Penuh Gelombang Menuju Cita-cita Nelayan Sejahtera
Hari ini, 6 April, adalah Hari Nelayan Nasional. Sudahkah mereka, yang selama ini menyediakan hasil laut, sejahtera?
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
Hari Nelayan Nasional yang diperingati setiap 6 April kembali mengingatkan semua pihak, terutama pemerintah, soal nasib nelayan di tengah deru ruang hidup mereka yang kian terdesak. Nelayan semakin tidak sejahtera dan pekerjaan ini mulai ditinggalkan.
Regulasi untuk mendorong kesejahteraan nelayan sejatinya sudah digulirkan pada 2016, yakni melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Aturan ini mengamanatkan negara hadir mendorong kesejahteraan pelaku sektor perikanan. Meski demikian, upaya perlindungan dan pemberdayaan untuk mendorong kesejahteraan nelayan hingga saat ini masih dirasakan belum optimal.
Aturan ini mengamanatkan negara hadir mendorong kesejahteraan pelaku sektor perikanan.
Indikator kesejahteraan nelayan melalui nilai tukar nelayan misalnya, cenderung melemah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai tukar nelayan pada Maret 2024 adalah 102,1. Nilai tukar ini naik tipis jika dibandingkan pada Februari 2024, yakni 101,59.
Sebelumnya, September 2023-Januari 2024, nilai tukar nelayan terus menurun. Berturut-turut indeksnya meliputi 105,64 pada September 2023, 104,84 pada Oktober 2023, 103,52 November 2023, dan 102,46 pada Desember 2023. Selanjutnya pada Januari 2024, indeksnya adalah 101,74. KKP mematok target nilai tukar nelayan 2024 sebesar 108.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana mengemukakan, nelayan menghadapi tantangan yang semakin berat di tengah dampak perubahan iklim. Perubahan cuaca yang tak bisa diprediksi, misalnya, menyebabkan beberapa jenis ikan sulit dicari. Tangkapan pun semakin tidak menentu. Selain itu, abrasi juga terus menggerus ruang hidup nelayan.
Hingga kini belum terlihat peta jalan yang konkret untuk menyejahterakan nelayan. Program peningkatan kesejahteraan nelayan juga belum tecermin dalam program kampanye presiden di Pemilu 2024.
”Kehidupan nelayan semakin berat, sedangkan belum terlihat peta jalan untuk mendorong kesejahteraan nelayan,” ujar Budi, saat dihubungi, Kamis (5/45/2024).
Sementara itu, kebijakan yang digulirkan pemerintah cenderung berdampak menekan wilayah tangkap nelayan. Di antaranya, kebijakan penyedotan pasir laut yang akan merusak tempat hidup ikan dan semakin menyulitkan nelayan untuk mencari ikan. Rekam jejak kerugian yang ditimbulkan penambangan pasir laut di masa lalu terkesan diabaikan dan cenderung menyokong kepentingan pemodal.
”Wilayah laut menjadi tempat hidup matinya keluarga nelayan. Penambangan pasir laut hanya akan mematikan ruang hidup nelayan,” ujar Budi.
Ia menambahkan, Kartu Kusuka yang menjadi identitas nelayan dan memudahkan akses penyaluran BBM subsidi kepada nelayan belum dirasakan dampaknya oleh nelayan kecil. Nelayan kecil yang telah memiliki Kartu Kusuka tetap saja kesulitan memperoleh BBM bersubsidi. Mereka tetap wajib memenuhi sejumlah persyaratan administrasi untuk bisa mengakses BBM bersubsidi.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan TB Haeru Rahayu mengemukakan, pemerintah memiliki keberpihakan penuh kepada nelayan. Salah satu bentuknya adalah dengan memperjuangkan keberlanjutan subsidi perikanan di Indonesia di tengah tekanan internasional untuk menghapuskan skema subsidi perikanan.
”Kami terus memperjuangkan nelayan mendapatkan subsidi, di tengah dinamika di dalam negeri yang luar biasa. Subsidi kita berusaha terus berikan,” ujarnya.
Rahayu menambahkan, Indonesia terus menuju penerapan manajemen perikanan yang baik, antara lain melalui penangkapan ikan terukur. Apabila manajemen perikanan sudah berjalan baik, nelayan tak perlu lagi subsidi.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, tantangan pengelolaan perikanan yang dihadapi di tingkat provinsi justru direspons dengan kebijakan yang belum berpihak kepada nelayan.
Pelaksanaan skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 juga tidak diatasi dengan politik penganggaran yang menyejahterakan dan tuntas dari hulu ke hilir.
Contohnya, program peningkatan kesejahteraan nelayan kecil justru berhenti pada aspek fisik semata dan tidak menyasar kebutuhan hidup dasar nelayan, seperti pendidikan dan kesehatan nelayan dan anggota keluarganya. Hal ini menjadi semakin vital di tengah dampak perubahan iklim. Melimpahnya ikan kian dirasakan oleh nelayan seperti mitos yang makin jauh dan sukar untuk ditangkap.
Hingga kini, nelayan kecil masih kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi. Mereka juga berhadapan dengan besarnya risiko kehilangan nyawa karena harus melaut lebih jauh menyusul beroperasinya industri pertambangan. Ada pula risiko konflik horizontal dengan nelayan yang masih menggunakan bom ikan.
Hingga kini, nelayan kecil masih kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi.
Ia berpendapat, pemerintah perlu mengoreksi segala kebijakan perikanan yang mematikan kehidupan nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil di dalam negeri. Di antaranya adalah pemberian izin pemanfaatan pasir laut, ekspor benur lobster, dan kapal asing masuk ke Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, nelayan di Indonesia masih sulit lepas dari jerat kemiskinan. Selama 78 tahun, nelayan hampir tidak pernah sejahtera serta cenderung hidup di lingkungan kumuh, kotor, dan kesejahteraan rendah. Untuk bisa mencapai taraf lepas dari kemiskinan, nilai tukar nelayan (NTN) harus di atas 130.