Bertahan dalam Intaian Stres
Gangguan mental, seperti cemas dan depresi, rawan menyerang dan bisa menghinggapi siapa saja, termasuk kita. Orang dewasa ataupun remaja yang terkesan baik- baik saja bisa jadi sangat membutuhkan pertolongan.
Edy Kurniawan (38) tampak baik-baik saja di mata keluarga. Pekerjaannya sebagai kontraktor telekomunikasi berjalan lancar. Sehari-hari, ia tak pernah mengeluh stres. Namun, Edy ternyata menyembunyikan gangguan kecemasan atau anxiety disorder.
Serangan panik pertama kali ia rasakan pada Agustus 2017. Kala itu, ia seorang diri di kamar pada tengah malam. Sepulang olahraga ketika akan mandi, lehernya terasa tercekik, jantung berdebar kencang, dan berkeringat dingin.
”Saya panik, mati nih gue. Saya keluar kamar mandi lalu masuk kamar. Mencoba shalat enggak bisa karena deg-degan. Ya, sudahlah pasrah, mulai reda dan saya tidur,” kata Edy.
Keesokan harinya, dokter ahli penyakit dalam di sebuah rumah sakit mendiagnosisnya asam lambung dan gangguan anxiety disorder. ”Saya pikir sudah selesai, ternyata berlanjut. Di kantor mulai takut masuk kamar mandi. Takut terulang kejadian semalam. Semenjak itu, muncul ketakutan yang aneh-aneh,” tambahnya.
Setiap pukul 17.00, ia minta izin pulang dari kantor karena takut gelap, takut terbang, takut naik kereta, juga takut buka media sosial. ”Tiap buka medsos, pikirannya takut mati. Karena suka ada info orang sakit atau mati. Saya pikir biasa saja. Namun, gejala fisik mulai macam-macam: perut sakit, dada panas, lalu kena heartburn,” kata Edy.
Kecemasan dan kepanikan terus-menerus akhirnya membawa Edy mendatangi psikiater. Psikiater mendiagnosis dengan gangguan stres karena kurang rileks. ”Orang stres biasanya enggak tahu kalau dia stres. Makin ke sini saya tahu, saya memendam banyak masalah,” ujarnya.
Mengacu laporan nasional Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan, prevalensi gangguan mental emosional di DKI Jakarta tahun 2018 sebesar 10,1 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional (9,8 persen). Gejala paling banyak diderita ialah gangguan kecemasan dan depresi.
Kelola stres
Cindy (43) juga tak sadar bahwa ia berpotensi mengalami gangguan mental hingga ia berusaha mengadopsi seorang anak tujuh tahun lalu. Bocah laki-laki itu pun jadi anak sulungnya. Setahun kemudian, ia melahirkan anak kedua. Pengalaman dalam proses adopsi membuat Cindy menyadari pentingnya mengenali dan memedulikan kondisi mental.
Ketika itu, untuk mendapat pengesahan pengadilan atas anak yang ia adopsi, Cindy disyaratkan menjalani pemeriksaan kesehatan fisik dan mental. ”Entah berapa ratus pertanyaan tertulis harus dijawab, juga wawancara dengan dokter di rumah sakit jiwa,” ujarnya.
Seusai pemeriksaan itu, Cindy mendapat penjelasan dari dokter jiwa bahwa ia punya potensi mengalami gangguan kesehatan jiwa.
”Aku menangkap pesan dokter itu bahwa ada sisi diriku yang kalau tidak aku jaga baik-baik, bisa membuat aku jadi seperti psikopat,” ujarnya.
Sejak itu, Cindy berupaya lebih mengenal dirinya. Ia berlatih olah pernapasan dan aktif dalam kegiatan pendalaman spiritual untuk mengelola emosi. Ia juga rajin mengikuti beragam program pendidikan pengasuhan anak.
Setelah mendapat diagnosis gangguan kecemasan, Edy juga berusaha mengenali diri. Ia menemukan bahwa gangguan kecemasan menyerang tepat ketika adik bungsunya akan menikah. ”Umur saya 38 tahun dan belum menikah. Saya pikir, saya biasa saja, ternyata kepikiran,” kata Edy.
Edy lantas mengelola stres dengan aktif yoga, meditasi, self healing, dan olah fisik. Lewat meditasi, ia menemukan jawaban dari satu per satu masalahnya. Waktu kecil, sang ayah memukul ibunya di hadapan Edy yang hanya bisa menangis. Ia juga menjadi korban perundungan di sekolah dan pelecehan seksual kala kecil.
