Kontroversi Ikan Hasil Pengeboman
Pengeboman ikan di sejumlah wilayah terindikasi melibatkan jejaring peredaran pupuk ilegal.
Ikan-ikan yang ditangkap memakai bom ikan kerap sulit dibedakan dengan ikan hasil tangkapan biasa dan harganya di pasar lokal nyaris sama. Namun, ada bahaya mengintai jika mengonsumsi ikan-ikan yang ditangkap dengan cara merusak itu.
Pekan lalu, Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis hasil uji ikan ekor kuning dan ikan sulir yang merupakan barang bukti kasus penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (bom) ikan. Pengujian terhadap barang bukti itu diajukan Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara Polda Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dari hasil uji sampel ikan itu ditemukan pendarahan akibat pecahnya pembuluh darah. Selain itu, bagian tulang punggung dan rusuk ikan patah, gelembung renang pecah, usus dan organ dalam hancur, serta terdapat genangan darah di rongga perut.
Tak hanya itu, hasil uji organoleptik dengan parameter uji mata, lendir permukaan badan, insang, daging (warna dan kenampakan), bau, dan tekstur diperoleh nilai rata-rata di bawah 7 berdasarkan standar mutu ikan segar yang ditetapkan pada SNI 2346-2015.
Baca juga: Penangkapan Ikan dengan Cara Merusak Kian Merebak
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BPPMHKP) KKP Ishartini, saat dihubungi, Selasa (2/4/2024), mengungkapkan, secara kasatmata, ikan hasil pengeboman umumnya tidak terlihat rusak. Penemuan kerusakan pada organ dalam tubuh ikan baru diketahui setelah dilakukan uji laboratorium.
Selain kondisi organ dalam yang mengenaskan, ikan hasil tangkapan menggunakan bom ikan itu juga mengandung residu bahan berbahaya, seperti amonium nitrat (NH4NO3), potasium nitrat (KNO3), potasium sianida (KCN), dan senyawa lain yang jika dikonsumsi manusia berpotensi berbahaya bagi kesehatan. Residu yang terakumulasi di tubuh manusia dapat menyebabkan keracunan akut, gangguan sistem saraf, kerusakan organ, dan pencetus kanker.
”Bisa kita bayangkan bagaimana merusaknya bom ikan bagi ikan itu sendiri. Lalu, apakah kita mau mengonsumsi ikan yang ditangkap dengan cara seperti ini? Ikan hasil destructive fishing memang tidak layak untuk kita konsumsi,” kata Ishartini.
Ishartini menambahkan, penangkapan ikan dengan cara mengebom menimbulkan banyak kerugian tidak hanya bagi konsumen, tetapi juga membahayakan nyawa nelayan pengebom ikan. Nelayan pengebom ikan berpotensi mengalami cacat hingga meninggal jika terkena bom. Di samping itu, dampak lingkungan terhadap kerusakan ekosistem perairan, hancurnya terumbu karang, dan pencemaran laut.
Ikan hasil destructive fishing memang tidak layak untuk kita konsumsi.
Ia mengimbau nelayan agar menghentikan penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing) dan pedagang di pasar lokal untuk tidak menerima ikan hasil pengeboman. Konsumen pun perlu memastikan kondisi ikan yang dibeli.
”Meskipun secara kasatmata ikan hasil pengeboman tidak terlihat rusak, ikan itu cenderung lebih cepat busuk karena organ di dalamnya sudah rusak,” papar Ishartini.
Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 114/KEPMEN-KP/SJ/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengawasan dan Penanggulangan Kegiatan Penangkapan Ikan yang Merusak Tahun 2019-2023, penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) merupakan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan, alat, atau cara yang merusak sumber daya ikan ataupun lingkungannya, seperti menggunakan bahan peledak, bahan beracun, setrum, dan alat penangkapan ikan lainnya yang tidak ramah lingkungan.
Hasil riset Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan di Provinsi Maluku Utara pada Juli 2023 memperlihatkan femonena serupa. Penggunaan alat penangkapan ikan terlarang, seperti bom dan potasium, masih ditemukan di perairan di bawah 12 mil (sekitar 22 kilometer). Sepanjang 2023, tercatat 5 kasus pengeboman ikan di Maluku Utara.
”Pelanggaran itu memanfaatkan kelemahan pengawasan di laut,” ujar Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan.
Baca juga: Pengeboman Ikan Masif di Flores Timur dan Sikka
Pupuk ilegal
Asisten Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Penangkapan Ikan Terukur Mohammad Abdi Suhufan mengakui, pengeboman ikan di laut masih marak terjadi di beberapa wilayah, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Pelaku umumnya nelayan kecil yang memiliki keterampilan membuat bom ikan.
”Pelakunya nelayan kecil, tetapi suplai pupuk untuk bahan baku bom ikan berasal dari Malaysia yang masuk ke Indonesia secara ilegal,” ungkapnya.
Praktik penangkapan ikan dengan cara pengeboman di beberapa wilayah tersebut bukan dipicu minimnya hasil tangkapan ikan. Jumlah ikan masih cenderung melimpah, tetapi perilaku nelayan yang ingin menangkap ikan dengan cara instan dan hasilnya banyak. Lokasi penangkapan ikan dengan pengeboman ataupun pembiusan umumnya di perairan dangkal di bawah 12 mil ataupun di lokasi terumbu karang.
Secara ekonomis, penggunaan bom ikan dipilih karena modalnya rendah untuk mendapatkan hasil banyak dalam waktu singkat. Ikan-ikan hasil pengeboman umumnya dijual di pasar lokal. Secara fisik, bentuknya nyaris sulit dibedakan dengan ikan-ikan hasil pancingan nelayan. Ironisnya, harga jual ikan yang ditangkap dengan cara merusak itu juga setara dengan ikan-ikan tangkapan nelayan.
Abdi mengungkapkan, jenis pupuk untuk bahan baku bom ikan merupakan pupuk cap Matahari yang banyak dipakai oleh perkebunan sawit di Malaysia. Pupuk itu masuk secara ilegal ke Indonesia, antara lain, melalui Tarakan (Kalimantan Utara) yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Peredaran pupuk ilegal ini diduga melibatkan peran bandar.
Penyerahan tiga orang terduga pelaku dan sejumlah barang bukti kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dari Kapal Pengawas Kelautan dan Perikana Hiu 05 kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan. Pendalaman kasus dilakukan lebih lanjut, Sabtu (25/11/2023).
Pupuk tersebut lantas diangkut dalam jumlah besar dengan kapal menyusuri pantai utara Sumatera dan laut utara Jawa untuk selanjutnya didaratkan di wilayah Jawa Timur, Madura, NTB, dan NTT. Kemudian, kapal itu berlayar ke Selayar, Pangkep, Wakatobi, Morowali, dan Ternate.
”Lalu lintas pupuk ilegal di pintu-pintu masuk perbatasan sebenarnya sudah diketahui dan tinggal tindakan tegas saja dari aparat terkait. Muncul indikasi, praktik mafia ini dibekingi aparat keamanan,” kata Abdi.
Kolaborasi pemerintah pusat dan daerah diperlukan untuk pencegahan dan pengawasan, mengingat pelaku terbanyak penangkapan ikan dengan cara merusak itu adalah nelayan kecil. Selain itu, upaya pemberantasan jaringan pupuk ilegal yang terindikasi dibekingi aparat.
Upaya menekan pengeboman ikan harus dimulai dari pencegahan peredaran bahan baku bom hingga kampanye publik agar masyarakat tidak mengonsumsi ikan hasil bom dan bius.