Tolak Eksepsi KPU dan Tim Prabowo-Gibran, MK Tegaskan Tak Hanya Adili Angka
›
Tolak Eksepsi KPU dan Tim...
Iklan
Tolak Eksepsi KPU dan Tim Prabowo-Gibran, MK Tegaskan Tak Hanya Adili Angka
MK merasa berwenang mengadili pelanggaran kualitatif pemilu sepanjang mengancam integritas, demokrasi, dan keadilan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menolak eksepsi yang diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum dan tim pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang menilai MK tidak memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa di luar hasil penghitungan suara pemilu. MK menolak hanya mengadili angka-angka hasil rekapitulasi suara dan menegaskan bahwa lembaga tersebut juga berwenang mengadili proses pemilu sepanjang ada indikasi persoalan yang belum terselesaikan dan dapat mempengaruhi integritas pemilu.
”Berdasarkan pertimbangan hukum dan kutipan putusan di atas, telah jelas bahwa Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24Ca Ayat (1) UUD 1945 tidak hanya sebatas mengadili angka-angka atau hasil rekapitulasi penghitungan suara, tetapi juga dapat menilai hal-hal lain yang terkait dengan tahapan pemilu yang berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum, Senin (22/4/2024).
Dalam pertimbangannya, MK menyampaikan dapat memahami bahwa peraturan perundang-undangan telah membagi kewenangan penyelesaian permasalahan pemilu kepada sejumlah lembaga. Penanganan permasalahan etik, misalnya, menjadi kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Penanganan sengketa proses pemilu menjadi kewenangan Bawaslu. Sementara pidana pemilu ditangani Bawaslu beserta kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Meskipun penyelesaian masalah hukum pemilu sudah dibagi sesuai kategori dan diserahkan ke lembaga yang berbeda, bukan berarti MK tidak berwenang untuk menilai masalah hukum pemilu yang terkait dengan tahapan pemilu, termasuk penetapan suara sah hasil pemilu. Salah satu dasar untuk membuka kemungkinan tersebut, kata Saldi, adalah lembaga-lembaga yang berwenang tidak tuntas menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang terjadi. Ini terutama terkait persoalan yang berpotensi mengancam terwujudnya pemilu berkeadilan, demokratis, dan berintegritas.
”Di antara penyebab kerap terjadinya masalah dimaksud adalah singkat atau terbatasnya wewenang lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum pemilu. Dalam hal masalah hukum pemilu belum tuntas, atau bahkan tidak terselesaikan sama sekali, hal demikian dapat menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan (memengaruhi) hasil pemilu,” kata Saldi.
Oleh karena itu, manakala terdapat indikasi tidak terpenuhinya asas-asas dan prinsip pemilu pada tahapan sebelum penetapan hasil pemilu, apa pun alasannya, MK sebagai peradilan konstitusi wajib mengadili keberatan atas hasil rekapitulasi suara pemilu. ”Dengan demikian, Mahkamah tidak memiliki alasan untuk menghindar mengadili masalah hukum pemilu yang terkait dengan tahapan pemilu berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu, sepanjang hal demikian memang terkait dan berpengaruh terhadap hasil perolehan suara peserta pemilu,” tambahnya.
Lagi pula, paradigma semacam itu sudah digunakan MK saat menangani perkara sengketa pilpres pada tahun 2019.
Mahkamah tidak memiliki alasan untuk menghindar mengadili masalah hukum pemilu yang terkait dengan tahapan pemilu berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu, sepanjang hal demikian memang terkait dan berpengaruh terhadap hasil perolehan suara peserta pemilu.
”Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait, yang pada intinya menyatakan Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan a quo dikarenakan permohonan pemohon tidak mendalilkan perselisihan hasil suara pemilu presiden dan wakil presiden berupa penghitungan secara kuantitatif, melainkan mendalilkan pelanggaran kualitatif bersifat terstruktur, sistematis, dan masif adalah eksepsi yang tidak beralasan menurut hukum,” kata Saldi.
MK bukan keranjang sampah
Namun, MK menegaskan, tidak tepat jika menjadikan MK sebagai tumpuan untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi selama penyelenggaraan pemilu. Sebab, apabila MK diposisikan untuk menilai hal-hal lain, hal itu sama saja dengan menempatkan MK sebagai ”keranjang sampah” untuk menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan pemilu di Indonesia.
Oleh karena itu, MK berharap lembaga yang sudah diberi kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan pemilu, seperti Bawaslu dan Sentra Gakkumdu, melaksanakan kewenangannya secara optimal. Hal ini penting agar tercipta pemilu yang jujur, adil, serta berintegritas.
Selain itu, Saldi menambahkan, lembaga politik seperti DPR tidak boleh lepas tangan sehingga sejak awal harus pula melaksanakan fungsi konstitusionalnya, seperti fungsi pengawasan, serta menggunakan hak konstitusionalnya yang melekat, seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, untuk memastikan semua tahapan pemilu terlaksana sesuai Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945. Ini penting mengingat waktu yang terbatas, yaitu 14 hari kerja, untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum.