Keuangan Negara di Awal Tahun: Setoran Pajak Turun, Belanja Bengkak
Kinerja APBN diperkirakan tidak ”sehebat” capaian tahun lalu di tengah merosotnya setoran pajak dan bengkaknya belanja.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
Menteri Keuangan Sri Mulyani didampingi jajarannya memimpin konferensi pers APBN Kita edisi April 2024 di Jakarta, Jumat (26/4/2024). Menurut Sri Mulyani, kinerja APBN hingga Maret 2024 masih sesuai jalurnya. Pendapatan negara hingga Maret sebesar Rp 620,01 triliun, belanja negara sebesar Rp 611,9 triliun sehingga APBN surplus sebanyak Rp 8,1 triliun.
JAKARTA, KOMPAS — Gejolak ekonomi global dan domestik mulai menekan kondisi keuangan negara. Kinerja APBN pada triwulan pertama tahun ini menunjukkan surplus keuangan yang tersisa tipis. Penerimaan pajak terkontraksi cukup dalam, sementara kebutuhan belanja membengkak di awal tahun akibat pemilu dan penyaluran bansos yang lebih gencar.
Kondisi dompet negara yang ”seret” itu terjadi akibat tidak seimbangnya laju penerimaan dan belanja negara selama periode Januari-Maret 2024. Kementerian Keuangan mencatat, pos-pos penerimaan utama terkontraksi cukup signifikan akibat penurunan harga komoditas dan meningkatnya restitusi pajak oleh industri tambang, manufaktur, dan perdagangan.
”Pertumbuhan pajak kita relatif tipis dan harus kita waspadai. Ini gambaran mix dari kondisi ekonomi kita sekarang. Secara keseluruhan meski momentum perekonomian kita tetap terjaga, ada beberapa sektor yang tidak imun terhadap pengaruh global,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita edisi Maret 2024, Jumat (26/4/2024).
Secara umum, penerimaan negara hingga 31 Maret 2024 mencapai Rp 620 triliun, turun 4,1 persen secara tahunan. Perlambatan itu disebabkan oleh turunnya penerimaan pajak hingga 8,8 persen serta kepabeanan dan cukai yang turun 4,5 persen. Hanya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saja yang masih mencatat pertumbuhan positif sebesar 10 persen.
Secara lebih detail, mayoritas pos penerimaan pajak utama mengalami kontraksi di awal tahun. Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) sebagai kontributor utama penerimaan minus 23,8 persen secara neto, anjlok dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang melejit hingga 67,3 persen. PPN DN menggambarkan laju konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.
Demikian pula penerimaan dari PPN Impor minus 2,8 persen, turun dari pertumbuhan tahun lalu sebesar 11,2 persen. Pos ini terkoreksi akibat pertumbuhan impor yang juga menurun sangat tajam di awal tahun selama periode Januari-Maret, yaitu 12,76 persen secara tahunan.
Pajak Penghasilan (PPh) Badan merupakan pos penerimaan yang paling diwaspadai oleh Kemenkeu karena kinerjanya terkontraksi paling dalam hingga minus 29,8 persen, turun dari tahun sebelumnya yang masih tumbuh tinggi hingga 68,1 persen.
Anjloknya penerimaan PPh Badan ini disebabkan oleh harga komoditas yang turun signifikan hingga mengakibatkan penurunan pembayaran PPh Tahunan dan meningkatnya pengajuan restitusi pajak.
”Ini didominasi oleh perusahaan pertambangan dan manufaktur yang mengalami koreksi harga komoditas dan permintaan ekspor yang tajam sehingga mereka meminta restitusi pajak. Ini perlu kita perhatikan, karena artinya ada koreksi kegiatan ekonomi yang mulai memengaruhi penerimaan negara,” kata Sri Mulyani.
Dari empat pos penerimaan pajak utama, hanya PPh 21 yang masih tumbuh positif hingga 25,9 persen, naik dari pertumbuhan tahun lalu sebesar 21,7 persen. Sri Mulyani mengatakan, kinerja positif itu menunjukkan bahwa penerimaan upah atau gaji karyawan masih terjaga. ”Perusahaan juga bisa merekrut karyawan baru untuk menjadi pembayar pajak,” katanya.