Guncangan juga dialami Indria (40) akibat kematian sahabatnya karena kanker. Ia berubah jadi sosok pemarah. Pernah sekali waktu Indria membanting pintu dan memecahkan piring-piring. Beruntung, suami dan anaknya tidak membiarkan Indria sendirian. Mereka mengajaknya melancong ke sejumlah tempat. Lambat laun kesedihan Indria berangsur hilang. Keluarga ini juga lebih intens beribadah bersama.
Keluarga juga menjadi penyokong bagi Bahana Patria, seorang fotografer. Merasa penat karena beban pekerjaan, ia merasa tidak bisa lagi menikmati keindahan pemandangan alam. ”Saat liburan, lupa bawa kamera. Walaupun awalnya waswas, ternyata nikmat banget, lho. Enggak terbebani dengan ’tugas’. Ternyata kalau gue pikir lebih dalam, gue hanya perlu keluarga gue ada,” ujarnya.
Serang remaja
Tekanan mental tidak hanya dialami orang dewasa, tetapi juga remaja. Beberapa waktu lalu, masyarakat terenyak dengan kasus bunuh diri Nadila, siswi SMP di Jakarta yang loncat dari lantai empat sekolahnya.
Laporan Data Kesehatan Dunia (Global Health Data Exchange) 2017 menyebut, prevalensi gangguan mental yang tertinggi di Indonesia berada di kelompok usia 15-19 tahun, yaitu 9,86 persen. Kelompok itu diikuti kelompok usia 10-14 tahun 9,25 persen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, bunuh diri adalah penyebab utama kematian pada kelompok usia 15-29 tahun.
Gangguan kejiwaan juga menghampiri remaja seperti Charlene (19) yang selalu mencetak prestasi terbaik di kelasnya sejak sekolah dasar hingga kini ia menjadi mahasiswi. Beberapa tahun lalu, orangtuanya bercerai setelah melalui konflik berkepanjangan. Meski demikian, Charlene tetap terlihat baik-baik saja.
Prestasinya terjaga. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Ia ramah dan supel berkawan, selalu bersikap santun kepada siapa pun. Tak terlihat jejak kemuraman di wajah gadis itu.
Suatu hari, Charlene meminta tambahan uang saku. Ibunya luar biasa kaget ketika mengetahui uang itu digunakan Charlene untuk membayar konsultasi ke psikiater. Menurut Charlene, ia pergi ke psikiater karena merasakan dorongan kuat untuk melukai dirinya sendiri. Pilihannya ketika itu adalah menuruti dorongan itu atau mencari bantuan profesional.
Menurut psikolog Ratih Ibrahim, stimulus tekanan hidup yang dirasakan remaja cenderung sama dengan orang dewasa. Di Klinik Personal Growth yang didirikan Ratih, banyak remaja datang dengan keinginan bunuh diri. ”Dulu, anak remaja datang ke klinik gue karena tren: ada signature keren kalau gangguan jiwa. Sekarang, mereka googling lalu mendiagnosis dirinya sendiri.”
Para remaja yang datang dengan kesadaran sendiri ke klinik psikologi ini lantas mengonfirmasi apa benar mereka mengalami gangguan jiwa.
Poliklinik Psikiatri Rumah Sakit Melinda 2 Bandung juga melakukan survei pada akhir 2019 dengan responden 440 mahasiswa. Hasil survei di salah satu perguruan tinggi di Bandung, Jawa Barat, itu menunjukkan, 30,5 persen mahasiswa depresi, 20 persen serius ingin bunuh diri, dan 6 persen mencoba bunuh diri.
Psikiater Rumah Sakit Melinda 2 Bandung, Teddy Hidayat, menyebutkan, masalah kesehatan jiwa mahasiswa terjadi hampir di semua perguruan tinggi. Jumlah mahasiswa yang dilayani poliklinik itu saja 100-150 orang per bulan, termasuk rawat inap.
”Gangguan yang paling sering ditemukan adalah depresi. Disebut major depressive disorders. Lalu, ada episode depresi dari bipolar. Risikonya, bunuh diri,” ujar Teddy, yang juga psikiater di RS Limijati, Bandung.
Gejala ringan gangguan jiwa, menurut Ratih, bisa berupa gejala fisik (deg-degan dan tak bisa tidur), gejala kognitif (lupa dan loading lambat), emosi (gelisah dan mudah teriritasi), hingga psikososial (menarik diri dan takut bertemu orang).
Stres bisa muncul dalam rutinitas keseharian yang bisa diprediksi dan dikelola. Stres juga bisa muncul ketika berada di puncak pengalaman kehidupan, seperti orangtua bercerai, keluarga sakit, krisis ekonomi, dan bencana alam.
Stres pada puncak pengalaman hidup bisa dikelola dengan konseling untuk menata emosi. Stres keseharian bisa diantisipasi dengan persiapan matang sebelum berkegiatan.
Mari kenali dan rawat baik-baik kesehatan mental kita.