Mengingat Sejarah, Jangan Tepis Potensi Perang China dengan Segitiga Pimpinan AS
Pola perseteruan Sparta versus Athena yang terlibat Perang Peloponesia sedang berembrio di Asia.
China memperingatkan balik segitiga AS-Jepang-Filipina yang dianggap bertujuan membendung China secara militer. China langsung menegaskan kembali kedaulatan atas Kepulauan Diaoyu dan Laut China Selatan.
Salah satu tujuannya adalah melakukan blokade hingga lewat pedalaman perairan tersebut. Segitiga pimpinan AS tampaknya tidak gentar. Pengerahan persenjataan baru milik AS segera dimulai di Filipina.
Situasi ini memunculkan lagi hipotesis ”jebakan Thucydides”. Pola perseteruan Sparta versus Athena yang terlibat Perang Peloponesia sedang berembrio di Asia. ”Jebakan Thucydides” sedang terlihat lewat perseteruan AS versus China, kata Graham Allison, pakar politik Harvard dalam Harvard College China Forum Ke-27, 12 April 2024, di kampus Harvard.
”Jebakan Thucydides”, mengambil nama pakar Yunani yang hidup empat abad sebelum Masehi, merujuk pada pola historis pertarungan antara Sparta dan Athena. Kekuatan baru (Athena) terdorong secara naluriah menentang kekuatan lama (Sparta) yang memudar dan keduanya terjebak perang dengan melibatkan sekutu-sekutunya. Jika AS dan China mengikuti persis pola serupa, hal itu akan mengubah berita baik dunia yang damai dalam 79 tahun terakhir, atau sejak 1945, tidak terjebak perang kolosal.
Istilah ”jebakan Thucydides” yang merebak pada 2015 dimunculkan oleh Allison. Ia meneliti perang Sparta versus Athena, dan pola perseteruan di antara kekuatan-kekuatan geopolitik dunia dalam 500 tahun terakhir.
Allison menyimpulkan, dari 16 perseteruan geopolitik, 12 perseteruan berakhir dengan perang. Empat perang yang luput adalah antara Spanyol dan Portugal, AS versus Inggris, AS melawan Uni Soviet, dan Jerman yang pada 1990-an tidak mendominasi Eropa secara militer.
AS menemukan pijakan
”Jebakan Thucydides” yang lebih banyak berujung perang, kata Allison, mengacu pada discombobulation. Ada rasa takut dipermalukan yang muncul secara alamiah dan menimbulkan sikap kalap bagi kekuatan lama. Rasa takut ini muncul ketika kekuatan baru mengancam untuk menggantikan kekuatan lama. Tekanan struktural yang muncul dari situasi itu membuat ”benturan hingga kekerasan” menjadi aturan main.
Allison, yang mendapatkan banyak kritikan karena terminologi ”jebakan Thucydides” itu, pada 29 Januari 2024 kepada New Yok Magazine, menambahkan, realitas struktural sekarang adalah China sedang bangkit dan menantang nyata AS. Rasa kalap AS pun muncul. Hal itu sekaligus memunculkan kebingungan.
Dari perspektif China, AS dilihat semakin siaga, berjaga-jaga, termasuk dengan membentuk aliansi di kawasan sekitar China. Reaksi AS ini dipandang China sebagai tantangan balik.
Ada campur aduk antara keinginan dari sebagian pihak di AS untuk merangkul, tetapi berhadapan dengan ketidakrelaan pihak lain untuk mengakui eksistensi China. Maka ada opini di AS yang bernada damai ditimpali sikap pihak lain yang terus melakukan demonization, pemojokan, hingga marak kampanye sumir, termasuk pemburuk-burukan kinerja China.
”Dari perspektif China, AS dilihat semakin siaga, berjaga-jaga, termasuk dengan membentuk aliansi di kawasan sekitar China. Reaksi AS ini dipandang China sebagai tantangan balik,” kata Allison.
