Dalam dua pekan, China dihantam tiga badai tropis yang membawa petaka dahsyat. Terjadi hujan terlebat dalam 140 tahun terakhir yang dikaitkan dengan perubahan iklim.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Nestapa badai tropis Doksuri di pesisir tenggara China, Jumat (28/7/2023), berlanjut ketika Beijing terdampak hujan terlebat dalam 140 tahun terakhir.
Beberapa hari ini, cukilan visual air mengambil alih daratan dan permukiman di sejumlah provinsi di China pascahujan super lebat, berikut mobil-mobil yang terapung-apung, berseliweran di media. Begitulah situasi sebagian daratan China.
Sejumlah pihak menyebut, bencana terkait cuaca (hidrometeorologi) sepekan terakhir di China saja berdampak pada lebih dari 120 juta jiwa. Puluhan orang dilaporkan meninggal dan hilang. Ratusan penerbangan dibatalkan.
Kode merah iklim di China, begitu sejumlah ungkapan keprihatinan di negeri pesaing adidaya AS itu. Banyak yang tak menyangka ibu kota China, Beijing, akan terdampak banjir dan tanah longsor sedemikian hebat. Presiden China Xi Jinping pun menyeru operasi penyelamatan ”all out”.
Di tengah operasi penyelamatan, pembersihan, dan tanggap darurat masif yang sedang berlangsung, muncul peringatan ancaman baru. Seperti tak kenal ampun, badai tropis Khanun dalam perjalanan menuju timur China, setelah membuat 600.000 warga Kepulauan Okinawa, Jepang, dievakuasi.
Alur badai Khanun patut diwaspadai, seiring kecepatan angin 220 kilometer per jam atau kategori 4, satu tingkat di bawah kategori terparah. Khanun akan menjadi badai keenam yang menggulung China sepanjang tahun 2023.
Awal Februari lalu, Pusat Iklim Nasional China, dikutip dari China Dialogue, memberi gambaran masa depan dampak cuaca dan iklim di China, terutama jika dikaitkan perubahan iklim global. Situasinya disebut semakin menuju ”relatively poor” alias buruk.
Otoritas iklim itu menyebut cuaca ekstrem di China akan cenderung kian sering dan parah. Tren suhu selama musim semi, panas, dan gugur juga terus naik. Banjir dan kekeringan juga perlu diantisipasi.
Warga menurunkan bantuan pascabanjir besar di Zhuozhou, Provinsi Hebei, China, Rabu (2/8/20230).
Rekomendasinya, di pesisir timur/selatan memperkuat pertahanan menghadapi badai tropis, di sisi utara waspada banjir lebat dan longsor, sedangkan sisi barat diintai bencana geologis. Sepekan terakhir, peringatan itu terkonfirmasi, khususnya sisi selatan, timur, dan utara China.
Pada percaturan dialog iklim global, China yang disebut salah satu emitor besar global seiring perkembangan pesat industrinya menolak berkomitmen mengubah ”mesin” industrinya jadi berbasiskan energi baru terbarukan sebagaimana negara-negara maju. China berkukuh jejak karbon negara maju lebih besar karena lebih dulu mengemisi.
Peran dan posisi China amat penting dalam rangka menahan laju pemanasan global dan memastikan kenaikan rata-rata suhu global tak lebih dari 1,5 derajat celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu bumi sejak era pra-industri.
Tanpa aksi nyata bersama menekan emisi global, rupa dunia akan dipenuhi kode merah. Keprihatinan bencana hidrometeorologi seperti di China akan kian sering.