Oknum Polisi Intimidasi Jurnalis Saat Pemulangan Paksa Massa Aksi di Masjid Raya Sumbar
›
Oknum Polisi Intimidasi...
Iklan
Oknum Polisi Intimidasi Jurnalis Saat Pemulangan Paksa Massa Aksi di Masjid Raya Sumbar
Sejumlah polisi diduga melakukan intimidasi dan kekerasan pada jurnalis saat meliput pemulangan paksa massa aksi di Masjid Raya Sumatera Barat. Tindakan aparat itu dikecam oleh tiga organisasi jurnalis di Sumbar.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Beberapa polisi berpakaian bebas diduga melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis saat meliput pemulangan paksa massa aksi di Masjid Raya Sumatera Barat, Kota Padang, Sumbar. Tiga organisasi jurnalis mengecam perbuatan menghalang-halangi kerja jurnalistik tersebut.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang Aidil Ichlas, Minggu (6/8/2023), mengatakan, setidaknya ada empat jurnalis yang menjadi korban intimidasi ataupun kekerasan aparat. Keempat jurnalis itu adalah Nandito Putra (Tribunnews), Fachri Hamzah (Tempo), Dasril (Padang TV), dan Zulia Yandani (Classy FM).
”Kami mengecam tindakan tersebut. Bahkan, seorang jurnalis perempuan juga menjadi korban. Beberapa jurnalis yang mencoba melerai dan melepaskan rekannya yang akan diangkat juga diancam dan diangkat kerah bajunya,” kata Aidil.
Jurnalis Tribunnews, Nandito Putra, dalam siaran pers, menjelaskan, ia dipiting oleh polisi berpakaian bebas saat merekam pemulangan massa aksi sambil melakukan siaran langsung untuk medianya, Sabtu sore. Sebelumnya, ia juga dilarang mengambil gambar dan ponselnya juga hendak direnggut aparat.
Menurut Nandito, sekitar pukul 15.30, ia sedang bersiaran langsung di Facebook Tibunpadang.com untuk merekam situasi pemulangan warga Pasaman Barat yang menolak proyek strategis nasional (PSN) di pelataran Masjid Raya Sumbar. Setelah dua menit merekam kondisi warga, ia mengarahkan kamera ke arah polisi yang sedang menarik-narik seorang perempuan.
”Saya mengikuti kerumunan itu hingga jarak lebih kurang 3 meter. Namun, saat saya merekam, tiba-tiba datang beberapa orang berpakaian preman dan menarik saya. Handphone saya sempat diambil paksa. Lalu aparat tersebut menanyakan apa tujuan saya dan saya menjelaskan bahwa saya sedang liputan,” kata Nandito.
Nandito baru dilepaskan setelah dua jurnalis memprotes tindakan anggota polisi tersebut. Walakin, dalam upaya itu, aparat juga mengangkat kerah baju Fachri Hamzah, jurnalis Tempo, dan melontarkan ancaman. Petugas yang sama juga mengancam Aidil Ichlas, Ketua AJI Padang, yang saat itu juga berupaya melepaskan Nandito.
Kejadian tersebut berakhir beberapa menit kemudian setelah beberapa perwira dari Kepolisian Resor Kota Padang menengahi dan meminta maaf kepada Nandito, Fachri, dan Aidil atas peristiwa tersebut.
Pada kesempatan lain, Dasril, jurnalis Padang TV, juga mengalami intimidasi dari anggota kepolisian. Dasril saat itu sedang merekam penangkapan salah seorang anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang mendampingi massa.
Tiba-tiba seorang anggota kepolisian menghalangi kamera Dasril untuk merekam. ”Sudah, sudah, jangan direkam lagi,” kata aparat tersebut. Namun, Dasril tetap melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, Zulia Yandani, jurnalis perempuan dari Classy FM, juga mengalami kekerasan dalam kejadian pemulangan massa yang berlangsung ricuh itu. Saat itu, Zulia baru selesai shalat dan mendengar kericuhan di lantai I Masjid Raya Sumbar.
Melihat situasi memanas, Zulia lalu merekam peristiwa itu, tetapi didatangi oleh sejumlah polisi yang kemudian mengambil ponselnya. ”Saya sudah menerangkan bahwa saya wartawan, tetapi mereka tetap menarik saya dan mengangkat kedua kaki saya. Saya hendak dibawa ke mobil,” katanya.
Atas tindakan intimidasi dan kekerasan aparat kepolisian terhadap jurnalis itu, tiga organisasi jurnalis di Sumbar, yaitu AJI Padang, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Padang, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumbar, mengeluarkan pernyataan sikap bersama melalui siaran pers.
Ketiga organisasi jurnalis ini berpandangan, tindakan yang dilakukan pihak kepolisian telah melanggar kebebasan pers. Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah tegas mengatur perihal kerja-kerja jurnalistik.
Saya sudah menerangkan bahwa saya wartawan, tetapi mereka tetap menarik saya dan mengangkat kedua kaki saya.
Tindakan intimidasi itu juga melanggar Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999. Pasal itu menyatakan, ”Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta”.
Oleh sebab itu, AJI Padang, PFI Padang, dan IJTI Sumbar mengecam tindakan intimidasi dan kekerasan oleh pihak kepolisian terhadap jurnalis yang sedang bertugas di Masjid Raya Sumbar itu. Ketiganya juga mendesak Kepala Kepolisian Daerah Sumbar meminta maaf atas peristiwa intimidasi dan kekerasan itu.
Kapolda Sumbar pun didesak untuk memproses anggotanya yang melakukan intimidasi dan kekerasan kepada jurnalis sesuai peraturan. Selain itu, Kapolda Sumbar diminta memastikan prosedur standar operasi (SOP) penanganan demonstrasi tetap mengedepankan profesionalisme, persuasif, dan menghormati kebebasan pers.
Di sisi lain, AJI Padang, PFI Padang, dan IJTI Sumbar mengapresiasi tindakan sejumlah perwira polisi dari Polresta Padang yang mencegah berlanjutnya kekerasan pada beberapa jurnalis dan langsung meminta maaf. Terakhir, ketiga organisasi jurnalis itu juga mengimbau jurnalis untuk tetap mematuhi kode etik jurnalistik saat bekerja.
Pada Sabtu sore, di Masjid Raya Sumbar, salah seorang jurnalis yang menjadi korban, Zulia Yandani, mengadukan masalah tersebut kepada Kapolda Sumbar Inspektur Jenderal Suharyono. Atas perbuatan anggotanya yang diduga intel itu, Suharyono awalnya menanggapi dengan bergurau. ”Berarti intel tadi masih sayang sama Ibu,” katanya.
Akan tetapi, setelah Zulia meyakinkan bahwa perbuatan anggota polisi tersebut hal yang serius, Suharyono memanggil Direktur Intelkam Polda Sumbar Komisaris Besar Sunarya agar menyampaikan permintaan maaf langsung kepada Zulia atas peristiwa itu.