Baca juga: Pertemuan AS-Jepang-Filipina, Arsitektur Baru Keamanan Indo-Pasifik
China meyakini AS sedang mengepung, membendung, menindas. Allison melanjutkan, pola seperti ini telah dituliskan Thucydides dalam kasus Sparta versus Athena dan perseteruan AS-China sudah diperkirakan akan terjadi.
Senada dengan itu, AS disebutkan tidak memiliki lagi strategi kuat secara militer dalam menghadapi China jika AS sendirian. Demikian dituliskan tiga pakar CSIS. Maka AS telah menemukan pijakan lewat koalisi dengan Filipina, Jepang, Australia. Duta Besar AS untuk Jepang Rahm Emanuel, 10 April, kepada Bloomberg, menyebutkan, segitiga AS-Jepang-Filipina bertujuan mengisolasi China.
Mengubah dinamika
Terjadilah pertemuan puncak segitiga di Washington, 11 April, oleh Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. Dalam pertemuan itu, Biden menyatakan relasi segitiga itu kukuh seperti baja.
Khusus tentang Filipina, Biden menyebutkan bahwa setiap serangan terhadap pesawat, kapal, atau kekuatan bersenjata milik Filipina di Laut China Selatan akan menjadi dasar bagi penggunaan traktat pertahanan AS-Filipina. Berdasarkan penjanjian pada 1951, Filipina akan dilindungi dengan pertahanan militer AS.
Filipina dan China terlibat sengketa di bagian Laut China Selatan. Marcos Jr mengatakan, koalisi segitiga ini akan memunculkan dinamika baru di Laut China Selatan. Harapan Marcos, koalisi segitiga akan membuat China berpikir dua kali mendaulat wilayah milik Filipina di Laut China Selatan.
Baca juga: AS Peringatkan China Lewat Pertemuan dengan Jepang-Filipina
Seorang pejabat AS, sebagaimana dikutip CNN pada 12 April, menyebutkan pula rencana penguatan struktur militer di pangkalan Angkatan Udara di Clarck dan Angkatan Laut di Subic, Filipina. Tambahan pula, AS untuk pertama kali mengerahkan Typhon Weapon System ke Luzon, di utara Filipina. Sistem ini bisa meluncurkan rudal jelajah Tomahawk dan SM-6.
Dengan Jepang, AS meneken lebih dari 70 perjanjian. Isinya mencakup peningkatan kerja sama pertahanan, investasi, hingga misi Jepang ke Bulan.
Kepada CNN, 7 April, Kishida mengatakan, ketegangan geopolitik telah mendorong dunia memasuki sejarah baru dan memaksa Jepang mengubah pertahanan dari status sekadar membela diri hingga kemungkinan bisa menyerang. Anggaran pertahanan Jepang juga akan dinaikkan.
Pemojokan terhadap China pun muncul dari Jepang, yang ironisnya telah dicatat sejarah sebagai kekuatan agresif di Asia. ”Kita menyaksikan agresi Rusia di Ukraina, demikian juga di Asia Timur,” kata Kishida.
”Di sekitar kami ada negara-negara yang mengembangkan rudal balistik, senjata nuklir, dan membangun pertahanan mereka dengan cara yang tidak jelas. Ada upaya sepihak untuk mengubah status quo dengan kekerasan, baik di Laut China Timur maupun Laut China Selatan,” kata Kishida merujuk pada agresi China.
Kishida menambahkan, dengan situasi itu, aliansi Jepang-AS menjadi amat penting. Kishida juga berbicara dengan sambutan meriah di hadapan Kongres AS, Kamis (12/4/2024).
Marcos dan Kishida telah memperkuat pola perseteruan, termasuk untuk kepentingan hegemoni AS dalam menghadapi China. Asia secara militer telah meningkat statusnya menjadi ajang pertikaian militer dengan potensi perang.
Manuver di bawah laut
Tentu ada hal nyata yang membuat China khawatir, yakni manuver kekuatan militer AS di bawah laut. ”Salah satu dari banyak hal yang tidak diungkapkan oleh AS adalah militerisasi, termasuk aksi sangat berbahaya dan penyebab destabilisasi lewat manuver kapal selam AS di Laut China Selatan,” kata Joseph Gregory Mahoney, profesor politik dan hubungan internasional pada East China Normal University, kepada Bloomberg, 10 April.
