Curah Hujan Tertinggi dalam 140 Tahun Mengguyur Beijing
Curah hujan 744,8 mm di Beijing, China, tercatat sebagai rekor tertinggi dalam 140 tahun terakhir. Hujan ekstrem akibat Topan Doksuri itu menyebabkan banjir bandang di Beijing, Tianjin, dan Hebei.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
ZHUOZHOU, RABU —Hujan ekstrem melanda ibu kota China, Beijing, serta wilayah Tianjin dan Provinsi Hebei setelah diterjang Topan Doksuri, akhir Juli lalu, hingga menyebabkan banjir bandang dan kerusakan bangunan. Ini hujan ekstrem terburuk yang pernah melanda China dalam lebih dari 10 tahun. Khusus untuk Beijing, ini curah hujan terbesar dalam 140 tahun terakhir. Sedikitnya 20 orang tewas, 27 orang hilang, dan sedikitnya 974.400 orang mengungsi.
Kondisi ini berlawanan dengan Eropa yang mengalami cuaca panas ekstrem, bahkan Juli tercatat sebagai bulan terpanas. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyebut bumi tidak lagi memanas, tetapi mulai mendidih.
Biro Meteorologi Beijing mencatat, curah hujan sampai 744,8 milimeter pada Sabtu (29/7/2023) dan Rabu (2/8/2023) di Waduk Wangjiayuan di Changping. Angka ini jauh melebihi rekor curah hujan sebelumnya, yakni 609 milimeter pada 1891.
Di Hebei, curah hujannya mencapai 1.003 milimeter selama tiga hari sejak Sabtu hingga Senin lalu. Curah hujan setinggi itu biasanya terjadi selama enam bulan. Hujan deras yang tidak kunjung berhenti memaksa Beijing menggunakan waduk penampung banjir untuk mengalihkan arus banjir. Waduk itu baru kali ini digunakan sejak dibangun 25 tahun yang lalu.
Menurut Biro Meteorologi China, selain sisa-sisa Topan Doksuri, aliran udara yang hangat dan lembap, serta uap air yang dibawa Topan Khanun yang bergerak perlahan di Pasifik Barat, menyebabkan hujan lebat. Saat sisa sirkulasi awan hujan Doksuri mengarah ke utara, sistem tekanan tinggi subtropis dan kontinental di atmosfer juga memblokir jalur utara dan timur yang memicu konvergensi uap air yang terus berlanjut dan menjadi seperti bendungan yang menyimpan air.
Fitur topografi di China juga berkontribusi pada cuaca. Uap air yang banyak berkumpul di China utara diangkat oleh angin ketinggian rendah, menggeser curah hujan ke Pegunungan Taihang, daerah yang paling parah terkena dampak, termasuk Distrik Fangshan dan Mentougou di Beijing. Sementara serangkaian awan konvektif berkumpul di area itu dan mengakibatkan hujan lebat dalam waktu yang lama. Ini memperburuk kerusakan dan mempersulit operasi penyelamatan.
Di daerah perkotaan Beijing, ratusan jalan tergenang banjir. Taman dan tempat wisata terpaksa ditutup. Ratusan penerbangan ditunda atau dibatalkan. Beberapa jalur kereta bawah tanah dan kereta cepat juga ditangguhkan. Dampak hujan ekstrem ini lebih terasa di pinggiran kota. Seperti di Distrik Mentougou dan Fangshan, arus banjir yang kuat mengalir di jalanan dan menyeret mobil-mobil. Akses desa-desa di daerah pegunungan terputus sehingga harus dikerahkan helikopter untuk mengantarkan makanan, air, dan pasokan darurat.
Zhuozhou di Hebei, kota yang berpenduduk 600.000 orang, kini dalam kondisi setengah terendam. Sekitar 134.000 penduduk terkena dampak dan seperenam penduduk kota dievakuasi.
Hujan dengan intensitas tinggi setelah topan melemah seperti kali ini tidak biasa terjadi di Beijing dan sekitarnya. Beijing sudah dilanda setidaknya 12 kali hujan ekstrem yang dibawa topan sejak 140 tahun lalu. Akan tetapi, tidak pernah separah ini. Pada 2017 dan 2018, ada Topan Haitang dan Ampil yang menurunkan curah hujan sekitar 100 milimeter di Beijing. Dari catatan pemerintah, salah satu peristiwa hujan yang paling berdampak disebabkan Topan Wanda pada 1956 karena menurunkan curah hujan lebih dari 400 milimeter.
Kini Topan Doksuri memorak-porandakan China saat mulai menghantam Provinsi Fujian setelah menerjang Filipina. Hujan deras turun dan hanya dalam waktu 40 jam sudah mendekati curah hujan rata-rata sepanjang bulan Juli.
Bantuan
Pemerintah China akan mengalokasikan 532 juta yuan (Rp 912 miliar) dana bantuan banjir untuk delapan provinsi yang terdampak banjir. Bantuan ini untuk menyelamatkan hasil pertanian yang terkena dampak hujan ekstrem. Kantor berita China, Xinhua, menyebutkan, pemerintah kota Beijing sudah mencabut peringatan merah untuk banjir pada Rabu pagi karena aliran banjir di sungai-sungai besar sudah di bawah tanpa peringatan.
Dengan berkurangnya curah hujan, kini fokus dialihkan pada operasi penyaluran bantuan. Ratusan petugas dari Palang Merah China dikirim ke daerah yang terdampak paling parah untuk membersihkan puing-puing dan membantu mengevakuasi korban.
Presiden China Xi Jinping, Selasa, menyerukan akan mengerahkan segala daya upaya untuk menyelamatkan mereka yang tersesat atau terjebak akibat badai. Wakil Perdana Menteri Zhang Guoqing juga akan berusaha semaksimal mungkin mencari para korban yang masih dinyatakan hilang. ”Prioritas sekarang adalah menyelamatkan nyawa orang, berpacu dengan waktu mencari mereka yang hilang atau terjebak, dan meminimalkan korban,” kata Zhang.
Setelah Topan Doksuri berlalu, China masih harus tetap mewaspadai Topan Khanun, badai keenam tahun ini, yang mendekati pantai timur China. Topan Khanun menghantam Pulau Okinawa dan pulau-pulau lain di Jepang, Rabu, dengan angin kencang yang melukai puluhan orang. Topan Khanun yang berarti nangka dalam bahasa Thailand itu kini bergerak ke arah barat dengan kecepatan 10 kilometer per jam dan membawa angin hingga 180 kilometer per jam.
Badan Meteorologi Jepang memperkirakan curah hujan hingga 200 milimeter akan terjadi di Okinawa pada Kamis siang. Masyarakat Jepang diimbau untuk tinggal di dalam rumah dan menjauhi jendela karena benda apa pun bisa terbang akibat angin kencang. (REUTERS/AFP/AP)