Kapan Indonesia Bisa Mengandalkan Energi Terbarukan?
Masih banyak anak muda yang belum melek energi terbarukan. Kalaupun ada, mereka umumnya hanya tahu tentang energi surya.
Transisi dari energi fosil ke energi yang rendah emisi tak bisa ditawar. Bukan perihal ikut-ikutan tren global, tetapi menyangkut bumi dan kehidupannya di masa mendatang. Namun, muncul pertanyaan kapan Indonesia benar-benar bisa mengandalkan energi terbarukan? Sebab, kendati diberkahi potensi energi terbarukan yang melimpah, aksesnya belum mudah dan harganya belum murah.
Pada Kamis (29/2/2024), dalam perjalanan menuju Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lumut Balai di Muara Enim, Sumatera Selatan, empat minivan yang mengangkut peserta Jelajah Energi Sumatera Selatan terpaksa melaju dengan kecepatan rendah. Selain berbatu, jalan juga dipenuhi tanjakan dan turunan dengan pemandangan hutan di kanan-kirinya.
PLTP Lumut Balai dikelola PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) dengan kapasitas 55 MW. Berjarak sekitar 99 kilometer dari pusat kota Muara Enim, PLTP berada di area terpencil. Diperlukan waktu tempuh sekitar 3 jam untuk mencapai lokasi itu dengan kondisi jalan tak rata.
Melintangnya pipa raksasa di sisi jalan menandakan PLTP sudah dekat. Rasa lega dirasa para peserta begitu sampai di gerbang PLTP.
Kondisi itu membuka mata Nova Ariana (36), peserta Jelajah Energi yang juga wartawan Radio Republik Indonesia (RRI) yang bertugas di Palembang tentang betapa besarnya tantangan untuk mengakses energi bersih. ”Ternyata memang tidak mudah. Butuh biaya. Dimulai dari akses jalan, belum teknologinya. Selama ini saya lebih banyak lihat fosil. Ternyata, energi terbarukan memang tidak murah,” katanya.
Sejak lama Nova tahu, Sumsel dikenal sebagai daerah lumbung pangan dan energi, utamanya energi batubara sekaligus potensi energi terbarukan. Akan tetapi, ia menyadari, dibutuhkan waktu untuk bertransformasi dari energi fosil ke energi terbarukan. Dalam upaya itu, yang terpenting baginya adalah bagaimana agar melimpahnya sumber daya Sumsel bermanfaat bagi daerah beserta masyarakat di wilayah itu.
Peserta lainnya, Dyah Sinto Rini, pengawas sekolah dari Dinas Pendidikan Tangerang, Banten, yang juga pegiat Gerakan Energi Bersih, mendapat pengalaman berharga dari jelajah energi. Sumsel hanyalah bagian dari besarnya luas wilayah Indonesia yang diberkahi sumber-sumber energi terbarukan. Namun, tantangan-tantangan dalam pemanfaatannya mesti dicarikan jalan keluar.
Salah satu hal yang menurutnya penting adalah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) terkait energi terbarukan sedini mungkin. ”Di PGE ada seperti program pendidikan, beasiswa, dan lainnya. Tapi, untuk (pembangkit energi terbarukan lain yang dikunjungi), saya masih belum menemukan kaitannya dengan sekolah-sekolah. Padahal, edukasi kepada siswa penting,” ujar Dyah.
Sementara itu, Muhammad Azimi Kurniawan (20) dari Society of Renewable Energy (SRE) Universitas Sriwijaya juga menyadari pentingnya peran anak muda dalam pengembangan energi terbarukan. Dari pengamatannya, masih banyak anak muda yang belum melek energi terbarukan. Kalaupun ada, mereka umumnya hanya tahu tentang energi surya.
Edukasi kepada siswa penting.