Militerisasi bawah laut oleh AS ini baru ketahuan setelah terjadi kecelakaan di pihak AS, merujuk pada kecelakaan di bawah Laut China Selatan yang dialami kapal selam AS bertenaga nuklir, USS Connecticut (SSN-22), pada 2 Oktober 2021. ”Kenyataan ini telah mendorong China mengambil sikap lebih keras di atas permukaan laut,” kata Mahoney.
Konstruksi pertahanan bawah laut AS lewat kekuatan kapal selam, kata Mahoney, bertujuan memblokade kekuatan angkatan laut musuh. Konstruksi ini sangat diinginkan AS. Dengan instrumen sonar aktif (active sonar) yang dimiliki kapal selam modern, segala yang ada di bawah laut hingga di permukaan bisa dilacak.
Baca juga: Membaca Arah Aliansi di Kawasan
Hal ini memudahkan blokade angkatan laut dipadukan dengan pasukan darat, permukaan laut, dan udara. Harian China, The Global Times, 22 Maret 2024, memberitakan bahwa militer AS terus berupaya memperkuat kekuatan militer di Laut China Selatan, termasuk kekuatan kapal selam.
Kemarahan bertubi-tubi
Tak pelak lagi, pernyataan keras China muncul lewat Kedutaan Besar China di Washington, 12 April, dan juga lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, 13 April.
Mao mengatakan, Jepang dan Filipina tentu saja bebas mengembangkan relasi dengan pihak mana saja. ”Akan tetapi, dua negara itu seharusnya tidak perlu menciptakan blok konfrontatif di kawasan, apalagi terlibat kerja sama yang merugikan kepentingan negara-negara lain,” kata Mao.
China mendesak AS dan Jepang agar tidak membentuk klik anti-China dan jangan mengusik Prinsip Satu China atas Taiwan. Reaksi China secara implisit memperlihatkan taring. ”China mendesak AS dan Jepang agar menyadari momen dan keberpihakan waktu serta membuang mental Perang Dingin,” kata Mao Ning.
Ucapan ini merujuk pada persepsi tentang China yang menguat. Mao sekaligus memperingatkan kisah boneka (pawn). ”Pelajaran sejarah dengan sendirinya mengatakan bahwa sebuah boneka akan diabaikan,” katanya.
Pernyataan ini merujuk pada kekuatan besar yang meninggalkan koalisi. Sepeninggal AS, para pendukungnya di Afganistan merasa ditelantarkan. Hal serupa dikeluhkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Ada banyak alasan bagi China untuk bersikukuh melawan AS dan kubunya. Mahoney mengatakan, AS dan Jepang telah menyebabkan kesengsaraan selama 150 tahun bagi China, diiringi dengan peran utama Inggris, Perancis, dan negara Eropa lainnya. China tak ingin sejarah berulang.
Batas kesabaran
China mengingatkan bahwa kesabaran ada batasnya. Wu Shicun, Presiden National Institute for South China Sea Studies, mengingatkan, ”China memiliki garis dasar, tetapi kesabarannya terbatas. Beberapa negara mungkin berpikir China tidak dapat bertindak lebih jauh, tetapi ini perkiraan yang salah.”
Kemarahan China mulai menyentuh ”ekonomi”. Presiden Marcos Jr menyatakan segitiga pimpinan AS tidak bertujuan menyerang China dan tidak akan menjadikan Filipina sebagai lokasi peluncuran senjata. Marcos menyatakan investasi China tetap disambut, sebagaimana dikutip Reuters, 12 April.
Namun, Chen Xiangmiao, Direktur World Navy Research Center pada National Institute for South China Sea Studies, mengatakan, sangat tidak masuk akal jika Filipina yang bergabung dengan AS untuk membendung China tetap berharap pada investasi China.
