Dari perspektif perubahan iklim, tahun 2025 dan 2030 sudah di pelupuk mata, dan dengan segala keterbatasan, ada kekhawatiran target penurunan emisi global tidak bisa dicapai. Jika benar, dampaknya akan luar biasa.
Oleh
DODDY SURACHMAN SUKADRI
·5 menit baca
Setelah melalui negosiasi yang cukup alot, pada akhirnya KTT Iklim Ke-27 (Conference of the Parties/COP27) yang digelar di Sharm el-Sheikh, Mesir, ditutup pada 20 November 2022, atau 39 jam lebih lama dari yang sebelumnya dijadwalkan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah negosiasi perubahan iklim, 197 negara penanda tangan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) sepakat mengakui perlunya pendanaan untuk mengatasi masalah kehilangan dan kerusakan akibat bencana iklim.
KTT yang dihadiri sekitar 33.000 peserta dan menampilkan lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan itu harus puas dengan keputusan KTT yang kali ini dilatarbelakangi kondisi dunia yang kurang kondusif. Krisis energi, krisis pangan, dan krisis ekonomi, serta bencana banjir, kekeringan, dan suhu ekstrem terjadi di mana-mana, juga ketegangan geopolitik di antara negara-negara besar.
Sementara itu, di sisi lain, KTT kali ini dibebani target penurunan emisi yang ambisius. KTT kali ini juga menandai dimulainya tahun implementasi Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu Bumi maksimal 20 derajat celsius dan melakukan upaya maksimal untuk membuat kenaikan tersebut tidak melebihi 1,5 derajat celsius dibandingkan suhu Bumi rata-rata pada abad ke-18.
Para pakar mencatat kenaikan suhu global rata-rata saat ini sudah mencapai 1,1 derajat celsius. Ini berarti masih tersisa 0,4 derajat celsius (1,5 derajat celsius dikurangi 1,1 derajat celsius) untuk menjaga agar kehidupan makhluk hidup masih bisa berjalan baik dan normal.
Namun, kelihatannya target ini sulit dicapai karena dari 197 negara, sampai November 2022 baru 33 negara yang telah menyampaikan target kontribusi penurunan emisinya yang baru (Enhanced Nationally Determined Contribution/ENDC).
Indonesia, walau dinilai kurang ambisius, termasuk dalam 33 negara itu, dengan target ENDC 32 persen dengan upaya sendiri, dan 43 persen apabila dengan dukungan luar negeri.
Selanjutnya para pakar juga telah menghitung bahwa untuk menuju emisi nol bersih, emisi global yang dikeluarkan ke atmosfer harus sudah mencapai puncaknya (peak emission) sebelum 2025, dan 43 persen dari emisi global harus diturunkan pada 2030 untuk mencapai emisi nol bersih pada pertengahan abad ini.
Dari perspektif perubahan iklim, tahun 2025 dan 2030 itu sudah di pelupuk mata, dan dengan segala keterbatasan, ada kekhawatiran apabila target ini tidak bisa dicapai.
Hasil KTT Sharm el-Sheikh lainnya adalah diselesaikannya program kerja untuk meningkatkan ambisi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Untuk adaptasi, telah disepakati Tujuan Global untuk Adaptasi (Global Goal on Adaptation).
Para pihak menyetujui upaya terstruktur jangka panjang yang akan membantu Para Pihak (khususnya negara-negara berkembang) untuk mencapai tujuan adaptasi global.
Untuk mitigasi, negara maju dan negara-negara yang rentan terhadap bencana iklim sama-sama mendorong peningkatan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebelum 2030. Para Pihak menyebutnya sebagai ”dekade kritis” mengingat dalam waktu kurang dari sepuluh tahun ke depan setiap negara dituntut untuk menurunkan emisi GRK-nya secara ambisius.
Para pakar mencatat kenaikan suhu global rata-rata saat ini sudah mencapai 1,1 derajat celsius.
Jika target ini tak tercapai, dampaknya akan luar biasa. Para Pihak menyepakati proses yang akan mengeksplorasi aksi mitigasi yang diperlukan, serta mengidentifikasi peluang dan kesenjangan untuk mengurangi emisi GRK global.
