancara dengan beberapa narasumber dan mengadakan forum grup diskusi untuk menyamakan persepsi mengenai sejarah pempek,” ujarnya.
Kepala Subbidang Tata Usaha BPNB Sumbar Titit Lestari menyampaikan, adanya naskah akademik yang kuat mengenai pempek sebagai penganan asli Palembang juga bertujuan agar tidak ada daerah lain yang membantah dan mengklaim. Langkah seperti itu juga dilakukan untuk tari saman dari Gayo Lues, Aceh, yang diperkuat dokumen tertua hasil penelitian peneliti Hindia Belanda Snouch Hurgronje (1857-1936) sehingga ditetapkan sebagai WBTB dunia pada 2011.
”Komunitas yang mengusulkan pun harus bisa menjelaskan filosofi pempek dalam kehidupan masyatakat setempat sehingga produk ini memiliki makna mendalam untuk menjadi WBTB dunia,” katanya.
Kemudian, ia menyarankan agar diinisiasi beragam kegiatan untuk kian membumikan pempek di masyarakat, seperti lokakarya atau pelatihan pembuatan pempek. Sejak sekarang, lanjut dia, harus disiapkan pula strategi pelestarian berkelanjutan karena tanggung jawab moral jadi lebih besar ketika sudah ditetapkan sebagai WBTB dunia.
Asli Palembang
Ketua Lembaga Komunitas Batang Hari Sembilan dan anggota Tim Pengusulan Pempek sebagai Warisan Dunia Vebri Al Lintani meyakini pempek asli dari suku Palembang. Dari penelitiannya, pempek adalah kuliner yang lahir dari alkulturasi budaya dan Palembang adalah satu-satunya kota heterogen dengan alkulturasi budaya yang kuat antara Melayu, Jawa, dan China di Sumsel sejak masa Sriwijaya.
Setidaknya, sejak masa awal Sriwijaya, Palembang sudah banyak didatangi orang dari China yang tak menutup kemungkinan memberikan inspirasi pengolahan bahan sagu dan ikan untuk menjadi pempek. Palembang juga daerah yang banyak dihuni pendatang dari Jawa yang memberikan pengaruh manis dalam kuliner setempat sehingga turut melahirkan cuko yang jadi kuah peneman pempek dengan rasa manis, pedas, dan asam. Hingga kini, hanya Palembang yang kulinernya dapat sentuhan manis dari gula, sedangkan daerah lain di Sumsel tidak mengenal itu.
Sesuai Prasasti Talang Tuo, sagu terbukti sudah lama dimanfaatkan masyarakat untuk panganan. Di Palembang masa lampau, pohon sagu tumbuh berlimpah di sepanjang Sungai Musi dan anak-anak sungainya. Dengan adanya banyak sungai di Palembang, tak diragukan sumber ikan berlimpah untuk jadi bahan pempek, mulai dari ikan tangkeleso, belida, gabus, hingga ikan lain sebagai alternatif.
Dahulu, pempek ikan tangkeleso jadi bekal pasukan Sriwijaya untuk ke medan perang. (Vebri Al Lintani)
”Dahulu, pempek ikan tangkeleso jadi bekal pasukan Sriwijaya untuk ke medan perang,” tuturnya.
Masyarakat Palembang juga punya tradisi memingit perempuan sebelum nikah agar pandai mengolah masakan ketika sudah menikah. Itu memperkuat bahwa pempek lahir dari kreasi tradisi tersebut. Hingga 1980-an, keluarga di Palembang punya tradisi makan dalam enam waktu per hari dan makan pempek dilakukan setiap sore hari. Kini untuk menikmati pempek tak perlu tergantung waktu alias kapan saja.
Alat-alat tradisional pembuat pempek juga sudah ada sejak dahulu, seperti damparan (telenan) dan iseran (alat giling manual) untuk menghaluskan bahan pempek. Sejauh ini, hanya di Palembang pula pempek terus berkembang dengan segala bentuk modifikasinya. ”Untuk itu, saya yakin betul pempek asli lahir dari dapur suku Palembang,” ujar Vebri.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Aufa Syahrizal mengatakan, pempek punya filosofi mendalam untuk masyarakat Sumsel, terutama Palembang. Pempek adalah lambang keluwesan atau toleransi baik masyarakat Sumsel maupun Palembang. Pempek mudah membaur dengan segala bahan tambahan, seperti pempek dengan mi menjadi rujak mi, pempek dengan kuah menjadi model, tekwan, atau celimpungan dan beragam jenis lainnya.
Itu mempresentasikan, baik masyarakat Sumsel maupun Palembang yang mudah menerima/membaur dengan orang-orang dari daerah lain bisa hidup di mana saja atau bisa bergaul di mana saja.
”Pempek sudah dikenal luas secara nasional bahkan beberapa negara, seperti Malaysia dan Belanda. Kami khawatir pempek diklaim daerah atau negara lain kalau kami tidak memperjuangkannya sebagai WBTB dunia dari Sumsel,” ujarnya.