Beijing Waspadai Suhu Udara di Atas 40 Derajat Celsius
›
Beijing Waspadai Suhu Udara di...
Iklan
Beijing Waspadai Suhu Udara di Atas 40 Derajat Celsius
Beijing dan beberapa kota di utara China dilanda gelombang panas. Suhu bisa mencapai 40 derajat celsius atau lebih.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
BEIJING, SENIN — Sepanjang akhir pekan, warga Beijing dan sebagian kota di utara China merasakan kenaikan suhu udara yang tinggi. Otoritas mengeluarkan imbauan agar warga, terutama orang tua dan anak-anak, untuk membatasi kegiatan mereka di luar ruang.
Observatorium Nanjiao di Beijing selatan mengamati suhu udara di ibu kota China itu sejak awal pekan lalu dan mencatat suhu udara melonjak selama tiga hari terakhir. Sejak Kamis (22/6/2023) hingga Minggu (25/6/2023), untuk pertama kalinya Observatorium mencatat suhu udara di Beijing berada di atas 40 derajat celsius. Menurut biro cuaca kota, ini suhu udara tertinggi yang pernah dialami Beijing sejak 29 Mei 2014.
Suhu udara tinggi juga dirasakan warga Provinsi Hebei dan kota pelabuhan Tianjin. Kantor cuaca setempat melaporkan, suhu udara di kedua wilayah itu mencapai 40 derajat celsius selama beberapa hari terakhir. Tingginya suhu udara di wilayah itu membuat pemerintah setempat mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem, yang berarti kondisi cuaca paling parah dan berpotensi membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa.
Pekan lalu, suhu udara di Beijing sempat menyentuh 41,1 derajat celsius. Ini suhu udara tertinggi yang pernah tercatat di ibu kota hingga pekan ketiga Juni 2023. Namun, suhu udara yang tercatat pada Kamis pekan lalu masih sedikit di bawah rekor suhu tertinggi yang pernah tercatat di Beijing, yaitu nyaris 42 derajat celsius, yang terjadi pada 24 Juli 1999.
Selain Beijing, kota Hebei dan Shandong dilanda gelombang panas pekan lalu. Situasi ini mendorong biro cuaca nasional China mengeluarkan peringatan terjadinya gelombang panas, dua pekan lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ahli cuaca China mengatakan, gelombang panas yang melanda ibu kota dan sebagian kota di utara terjadi karena massa udara yang hangat bertemu dengan udara bertekanan tinggi di atmosfer. Situasi ini diperparah dengan tutupan awan yang tipis dan waktu matahari bersinar yang lebih panjang karena musim panas. Otoritas cuaca Beijing mendesak penduduk untuk menghindari berolahraga di luar ruangan dalam waktu lama dan melindungi diri dari sinar matahari.
Gelombang panas sepanjang Juni juga melanda beberapa negara dan mengakibatkan dampak yang serius, bahkan kematian. Di Meksiko, gelombang panas telah mengakibatkan delapan orang tewas, angka kematian tertinggi sejak April 2023. Kementerian Kesehatan menyebut mayoritas warga meninggal dunia karena dehidrasi dan panas yang menyengat.
Angka kematian tertinggi karena serangan gelombang panas terjadi di India. Sejak pekan lalu, otoritas kesehatan India mencatat warga yang meninggal akibat serangan gelombang panas mencapai 100 orang dan dikhawatirkan akan terus bertambah.
Indian Express pekan lalu melaporkan, rumah sakit di Ballia, sebuah distrik di Provinsi Uttar Pradesh, mencatat 80 kematian terjadi di wilayah tersebut sejak pertengahan Juni. Suhu di wilayah itu pernah mencapai 46 derajat celsius. Sementara di wilayah tetangga, Bihar, lembaga penyiaran India, NDTV, melaporkan adanya 50 warga yang tewas karena gelombang panas.
Sejumlah krematorium tidak jauh dari aliran Sungai Gangga di Mahaveer Ghat, Ballia, Uttar Pradesh, dikutip dari The Hindu, juga harus menambah jam operasional. Hrishikesh Pandey, seorang warga Ballia, mengatakan, pemandangan yang dilihatnya di sana mengingatkannya pada saat gelombang Covid-19 melanda wilayah itu dua tahun lalu.
Negara-negara lain di Asia telah mengalami gelombang panas yang mematikan dalam beberapa pekan terakhir, yang menurut para ilmuwan diperburuk oleh kenaikan suhu global akibat pembakaran bahan bakar fosil. Maximiliano Herrara, sejarawan iklim, dikutip dari laman BBC, menyebut, tahun ini wilayah Asia mengalami gelombang panas terburuk dalam sejarahnya.
Sebuah studi oleh World Weather Attribution, kelompok akademisi yang meneliti sumber panas ekstrem, menyatakan, gelombang panas yang melanda Asia pada April lalu dipicu oleh perubahan iklim. Para peneliti meyakini bahwa antara tahun ini dan tahun 2027, dunia akan mengalami peningkatan suhu di atas 1,5 derajat celsius.
Emmanuel Raju, seorang peneliti yang tinggal di Kopenhagen, Denmark, mengatakan, dampak gelombang panas dan kenaikan suhu udara yang ekstrem akan memengaruhi warga miskin, pengungsi, petani, pemilik lahan perkebunan, hingga pekerja konstruksi. (AP/AFP/REUTERS)