Para Pihak juga berhasil mengadopsi Rencana Implementasi Sharm el-Sheikh yang mencakup masalah sains, energi, mitigasi, adaptasi, kehilangan dan kerusakan, keuangan, dan jalan menuju transisi yang adil. Secara spesifik, beberapa sorotan diarahkan pada seruan untuk menghentikan penggunaan listrik batubara dan menghentikan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien, sebagaimana diadopsi dalam Pakta Iklim Glasgow 2021.
Selain itu, sorotan diarahkan pada negara-negara maju untuk meningkatkan dukungan pada negara-negara berkembang untuk melakukan aksi-aksi mitigasi dan adaptasi, dan mendorong pihak lain (sektor bisnis dan lembaga-lembaga internasional) untuk terus memberikan dukungan secara sukarela.
Secara khusus, seruan diarahkan ke bank pembangunan multilateral untuk melakukan reformasi dalam praktik dan prioritas bantuan mereka dan untuk menentukan visi baru, model operasional, saluran, dan instrumen yang sesuai untuk mengatasi keadaan darurat iklim global secara memadai.
Terkait pasar karbon, Para Pihak menyerukan dibuat panduan operasional yang memungkinkan berjalannya hasil mitigasi yang bisa ditransfer secara internasional (internationally transferred mitigation outcomes/ITMO), perdagangan karbon, dan modalitas untuk pendekatan nonpasar.
Apa yang bisa dilakukan?
Setelah enam tahun penandatanganan Perjanjian Paris, kini saatnya perhatian dipusatkan pada tahap implementasi dari kesepakatan yang telah dibuat bersama di tingkat global.
Menerjemahkan Perjanjian Paris ke dalam aksi nyata pada tingkat lapangan bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Hal ini perlu kerja keras, koordinasi dan kerja sama semua pihak, baik di tingkat internasional maupun nasional dan subnasional.
Gagasan FoLU (Forestry and Other Land Use) Net-Sink 2030 yang diusung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI perlu diapresiasi. Namun, tidak cukup sampai di situ. Diperlukan tambahan dan koordinasi dengan sektor lainnya di luar sektor FoLU (energi, industri, pertanian, dan limbah) untuk meningkatkan kontribusi Indonesia dalam menuju emisi bersih di pertengahan abad ini.
Sektor energi, khususnya batubara, perlu mendapat perhatian utama. Hasil pertemuan G20 untuk menyediakan pendanaan transisi yang adil ke energi bersih merupakan terobosan yang cukup berarti, tetapi yang lebih penting adalah menerjemahkan kebijakan ini ke dalam praktik di lapangan.
Jarum jam terus berjalan, waktu semakin singkat, dan dukungan sumber daya semakin terbatas.
Kerangka pendanaan adaptasi yang ditujukan untuk memfasilitasi kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim adalah fasilitas baru hasil kesepakatan Para Pihak di COP27.
Indonesia perlu meresponsnya dengan meninjau ulang dan menyempurnakan Rencana Adaptasi Nasional (RAN) yang mungkin sudah tersedia di KLHK. RAN perlu ditinjau kembali untuk melihat kemajuan pencapaiannya, dan kendala yang dihadapinya.
Mengingat sifat adaptasi yang spesifik konteks, bahwa negara-negara harus beradaptasi dengan dampak iklim yang berbeda, RAN akan menghasilkan informasi yang dapat membantu mengaktifkan dan menangkap kemajuan. Hal ini akan ditinjau ulang sebelum Global Stocktake kedua pada tahun 2028.
Jarum jam terus berjalan, waktu semakin singkat, dan dukungan sumber daya semakin terbatas. Semoga jalan menuju emisi nol bersih bukanlah hanya sekadar mimpi indah, tetapi menjadi kenyataan untuk melihat wujud Bumi yang bersih di masa depan. Semoga!
Doddy Surachman Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, Mantan Negosiator COP-UNFCCC, Pengamat Perubahan Iklim