Pertumbuhan Global Penduduk Usia Kerja Telah Melambat
Pemerintah baru harus mempersiapkan berbagai intervensi ketenagakerjaan agar produktivitas dan partisipasi kerja naik.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak tahun 2008, sesuai laporan analisis Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan populasi usia kerja yang berada dalam rentang usia 15-64 tahun telah melambat. Hal ini dikhawatirkan memicu ketidakseimbangan pasokan tenaga kerja dunia dan menghambat pertumbuhan ekonomi global.
Laporan analisis bertajuk ”Slowdown in Global Medium-Term: What Will It Take to Turn the Tide?” itu dirilis dalam blog IMF pada Rabu (10/4/2024). Dalam laporan itu disebutkan, ketika suatu negara mengalami transisi demografi yang ditandai dengan menurunnya tingkat kesuburan dan populasi yang menua, maka jumlah penduduk usia kerja mulai menyusut.
Sejak 2008, pertumbuhan populasi usia kerja yang berada dalam rentang 15–64 tahun telah melambat sekitar 92 persen terhadap perekonomian global. Perlambatan ini terlihat di sebagian besar negara maju dan berkembang. Adapun negara-negara berpendapatan rendah masih menikmati bonus demografi. Pergeseran demografis ini berdampak langsung pada pasokan tenaga kerja global.
Pada 2030, dalam laporan analisis yang sama, IMF memperkirakan, kontribusi tahunan pasokan tenaga kerja terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global diperkirakan akan menurun menjadi 0,2 persen, atau hanya seperempat dari rata-rata kontribusi tahunan pasokan tenaga kerja terhadap PDB global pada tahun 2000-2019. Hal ini mencerminkan proyeksi pertumbuhan pasokan tenaga kerja potensial secara global hanya akan sebesar 0,3 persen pada 2030.
Namun, tren pasokan tenaga kerja akan bervariasi menurut wilayah. Negara-negara berpendapatan rendah diperkirakan akan mengalami pertumbuhan pasokan tenaga kerja yang kuat sebesar 2,1 persen. Sementara pasokan tenaga kerja di negara-negara berkembang, kecuali China, akan tumbuh sebesar 0,9 persen, dan di AS sebesar 0,5 persen. Adapun penurunan tajam dalam partisipasi kerja akan menyebabkan pasokan tenaga kerja terkontraksi sebesar 0,6 persen di China dan sebesar 0,5 persen di Uni Eropa.
Laporan analisis yang sama menyebutkan, tingkat partisipasi angkatan kerja agregat menurun secara signifikan dalam kurun 2008-2021 di sebagian besar wilayah dunia, kecuali Asia dan Pasifik, Timur Tengah dan Afrika Utara, Eropa, dan Kanada. Potensi hambatan partisipasi kerja akibat penuaan terlihat di semua negara maju dan China, sedangkan hambatan pada tingkat lebih rendah ada di Amerika Latin.
Akan tetapi, sejumlah negara maju, kecuali Amerika Serikat, mampu mengatasi dampak penuaan demografi terhadap pasokan tenaga kerja dengan cara meningkatkan partisipasi kerja perempuan dan pekerja berusia lebih tua.
Pemerintah baru harus mempersiapkan berbagai intervensi ketenagakerjaan agar produktivitas tenaga kerja dan partisipasi angkatan kerja khususnya perempuan semakin meningkat.
IMF, dalam laporan itu, juga menyebutkan, tingkat pertumbuhan ekonomi global (tanpa adanya siklus naik dan turun) terus melambat sejak krisis keuangan global tahun 2008–2009. Menurut proyeksi lima tahun ke depan dalam World Economic Outlook terbaru IMF, pertumbuhan global akan melambat hingga sedikit di atas 3 persen pada tahun 2029.
Analisis IMF menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat turun sekitar satu poin di bawah rata-rata sebelum pandemi pada akhir dekade ini.
IMF melihat manfaat kebijakan peningkatan partisipasi angkatan kerja seperti lebih banyak pekerja migran di negara maju dan pengoptimalan alokasi pekerja di negara berkembang relatif kecil. Sebaliknya, IMF meyakini, pemanfaatan teknologi digital, seperti kecerdasan buatan, akan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, Senin (15/4/2024), di Jakarta, berpendapat, pertumbuhan ekonomi global yang melambat akan sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini dan masa mendatang. Pemerintah baru harus mempersiapkan berbagai intervensi ketenagakerjaan agar produktivitas tenaga kerja dan partisipasi angkatan kerja khususnya perempuan semakin meningkat. Sebagai contoh, pemberian insentif pajak bagi perusahaan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, terutama pekerja yang tidak memiliki keahlian.
Contoh kedua, pemerintah mendorong dunia usaha dan pendidikan untuk melakukan kolaborasi dalam mencetak talenta yang dibutuhkan dunia industri dan mengurangi kesenjangan keahlian. Contoh ketiga, pemerintah meningkatkan partisipasi perempuan bekerja dengan menyediakan layanan penitipan anak yang terjangkau bagi semua kalangan.
”Masih banyak perempuan usia kerja memutuskan keluar dari pekerjaan karena harus mengasuh anak karena tidak tersedia tempat penitipan anak yang harganya terjangkau dan berkualitas,” ujar Teguh.
Diskriminasi usia
Lebih jauh, Teguh melanjutkan, dengan meningkatnya angka harapan hidup, pemerintah dapat memperpanjang usia pensiun dari 56-58 tahun di swasta menjadi 60 tahun. Dengan demikian, mereka masih bisa berkarya dengan optimal. Kemudian, pada jangka panjang, Pemerintah Indonesia harus serius berinvestasi pada sumber daya manusia dengan meningkatkan kualitas pembelajaran, bukan hanya fokus ke kuantitas partisipasi sekolah.
”Konflik di Timur Tengah akan semakin menekan perekonomian global dan ini sangat berpengaruh ke Indonesia. Contoh - contoh kebijakan ketenagakerjaan yang saya usulkan tersebut masih relevan karena bagian dari upaya memperkuat perekonomian domestik,” kata Teguh.
Peneliti Pusat Penelitian Populasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanu Endar Prasetya, dihubungi secara terpisah, mengatakan, salah satu problem utama tenaga kerja usia produktif di Indonesia sulit diserap sektor formal ialah adanya diskriminasi usia masuk kerja di hampir semua level dan bidang pekerjaan. Jadi, alih-alih memberikan akses warga yang lebih tua untuk bekerja, mereka yang masih produktif pun mengalami hambatan akses pekerjaan yang sistemik.
Diskriminasi usia masuk kerja juga diperparah dengan praktik kerja alih daya atau kontrak kerja berkepanjangan sehingga membuat pekerja tidak memiliki kepastian karier. Akibatnya, mobilitas sosial secara vertikal — termasuk peningkatan pendapatan — semakin sulit terjadi. Jika ditambah penggantian tenaga manusia dengan teknologi digital, pengangguran semakin bertambah.
”Apabila situasi itu dibiarkan tanpa intervensi pemerintah, maka produktivitas pasar kerja sulit naik, apalagi di tengah tekanan demografis penduduk usia tua yang naik,” ucap Yanu.