Ekonomi (Bencana) Selat Muria
Banjir di Semarang dan sekitarnya di Jawa Tengah memunculkan lagi cerita tentang Selat Muria. Akankah itu kembali?
Banjir di Semarang, Demak, Kudus, Pati, Grobogan, dan Jepara di Jawa Tengah ramai diperbincangkan. Salah satu topik hangat yang menjadikan kota-kota penyangga ekonomi dan religi itu menjadi buah bibir adalah potensi munculnya kembali Selat Muria.
Pada Februari 2024, banjir akibat cuaca ekstrem melanda Demak, Grobogan, dan Kudus. Sekitar sebulan kemudian, banjir melanda kembali ketiga kota itu dan juga Semarang, Pati, dan Jepara. Bencana hidrometeorologi itu menggenangi permukiman dan lahan pertanian.
Salah satu topik hangat yang menjadikan kota-kota penyangga ekonomi dan religi itu menjadi buah bibir adalah potensi munculnya kembali Selat Muria.
Tak hanya itu, banjir juga merendam sejumlah titik jalan pantai utara di Semarang, Demak, dan Kudus. Peristiwa itu tidak hanya berlangsung 1-3 hari, tetapi seminggu hingga hampir dua minggu sehingga menyumbat Jalur transportasi dan logistik.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah mencatat, total kerugian sementara akibat banjir di enam kota tersebut per 2 April 2024 mencapai Rp 2,22 triliun. Dari jumlah itu, kerugian Semarang sebesar Rp 852,3 miliar, Demak Rp 800,93 miliar, Grobogan Rp 343,2 miliar, Jepara Rp 139,64 miliar, Kudus Rp 80,77 miliar, dan Pati Rp 11,52 miliar.
Becana besar serupa pernah melanda Kudus, Demak, Pati, dan Jepara pada awal 2014. Hujan ekstrem dengan kisaran curah hujan 100-300 milimeter menyebabkan banjir dan longsor di empat daerah tersebut.
Bencana itu mengakibatkan lebih kurang 125.000 warga mengungsi, sebanyak 16 orang tewas, jalan pantai utara lumpuh selama dua minggu, dan tanaman padi seluas 23.723 hektar di ketiga daerah itu puso. Total kerugian akibat bencana di keempat kabupaten itu sebesar Rp 2,2 triliun (Kompas, 4/3/2014).
Dalam satu dekade (2014-2024), banjir berskala tidak terlalu besar kerap melanda kota-kota itu. Bahkan, hampir setiap kali air laut pasang, sejumlah wilayah utara Semarang, Demak, dan Pati selalu dilanda banjir rob.
BPBD Jawa Tengah mencatat, total kerugian sementara akibat banjir di enam kota tersebut per 2 April 2024 mencapai Rp 2,22 triliun.
Di Demak, misalnya, abrasi dan banjir rob kerap melanda Desa Sriwulan, Surodadi, Bedono, Gemulak, Tugu, Loireng, dan Timbulsuko di Kecamatan Sayung. Beberapa di antaranya, yakni Bedono, Timbulsloko, dan Sriwulan, nyaris hilang dari peta. Di Semarang, banjir rob kerap kali menggenangi kawasan pelabuhan dan sejumlah jalan utama dari dan menuju kawasan itu.
Baca juga: Genangan Rob yang Menggerus Kehidupan Masyarakat Pesisir Demak
Beberapa warga yang bertahan di wilayah langganan rob di Demak dan juga Semarang harus meninggikan lantai rumah. Akibat peninggian lantai itu, jarak antara langit-langit dan lantai rumah tinggal setinggi orang dewasa. Bahkan, ada yang mengistilahkan ”pintu berubah menjadi jendela”.
Sembilan abad
Fenomena banjir akibat cuaca ekstrem dan air pasang itu memantik perbincangan potensi muncunya kembali Selat Muria. Selat Muria merupakan wilayah perairan yang berada di antara daratan utara Jawa Tengah dan Gunung Muria mulai abad ke-9 hingga abad ke-17. Waktu itu, Gunung Muria merupakan pulau tersendiri yang terpisah dari Pulau Jawa.
Hal itu terekam dalam peta Jawa Dwipa yang menggambarkan Jawa pada zaman purba (Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung, 1930). Disebutkan, pesisir utara Jawa Tengah bagian timur terbagi menjadi kawasan Pegunungan Muria dan Nusa Kendeng. Kedua pegunungan itu dipisahkan Selat Muria atau Semenanjung Muria.
Fenomena banjir akibat cuaca ekstrem dan air pasang itu memantik perbincangan potensi muncunya kembali Selat Muria.
Akibat endapan yang terjadi selama ratusan tahun, Selat Muria berubah menjadi daratan sehingga Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa. Daratan tersebut mencakup Kudus serta sebagian Demak, Pati, Semarang, Jepara, dan Grobogan.
Di wilayah Kudus, Grobogan, dan Pati terdapat tiga sungai purba yang masih ada hingga kini. Ketiga sungai itu adalah Sungai Juwana, Babalan, dan Jeratun (keduanya disebut Bengawan Juana), dan Sungai Wulan (Kali Tanggulangin). Jebolnya tanggul dan luapan sungai-sungai itulah yang kerap menjadikan ketiga kebupaten itu kebanjiran.
Baca juga: Sembilan Daerah di Pantura Jateng Dilanda Banjir, Ribuan Warga Mengungsi
Sejarah Jawa
Thomas Stamford Raffles, dalam catatannya yang terpatri dalam The History of Java (2008), juga menyebutkan keberadaan gunung dan Selat Muria meskipun tak menyebut namanya. ”Gunung lain di sebelah timur, yakni Japara, tampak lebih menyimpang dari barisan pegunungan itu dan membentuk semenanjung kecil di kepulauan ini,” tulis Raffles.
