Penangkapan ikan dengan cara yang merusak semakin merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sinergi dan penegakan sanksi hukum perlu diperkuat.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik penangkapan ikan dengan cara yang merusak terus merebak. Ada indikasi pelanggaran ini terorganisasi. Diperlukan penguatan sinergi pemerintah pusat dan daerah untuk pengawasan di lokasi-lokasi rawan penangkapan yang merusak. Penangkapan ikan merusak ini mencakup pengeboman serta penggunaan racun dan setrum untuk menangkap ikan.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, selama Januari-Juni 2021, penanganan terhadap kasus penangkapan ikan dengan cara yang merusak berjumlah 24 kasus. Sebagai perbandingan, sepanjang 2020, terdapat 28 kasus penangkapan ikan dengan cara merusak dan pada 2019 terdapat 20 kasus.
Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan KKP Halid K Jusuf mengemukakan, kasus penangkapan ikan dengan cara merusak makin banyak dan tersebar hampir di seluruh Indonesia. Ini ditemukan, antara lain, di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Modus pelanggaran itu berkelompok dengan pembagian peran berbeda. Dicontohkan, perakit bom, pengebom, pemungut ikan, dilakukan oleh pelaku berbeda, tetapi dalam satu kelompok. Pelaku didominasi nelayan kecil dan tradisional yang melakukan pelanggaran berulang. Namun, bukan tidak mungkin pelanggaran ini terorganisasi.
Modus pelanggaran itu berkelompok dengan pembagian peran berbeda. Dicontohkan, perakit bom, pengebom, pemungut ikan, dilakukan oleh pelaku berbeda, tetapi dalam satu kelompok.
KKP berupaya melakukan langkah pencegahan dan pengawasan. Akan tetapi, sanksi perlu dipertegas dengan efek jera, yakni dengan sanksi pidana. Selama ini, kecenderungan sanksi pidana masih ringan. ”Biasanya (kasus) ini karena serakah, mencari gampangnya, Ke depan, jika kasus terus berulang, perlu pengenaan sanksi dengan efek jera,” kata Halid, saat dihubungi, Senin (2/8/2021).
Pihaknya juga terus mendorong langkah-langkah preventif dalam penanganan kasus-kasus penangkapan ikan dengan cara yang merusak, antara lain melalui kampanye dan sosialisasi di lokasi rawan penangkapan ikan yang merusak. ”Sinergi dengan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum lainnya juga terus diperkuat,” kata Halid.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, KKP perlu mendorong keterlibatan pemerintah provinsi untuk meningkatkan pengawasan di lokasi yang rawan perikanan dengan cara merusak. Saat ini, peran pengawasan daerah dinilai kurang, padahal lokasi rawan perikanan yang merusak terutama pada wilayah perairan yang merupakan wilayah pengelolaan provinsi. Di samping itu, penggunaan teknologi, seperti drone, perlu dipertimbangkan dalam pengawasan.
”Nelayan pelaku makin pragmatis dan serakah. Bom dan bius praktis, cepat, dan hasil melimpah. Terlepas dari risiko dari kepraktisan itu, seperti cacat dan meninggal,” kata Abdi.
Pekan lalu, KKP mengamankan tujuh nelayan pelaku pengeboman ikan di wilayah perairan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Pengeboman ini dinilai merupakan praktik penangkapan ikan dengan cara yang merusak (destructive fishing).
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Antam Novambar mengemukakan, selain ketujuh nelayan itu, Tim PSDKP KKP juga mengamankan sejumlah barang bukti, seperti perahu, kompresor, dan hasil tangkapan.
Sebelumnya, petugas Direktorat Kepolisian Air Polda Nusa Tenggara Barat menyita 200 karang hias di Pelabuhan Goa, Sumbawa. Karang hias itu dibawa dalam tiga dus, yakni dibungkus kemasan plastik dalam dua dus serta dilapisi tisu dan daun dalam satu dus. Karang itu diduga berasal dari Pulau Sailus Besar, Pangkajene, Sulawesi Selatan, yang secara geografis dekat dengan Pulau Sumbawa.
Selanjutnya, tim gabungan KKP melepasliarkan 185 karang hias di Pantai Elak-elak, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar telah melakukan verifikasi lapangan terhadap karang hias hasil sitaan tersebut.
Menurut Kepala BPSPL Denpasar Permana Yudiarso, terumbu karang yang teridentifikasi termasuk jenis Euphyilia Sp dengan spesies Euphyllia glabrescenes dan Euphyllia cristata.
”Dilihat dari kondisi barang bukti karena perjalanan dan pengemasan yang kurang baik, karang hias ini terlihat sudah memutih dan sebagian besar mati. Satu boks karang, masih dilapis tisu basah dan daun,” katanya, dalam siaran pers.