Upaya Pemberantasan Korupsi Dinilai Semakin Buruk
Upaya pemberantasan korupsi dinilai menurun pascarevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Anggota staf PT INTI, Taswin Nur, mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan terkait operasi tangkap tangan kasus dugaan korupsi di PT Angkasa Pura II, di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (2/8/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch atau ICW menilai upaya-upaya pemberantasan korupsi di era pemerintahan Joko Widodo semakin ”loyo” atau buruk. Kondisi ini diperburuk dengan terlibatnya pejabat publik dalam kasus korupsi.
Koordinator ICW Agus Sunaryanto mengatakan, situasi pemberantasan korupsi di era Presiden Joko Widodo setali tiga uang dengan situasi demokrasi, hak asasi manusia, dan kemerdekaan pers.
”Pemberantasan korupsi di era Jokowi situasinya loyo. Adanya penetapan sejumlah menteri (sebagai tersangka korupsi) dan terakhir penetapan bekas Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menunjukkan Presiden tidak memilih pembantu-pembantunya berdasarkan track record dan integritas,” kata Agus.
Agus menyampaikan hal tersebut dalam diskusi memperingati Hari Antikorupsi dan Hari Hak Asasi Manusia Internasional dengan tema ”Kemunduran Demokrasi dan Pembajakan Konstitusi” yang diselenggarakan di Jakarta, Minggu (10/12/2023). Hadir sebagai pembicara, sebelas perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat, antara lain Direktur Imparsial Gufron Mabruri, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim, anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jane Rosalina Rumpia, dan Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar.
Baca Juga: Dari Panggung Musik, Mengingatkan Lagi untuk Melawan Korupsi
Selain itu, pemberantasan korupsi juga menurun pasca-revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019. Hal ini tecermin dari eliminasi terhadap para penyelidik, penyidik, dan pegawai-pegawai yang berintegritas di KPK melalui tes wawasan kebangsaan.
”Setelah revisi, jumlah kasus yang ditangani KPK menurun. Termasuk jumlah tersangka menurun. Problematika yang terjadi di internal KPK telah berpengaruh pada akselerasi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Apalagi, sejumlah pimpinan KPK terlibat dalam pelanggaran kode etik yang semakin menunjukkan integritas menurun,” katanya.
Ia juga menyoroti vonis hukuman untuk koruptor hanya berkisar tiga sampai empat tahun. Hukuman itu sama sekali tidak cukup untuk memutuskan mata rantai kasus korupsi.
”Bagaimana kalau kita bisa menjelaskan bahwa kejahatan extraordinary seperti korupsi, jika kondisi rata-rata (hukuman) cuma tiga tahun. Inilah yang menunjukkan situasi pemberantasan korupsi di Indonesia tidak baik,” ucapnya.
Penjabat Bupati Sorong Yan Piet Mosso yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi digiring petugas menuju mobil tahanan seusai ekspos operasi tangkap tangan di lingkungan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Menurut Agus, perlu ada upaya pemiskinan dan perampasan aset koruptor. Meskipun perampasan aset ini merupakan mandat Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi atau United Nations Convention Against Corruption, Agus menyayangkan pembahasan RUU Perampasan Aset seolah jalan di tempat.
Hal ini bertolak belakang dengan RUU lain yang bermasalah, yang begitu cepat diselesaikan oleh pemerintah dengan DPR. Misalnya, terkait Undang-Undang Cipta Kerja, revisi Undang-Undang KPK, dan Undang-Undang Kesehatan.
”Undang-undang yang sepertinya akan berdampak banyak terhadap para penyelenggara negara dan pejabat publik, termasuk anggota DPR, sampai sekarang tidak jelas kabarnya,” ucapnya.
Sementara itu, Kontras menemukan, pola menguatnya hegemoni kekuasaan pemerintah hari ini berbanding lurus dengan banyaknya angka pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM yang terjadi akibat agenda pembangunan yang cukup masif serta kesewenang-wenangan aparat di lapangan.
Kontras juga menilai bahwa pemerintah mencoba memanipulasi upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalan penyelesaian non-yudisial, sementara pengungkapan kebenaran dan pengadilan HAM tak kunjung dijalankan dan keadilan substantif bagi para korban gagal dihadirkan.
Catatan Hari HAM 2023 dibagi menjadi menjadi tujuh pokok bahasan, yakni gagalnya penuntasan pelanggaran HAM berat, berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak fundamental dan represi terhadap kebebasan sipil, pendekatan pembangunan yang merugikan masyarakat, situasi HAM di Tanah Papua, berbagai kasus serangan terhadap pembela HAM, mandeknya reformasi sektor keamanan, serta peran Pemerintah Indonesia dalam isu HAM di kancah internasional.
Koodinator Kontras Dimas Bagus Arya mengatakan, gagalnya penuntasan pelanggaran HAM berat oleh pemerintah dibuktikan dengan terus dilanjutkannya mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial. Akan tetapi, pemerintah justru melupakan aspek pengungkapan kebenaran dan penyelesaian melalui pengadilan HAM.
Baca Juga: Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di 12 Peristiwa Masa Lalu
Selain gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat secara menyeluruh, sepanjang Desember 2022-November 2023 berbagai peristiwa ”perampasan” terhadap hak fundamental warga negara masih terjadi, seperti masih ditemukan peristiwa extrajudicial killing, penyiksaan, dan praktik perdagangan orang yang melibatkan aparat negara.
Berdasarkan data pemantauan Kontras, terjadi setidaknya 31 peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang menelan 46 korban jiwa. Dalam beberapa kasus, polisi bahkan tetap melakukan penembakan walau tersangka tindak pidana sama sekali tidak bersenjata dan tidak melakukan perlawanan. ”Hal itu menunjukkan bahwa salah satu faktor terjadinya extrajudicial killing adalah penggunaan senjata api secara berlebihan dan sewenang-wenang oleh kepolisian,” ujar Dimas.
Polri diingatkan telah memiliki Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dengan tegas mengatur bahwa penggunaan kekerasan oleh anggota Polri harus seminimal mungkin.
Di sisi lain, Undang-Undang No 2 Tahun 2002 (UU Kepolisian) pun telah mengatur bahwa dalam pelaksanaan tugasnya anggota Polri harus senantiasa menjunjung tinggi hak asasi manusia. Menurut Dimas, berbagai kasus extrajudicial killing yang terjadi merupakan pelanggaran langsung terhadap aturan-aturan tersebut, sekaligus bukti bahwa masih terdapat aparat di lapangan yang mengabaikan aturan-aturan dan standar HAM dalam pelaksanaan tugas.
Situasi yang pelik juga dialami oleh pembela HAM. Judicial harassment atau kriminalisasi kini semakin menghantui, bahkan semakin masif dilakukan. Instrumen hukum pidana dengan mudahnya disalahgunakan untuk membungkam para pembela HAM.
Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan, ada tiga isu utama terkait demokrasi dan hak asasi manusia, yaitu munculnya tindakan-tindakan yang represif dan mengancam kebebasan sipil, belum selesainya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, serta adanya kandidat calon presiden yang terlibat dalam peristiwa pelanggaran berat di masa lalu.
”Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah apabila agenda penyelesaian pelanggaran berat itu terancam akan berhenti total,” ujarnya.