Kebijakan Eksploitasi Ancam Keberlanjutan Sumber Daya Lobster
Kuota penangkapan 90 persen dari potensi stok benih bening lobster ancam sumber daya lobster dan budidaya dalam negeri.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menetapkan kuota benih bening lobster yang boleh ditangkap dan diekspor sebanyak 419.213.719 ekor atau 90 persen dari total estimasi potensi benih bening lobster di Indonesia. Kebijakan ini menuai polemik. Sejumlah kalangan berpendapat eksploitasi besar-besaran benih bening lobster mengancam stok sumber daya lobster di Tanah Air.
Ketentuan kuota penangkapan benih bening lobster (puerulus) tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Kuota Penangkapan Benih Bening Lobster. Dalam ketentuan yang terbit per 1 April 2024 ini, estimasi potensi benih bening lobster di Indonesia sebanyak 465.793.021 ekor.
Aturan kuota penangkapan benih itu muncul seiring kebijakan pemerintah membuka kembali keran ekspor benih bening lobster. Selanjutnya, pemerintah juga menetapkan harga patokan terendah benih bening lobster di tingkat nelayan, yakni Rp 8.500 per ekor. Ketetapan ini diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24 Tahun 2024 tentang Harga Patokan Terendah Benih Bening Lobster (puerulus) di nelayan.
Wakil Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana menilai, kuota penangkapan sebesar 90 persen dari estimasi potensi benih bening lobster telah mengabaikan prinsip kehati-hatian. Prinsip atau pendekatan batas maksimal sumber daya alam yang dapat ditangkap (MSY) selama ini berlaku maksimal 80 persen.
Jumlah penangkapan yang dibolehkan (JTB) untuk benih bening lobster sebanyak 419,21 juta ekor merupakan angka keseluruhan untuk enam jenis lobster. Sementara, benih bening lobster yang dibutuhkan pasar hanya dua jenis, yakni lobster pasir dan mutiara. Kuota tangkapan yang sangat besar itu berpotensi disalahgunakan untuk eksploitasi besar-besaran benih lobster pasir dan mutiara.
Ia juga menyoroti angka estimasi potensi benih bening lobster yang bersumber dari asumsi dan bukan berdasarkan hasil riset riil di lapangan. Data berbasis asumsi dinilai tidak menggambarkan kondisi terkini karena data yang dipakai data lama. Kerancuan data potensi benih dan eksploitasi benih lobster dinilai berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya lobster di Indonesia.
Prinsip dan pendekatan yang digunakan pemerintah untuk menentukan estimasi potensi benih dan kuota benih bening lobster sangat ugal-ugalan.
”Prinsip dan pendekatan yang digunakan pemerintah untuk menentukan estimasi potensi benih dan kuota benih bening lobster sangat ugal-ugalan. Pemerintah terkesan serakah dan betul-betul tidak peduli lagi dengan keberlanjutan sumber daya lobster,” kata Suhana, saat dihubungi, Kamis (11/4/2024).
Lobster merupakan satu dari lima komoditas unggulan perikanan budidaya yang diusung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam program kerja berbasis ekonomi biru. Di samping lobster, komoditas unggulan budidaya laut lainnya adalah udang, rumput laut, nila salin, dan kepiting.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, saat dihubungi terpisah, mengemukakan, rakyat menghendaki keberlanjutan pengelolaan sumber daya untuk kemakmuran bersama. Akan tetapi, pemerintah justru menjerumuskan masyarakat pesisir dalam jebakan pemiskinan bersama akibat dibukanya keran ekspor benih bening lobster yang mendorong eksploitasi besar-besaran benih.
Dibukanya penangkapan benih bening lobster besar-besaran untuk tujuan ekspor merupakan paradoks kebijakan perikanan serta bertolak belakang dengan target yang diusung pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai sentra lobster dunia. Padahal, jutaan pembudidaya lobster menggantungkan hidupnya dari ketersediaan benih bening lobster.
”Usaha pembesaran lobster di Indonesia akan kalah bersaing dengan aktivitas eksploitatif benih bening lobster yang disponsori oleh pemerintah. Eksploitasi benih lobster juga mengancam kesejahteraan nelayan penangkap benih dalam jangka panjang,” kata Halim, awal pekan ini.
Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) Indra Jaya mengemukakan, kuota penangkapan benih bening lobster itu merupakan angka agregat. Padahal, pemanfaatan benih lobster untuk budidaya selama ini terbatas pada spesies lobster pasir dan mutiara. Proporsi penangkapan untuk benih lobster pasir dan mutiara itu sudah diinfokan ke KKP. (Kompas.id, 8/4/2024).
”Apabila dirinci per spesies, (benih bening lobster) jenis pasir dan mutiara totalnya sekitar 30 persen dari estimasi potensi benih. Jadi, spesies lainnya di luar pasir dan mutiara sekitar 70 persen,” ujar Indra.
Indra juga mengakui, data estimasi potensi benih bening lobster bersumber dari hitungan jumlah lobster dewasa, bukan dari hasil pendataan langsung benih bening lobster. Oleh karena itu, diperlukan validasi silang (cross-validation) antara hasil estimasi yang diturunkan dan data observasi lapangan. ”Perlu ada pendataan langsung dan sistematis di lapangan (laut) di seluruh wilayah pengelolaan perikanan,” katanya.
Hingga awal Februari 2024, tercatat lima perusahaan asal Vietnam siap masuk dan berinvestasi budidaya lobster di Indonesia, sekaligus mengirim benih bening lobster ke luar negeri. Pengiriman benih bening lobster ke Vietnam dijajaki, antara lain, dalam pertemuan perwakilan pemerintah Indonesia-Vietnam serta pelaku usaha dua negara pada 21 Maret 2024.
Lima perusahaan asal Vietnam siap masuk dan berinvestasi budidaya lobster di Indonesia, sekaligus mengirim benih bening lobster ke luar negeri.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap TB Haeru Rahayu, dihubungi terpisah, mengemukakan, pihaknya masih menunggu konfirmasi terkait perusahaan asal Vietnam yang akan bekerja sama dengan perusahaan dalam negeri untuk investasi benih bening lobster.
”Perusahaan masih dalam proses, kita masih tunggu konfirmasi. Pemerintah ingin mengakomodasi semua kepentingan,” ujar TB Haeru.
Infografik Perkembangan Regulasi Terkait Lobster
Kamuflase
Penasihat Himpunan Budidaya Laut Indonesia (Hibilindo) Effendy Wong mengungkapkan, dibukanya keran ekspor benih lobster dan penetapan harga patokan benih Rp 8.500 per ekor akan membuat budidaya lobster di Indonesia jalan di tempat. Pembudidaya usaha pembesaran lobster akan semakin sulit mendapatkan dan menjangkau harga benih.
”Meskipun pemerintah mengklaim lobster sebagai komoditas unggulan budidaya, kebijakan yang dihasilkan justru membuat budidaya lobster semakin sulit berkembang. Pemerintah seakan-akan mendorong negara pesaing lobster untuk bisa lebih maju,” kata Effendy, Selasa (9/4/2024).
Jumlah benih bening lobster yang dibudidayakan oleh investor asing itu tidak sebanding dengan benih bening lobster yang dikirim ke luar negeri.
Ia menambahkan, rencana lima perusahaan investor asing yang akan masuk untuk budidaya lobster memilih lokasi di Bali. Namun, ada indikasi setiap perusahaan hanya membangun sekitar 80 petak keramba jaring apung (KJA), dengan kapasitas setiap KJA 300 ekor atau 24.000 ekor.
Dengan demikian, jumlah benih bening lobster yang dibudidayakan di dalam negeri oleh perusahaan investor asing hanya 120.000 ekor. Jumlah itu jauh di bawah ekspor benih bening lobster yang ditargetkan 419 juta ekor per tahun.
”Jumlah benih bening lobster yang dibudidayakan oleh investor asing itu tidak sebanding dengan benih bening lobster yang dikirim ke luar negeri. Ini mengindikasikan budidaya di dalam negeri hanya merupakan kamuflase untuk tujuan ekspor benih bening lobster,” kata Effendy.