Tren Dunia: Dari Transisi Energi Geser ke Keamanan Energi Berkelanjutan
Energi yang andal, terjangkau, dan dapat diakses disebut menjadi katalis dalam pertumbuhan ekonomi di semua negara.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren perkembangan energi global disebut tak lagi muluk terhadap target-target energi terbarukan, tetapi mengarah pada ketersediaan energi yang andal, dapat diakses, dan terjangkau, tanpa mengesampingkan aspek keberlanjutan. Transisi energi dengan cara tersebut menjadi katalis pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati melihat perubahan tren tersebut dalam forum industri energi global CERAWeek 2024, yang digelar S&P Global, di Houston, Amerika Serikat, pada 18-23 Maret 2024. Nicke, yang menjadi salah satu pembicara dalam acara itu, mengatakan, negara-negara di dunia kini lebih realistis dalam memandang transisi energi.
”Kalau sebelumnya mereka kencang ke arah energi terbarukan, sekarang mereka melihat bahwa yang harus diprioritaskan adalah energy security (keamanan energi) karena semua negara sekarang tengah berpacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya pascapandemi Covid-19,” kata Nicke dalam buka puasa bersama para pemimpin redaksi media, di Jakarta, Senin (25/3/2024) malam.
Ia menambahkan, energi yang andal, terjangkau, dan dapat diakses menjadi katalis dalam pertumbuhan ekonomi di semua negara, termasuk negara-negara maju. Akan sulit bagi satu negara yang hendak memacu pertumbuhan ekonomi, setelah turun signifikan saat pandemi Covid-19, jika menggunakan energi yang tidak andal dan masih mahal.
”Kuncinya adalah bahwa transisi energi harus dilaksanakan secara adil, berkelanjutan, dan terjangkau,” kata Nicke.
Dari CERAWeek 2024, Nicke juga melihat kuatnya korelasi antara energi, pangan, dan air di negara-negara dunia. Apabila tidak ada keseimbangan di antara ketiganya, ancaman krisis pangan bisa tak terhindarkan. Kekhawatiran naiknya harga-harga komoditas pangan, salah satunya lantaran harus impor, rupanya tak hanya dirasakan Indonesia, tetapi juga negara-negara lain di dunia.
Ia mencontohkan, perpaduan energi dan air digunakan untuk menemukan pangan. Pangan dan air akan menghasilkan energi. ”Itu siklus dan tak boleh ada yang kurang. Ini tantangan baru bagi Pertamina. Bukan sekadar energi, tetapi mengonservasi air, serta menggunakan energi dan air untuk ketahanan pangan. Untuk negara dengan populasi besar seperti Indonesia, ketahanan pangan jadi kunci,” ujarnya.
Saat menjadi pembicara di salah satu forum pada CERAWeek 2024, Senin (18/3/2024), Nicke menyampaikan bahwa Pertamina menerapkan strategi pertumbuhan ganda. Pertama, Pertamina berupaya mempertahankan kebutuhan energi melalui bisnis di bidang migas dengan tetap melakukan dekarbonisasi.
Kedua, Pertamina mengembangkan bisnis berkarbon rendah. Ini meliputi perimbangan karbon; penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS); serta solusi berbasis alam (NBS).
Saat ini 62 persen alokasi belanja investasi Pertamina akan diarahkan di sektor hulu. Sisanya antara lain untuk investasi kilang dan pengembangan energi terbarukan. Namun, alokasi untuk bisnis berkarbon rendah ke depan akan terus meningkat.
”Kami akan beralih menuju energi yang berkelanjutan tanpa mengorbankan keamanan dan ketersediaan energi,” ujar Nicke.
Salah satu bisnis terkait energi terbarukan Pertamina ialah pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), termasuk di kilang Refinery Unit VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat, dengan kapasitas 1,51 Megawatt peak (MWp) yang diresmikan Senin (19/2/2024). Dengan demikian, kini PLTS terpasang di empat kilang Pertamina (Dumai, Plaju, Balongan, dan Cilacap) dengan total kapasitas 9,87 MWp.
Saat ini, 62 persen alokasi belanja investasi Pertamina akan diarahkan di sektor hulu.
Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Didik Bahagia menuturkan, hal itu bagian dari upaya dekarbonisasi. ”Dengan mengintegrasikan dekarbonisasi ke dalam unit operasi, KPI siap untuk memberikan dampak nyata dan positif pada lingkungan. Juga berkontribusi pada pencapaian tujuan keberlanjutan global,” katanya melalui siaran pers, Selasa (20/2/2024).
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro juga memperkirakan pemerintahan selanjutnya (2024-2029) akan lebih menyeimbangkan antara target dan realisasi energi terbarukan, serta kepentingan-kepentingan yang ada. Target-target yang selama ini tinggi kemungkinan akan dibuat menjadi lebih realistis.