AS mencoba meredakan situasi. Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik Daniel Kritenbrink dan Direktur Senior National Security Council untuk Urusan China dan Taiwan Sarah Beran berkunjung ke China. Kunjungan ini senada dengan saran Allison dan Jason Furman dari Harvard, bahwa perseteruan AS-China jangan mengacaukan relasi ekonomi yang amat penting.
Sisi optimisme
Meski demikian, ada sisi optimisme. Harapan China, Filipina dan Jepang bernegosiasi langsung dengan China jika itu menyangkut sengketa wilayah. Hal yang diinginkan China hanyalah agar AS menjauh dan tidak mencampuri urusan internal Asia, sebagaimana dikatakan Mao Ning.
Wu Shicun menyatakan, China tetap perlu menjalin kerja sama dengan pihak lain. Hanya, jika menyangkut sengketa wilayah dan persekutuan militer, China tidak menghendaki keterlibatan AS. Tampaknya China tidak bisa sepenuhnya percaya lagi kepada AS. Apakah ini berarti situasi akan mengarah pada perang besar?
Baca juga: Membaca Trilateral AS-Jepang-Filipina
China, menurut Allison yang banyak berhubungan dengan pejabat China, sangat mendalami ”jebakan Thucydides”. Hal serupa dinyatakan pakar geopolitik dari University of Chicago, John Mearsheimer, bahwa China mendalami bahaya persaingan keras kekuatan geopolitik. Dengan demikian, ada ruang diskusi.
Namun, diskusi tidak membuat China dan AS mengabaikan peningkatan kemampuan perang. China akan memblokade Laut China Selatan dan Kepulauan Diaoyu (Senkaku). The Global Times, 9 April, memberitakan Komando Palagan Selatan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China akan mengamankan hak dan kedaulatan China di Laut China Selatan. Hal serupa itu berlaku pula di bawah perairan Diaoyu.
China bertujuan menghindari perang dengan menyumbat daya serang sekutu AS dari bawah laut. Kapal selam China tipe 039C Kelas Yuan yang disebut berdaya siluman dilengkapi instrumen sonar aktif telah mulai beroperasi.
Tak bisa diduga
Lu Xiang, peneliti pada Chinese Academy of Social Sciences, menyatakan, AS pada dasarnya sangat sadar dengan kemampuan militer China di Pasifik Barat. Ia menyatakan, sebaiknya AS tidak melancarkan tindakan mendasar karena bisa menyebabkan konsekuensi besar.
Larry Summers, mantan Menteri Keuangan AS, yang menganggap dirinya sahabat China, menyatakan, penting bagi AS untuk meyakinkan China bahwa segala tindakan AS tidak bertujuan meredam China. Akan tetapi, Summers juga meminta China agar tidak menggalakkan diplomasi wolf warrior, yang bisa memicu perlawanan AS.
China tampaknya akan saksama menyelisik semua cara untuk menghindari perang, terutama lewat blokade. Meski demikian, jalan menuju perang tidak pernah bisa diduga. Isu antara AS dan China tidak lagi tentang Taiwan, tetapi telah melibatkan peran Filipina, yang secara historis tidak memiliki masalah besar dengan China.
Di Asia, ada pihak yang menjadi kubu AS dan juga kubu China. Situasi rawan jelas ada. ”Siapa yang mengira bahwa Perang Dunia I ternyata dipicu pembunuhan seorang archduke, yang tidak pernah masuk halaman satu media di New York, dan dalam hitungan lima pekan bisa memicu perang di seantero Eropa?” kata Allison.
Allison merujuk pada pembunuhan Franz Ferdinand, pangeran dari Kerajaan Austria-Hongaria, oleh warga Serbia-Bosnia. Kasus ini menyeret banyak negara di Eropa saling terjebak perang. Perang Dunia I bahkan turut menjadi cikal bakal Perang Dunia II. Maka, Allison menyarankan, diskusi antarpemimpin negara hingga antarpribadi para pejabat AS dan China merupakan hal urgen sekarang ini. (AFP/AP/REUTERS)