Buku Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974) pun menyebutkan tentang Selat Muria ketika menggambarkan ekologi letak Kasultanan Demak. Kasultanan itu berada di bibir pantai selat tersebut yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa.
Denys Lombard, dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia (2008), menyebutkan, ketiga daerah itu menjadi jalur kunci perdagangan besar di pesisir utara Jawa.
Dikisahkan pula, Kesultanan Demak memiliki pelabuhan perdagangan dan armada laut yang dipimpin Patiunus. Sejak Kasultanan Demak, daerah-daerah tersebut juga menjadi bagian penting syiar Islam oleh wali songo, terutama Sunan Kalijaga, Kudus, dan Muria.
Denys Lombard, dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia (2008), menyebutkan, ketiga daerah itu menjadi jalur kunci perdagangan besar di pesisir utara Jawa. Jalur kunci perdagangan itu berada di antara Pegunungan Muria dan daratan Jawa.
Dari pelabuhan kuno Semarang, kapal-kapal besar dapat berlayar melintasi Selat Muria. Rutenya mulai dari Demak, Kudus, Jepara, Pati, hingga Rembang, menuju pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur.
Nadi ekonomi
Hingga kini, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Grobogan, dan Jepara menjadi nadi ekonomi Jawa Tengah, bahkan Indonesia. Semarang, misalnya, menjadi nadi logistik karena memiliki Pelabuhan Tanjung Emas. Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan menjadi daerah sentra beras.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah mencatat, per 15 Maret 2024, banjir melanda 16.269 hektar sawah yang ditanami padi di Kabupaten Grobogan, Demak, Pati, Kudus, dan Jepara. Hal itu menyebabkan sebagian besar padi gagal dipanen.
Baca juga: Banjir Bikin Produksi Beras Makin Jeblok dan Harganya Lambat Turun
Dari sisi industri, Kudus merupakan sentra industri rokok, sedangkan Jepara mebel. Dari sisi wisata religi, Demak terkenal dengan Masjid Demak dan makam Sunan Kalijaga. Adapun Kudus tenar dengan masjid, makam, dan menara Sunan Kudus, serta makam Sunan Muria.
Khusus Semarang, Demak, Kudus, dan Pati juga menjadi nadi logistik Barat. Di era Herman Willem Daendels, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda (1808-1811), keempat daerah itu menjadi bagian dari Jalan Pos Daendels. Saat ini, jejak jalan sepanjang 1.000 kilometer (km) dari Anjer-Panarukan itu sebagian terpatri sebagai jalan pantai utara (pantura).
Baca juga: Imbas Banjir Demak, Pengusaha Truk Perkirakan Rugi Miliaran Rupiah
Tak heran, di saat jalan pantura di Semarang, Demak, dan Kudus terendam banjir besar beberapa waktu lalu, transportasi darat menjadi terputus. Perusahaan angkutan logistik harus menambah biaya operasional setiap truk sekitar Rp 100.000-Rp 1 juta sekali jalan. Hal itu lantaran truk harus menempuh jalur alternatif yang tidak kebanjiran.
”Akibat banjir Demak, sejumlah jenis muatan juga terhambat pengirimannya, terutama produk industri yang berada di Jepara dan Kudus. Beberapa di antaranya adalah mebel untuk ekspor serta rokok,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan (Kompas, 12/2/2024).
Hal serupa pernah terjadi pada 2008 dan 2014. Pada 2008, misalnya, banjir yang merendam jalan pantura di Pati menyebabkan kemacetan sepanjang 34 km. Kemacetan itu mulai dari Desa Bareng, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, lalu Kabupaten Pati, hingga Desa Tambakagung, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang (Kompas, 16/2/2008).
Lalu, dengan berbagai deretan peristiwa banjir yang berdampak juga pada sektor ekonomi itu bakal memunculkan kembali Selat Muria? Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Muhammad Wafid menyatakan, Selat Muria tidak akan terbentuk hanya dengan banjir yang melanda kawasan tersebut.
Baca juga: Badan Geologi Sebut Selat Muria Tidak Terbentuk karena Banjir Demak
Kendati begitu, pembentukan kembali Selat Muria bisa saja terjadi jika ada proses geologi yang dahsyat. Misalnya, jika ada ada proses geologi yang dahsyat, seperti gempa tektonik berkekuatan besar yang menyebabkan amblesan tiba-tiba (graben) dengan areal luas.
”Faktor lainnya adalah penurunan permukaan tanah disertai kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Namun, prosesnya butuh ratusan hingga ribuan tahun,” kata Wafid (Kompas, 22/3/2024).
Tol Semarang-Surabaya
Guna mengatasi itu, pemerintah belum mengambil langkah jitu jangka panjang. Memang, pemerintah telah merencanakan membangun Jalan Tol Semarang-Surabaya. Di beberapa lokasi, seperti di Semarang-Demak, jalan tol itu akan difungsikan sebagai tanggul laut.
Saat ini, yang sudah dan sedang dibangun baru Jalan Tol Semarang-Demak ini sepanjang 26,4 km. Dari tol yang telah dibangun itu baru memecahkan solusi kelancaran arus transportasi, belum menyentuh rob dan abrasi.
Baca juga: Analisis Dampak Lingkungan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak Dikritik
Penguatan tanggul sungai-sungai pemicu banjir juga masih belum permanen. Begitu juga dengan upaya menangani rob dan abrasi di pesisir utara Jawa masih spasial. Satu hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah alih fungi lahan di daerah hulu yang masih marak terjadi.
Kalau tidak ditangani secara komprehensif dari hulu hingga hilir, bisa jadi Selat Muria muncul kembali. Mungkin tanpa perlu munculnya proses geologi yang dahsyat, bukan begitu?