Belanja meningkat
Secara sektoral, ada beberapa sektor yang sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global. Misalnya, penerimaan pajak dari industri pengolahan selaku kontributor terbesar penerimaan pajak yang secara neto terkontraksi hingga minus 13,6 persen. Penerimaan yang jatuh itu akibat pengajuan restitusi dari perusahaan manufaktur yang mengalami penurunan permintaan secara global.
Ada pula sektor pertambangan yang penerimaan pajaknya juga terkoreksi sangat dalam. Tahun lalu, sektor ini masih mencatat penerimaan pajak yang tumbuh tinggi hingga 112,8 persen. Tahun ini, setoran pajak dari pertambangan turun hingga minus 58,2 persen.
Anjloknya penerimaan PPh Badan ini disebabkan oleh harga komoditas yang turun signifikan hingga mengakibatkan penurunan pembayaran PPh Tahunan dan meningkatnya pengajuan restitusi pajak.
Di sisi lain, ketika setoran pajak turun, pengeluaran negara pada triwulan I-2024 justru meningkat akibat penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 dan digelontorkannya berbagai program bantuan sosial di awal tahun. Kemenkeu mencatat, belanja pemerintah pada Januari-Maret 2024 sudah mencapai Rp 611,9 triliun, naik 18 persen dari tahun lalu.
Sebagai perbandingan, belanja pemerintah pada periode yang sama tahun lalu (Januari-Maret 2023) sebesar Rp 518,6 triliun atau tumbuh 5,7 persen secara tahunan. Sri Mulyani mengatakan, belanja yang naik itu dipengaruhi oleh bantuan program sembako, penyaluran bansos dan dukungan pelaksanaan pemilu yang dilakukan di awal tahun.
”Memang ada kenaikan belanja cukup signifikan, karena tahun ini ada aktivitas frontload di awal tahun seperti pemilu. Biasanya, kan, di tahun non-pemilu tidak ada belanja pemilu yang besar di awal,” ucapnya.
Tidak ”sehebat” 2023
Laju penerimaan dan belanja negara yang tidak seimbang di awal tahun itu pun memengaruhi posisi surplus APBN yang hanya tersisa tipis per Maret 2024 sebesar Rp 8,1 triliun atau hanya 0,04 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu, surplus di awal tahun masih bisa mencapai Rp 128,1 triliun (0,61 persen terhadap PDB).
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan, pemerintah sudah memprediksi bahwa tahun ini surplus memang tidak akan ”sehebat” capaian tahun lalu akibat penerimaan yang lebih lambat dan belanja yang meningkat. Namun, ke depan, belanja akan dinormalisasi agar lebih efektif dan bisa menyeimbangkan turunnya pendapatan negara.
”Kita memang tidak akan melihat surplus-surplus sehebat tahun lalu dari sisi pendapatan, tetapi ini akan terus kita kelola, terutama dari sisi belanja yang harapannya terjadi normalisasi,” kata Isa.
Wakil Menkeu Suahasil Nazara menambahkan, sejauh ini, defisit fiskal sepanjang tahun masih didesain sebesar 2,29 persen dari PDB. ”Penerimaan memang ada kontraksi, di belanja ada percepatan belanja akibat pemilu, dan surplus mengecil dibandingkan tahun lalu. Tetapi, posisi ini setiap bulan akan berubah dan akan terus kita pantau,” ujarnya.
Peneliti Makroekonomi dan Keuangan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai, melemahnya kinerja pajak di awal tahun ini dapat dimaklumi karena adanya faktor kondisi perlambatan aktivitas ekonomi global dan domestik. Beberapa hal itu bisa saja menambah risiko tekanan defisit fiskal hingga melebar di atas target awal APBN.
Meski ada tekanan, ia menilai keuangan negara akan tetap terkelola di bawah batas defisit yang aman. "Jadi semestinya defisit masih akan tetap terjaga. Harapannya juga di sisa tahun ini kondisi ekonomi membaik. Ketidakpastian politik sudah turun karena pemerintahan baru sudah terpilih dan tekanan saat ini seperti tensi geopolitik dan kebijakan moneter yang higher for longer akan berkurang," kata Riefky.