”Padahal, banyak potensi lainnya, seperti panas bumi, air, dan biomassa. Ini penting untuk diketahui anak muda karena kami, gen Z, menjadi agen perubahan. Kami, dan juga anak cucu kami nanti, yang akan merasakan dampak (perubahan iklim) pada masa depan. Dari Jelajah Energi ini, kami SRE Unsri akan berdiskusi lewat workshop dan berbagi pengalaman akan hal ini,” kata Azimi.
Jelajah Energi Sumatera Selatan digelar Institute for Essential Services Reform (IESR) pada 26 Februari-1 Maret 2024. Kegiatan diikuti sejumlah wartawan, pegawai instansi pemerintah, serta anggota komunitas itu.
Peserta mengunjungi sejumlah pembangkit energi terbarukan di Sumsel, meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Jakabaring di Palembang, Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) PT Buyung Poetra Sembada di Kabupaten Ogan Ilir, Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) Green Lahat, dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lumut Balai di Kabupaten Muara Enim. Selain itu, PLTS irigasi di Desa Tanjung Raja, Muara Enim, dan boiler biomassa PT Tanjungenim Lestari Pulp & Paper.
Kunjungan itu membuka mata para peserta bahwa pengembangan energi terbarukan tidaklah mudah dan membutuhkan investasi yang besar. Meski demikian, upaya ke sana harus tetap dilakukan.
Ini tantangan luar biasa, tetapi juga suatu peluang yang sangat besar.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, potensi energi terbarukan di Indonesia sebesar 3.600 gigawatt (GW) dengan 3.300 di antaranya dari surya. Namun, hingga akhir tahun 2023, total kapasitas terpasang baru 13.155 megawatt (MW) atau baru 0,4 persen dari potensi. Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas terpasang rata-rata hanya 6 persen per tahun.
Energi surya dan angin (bayu) berpotensi terus dimasifkan, tetapi bersifat intermiten yang bergantung cuaca. Teknologi penyimpanan energi (energy storage) untuk mengatasi kendala intermitensi juga masih terbilang mahal. Biomassa terkendala keberlanjutan pasokan hingga isu deforestasi. Sementara panas bumi yang berpotensi menjadi pemikul beban dasar (baseload) memiliki tantangan pembiayaan hingga risiko pengeboran yang tinggi.
Pada akhirnya, pengembangan energi terbarukan akan berujung pada tercapai atau tidaknya tingkat keekonomian. Salah satu tantangan terbesar adalah masih sulitnya energi terbarukan bersaing dengan energi fosil yang sudah tersedia dengan harga murah. Batubara, misalnya, harganya telah dipatok/disubsidi untuk kepentingan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PLN sebesar 70 dollar AS per ton. Dengan demikian, harga batubara tidak akan terpengaruh dinamika harga batubara global.
Murahnya energi fosil, seperti pada batubara serta beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM), sejatinya berkait dengan ketahanan energi nasional. Harga batubara dipatok murah demi menjaga keandalan listrik nasional mengingat 67 persen kelistrikan nasional masih ditopang batubara untuk PLTU. Begitu juga BBM dan elpiji bersubsidi agar masyarakat bisa menjangkau.
Baca juga: Indonesia Harus Ambil Peluang dalam Transisi Energi
Koordinator Subnasional Program Akses Energi Berkelanjutan IESR Rizqi Prasetyo menuturkan, pengembangan energi terbarukan membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Dengan demikian, berbagai tantangan yang ada dapat diatasi bersama, termasuk tercapainya keekonomian. Pada panas bumi, misalnya, studi dan riset awal dapat dimatangkan guna menekan risiko kegagalan dalam eksplorasi.
Sumsel, dengan kapasitas terpasang energi terbarukan 989,12 MW atau 4,7 persen dari potensi, menjadi salah satu contoh daerah yang perekonomiannya bergantung pada fosil dan kini turut berupaya dalam transisi energi. Di tengah berbagai tantangan yang ada, daerah-daerah lain pun terus berpacu meningkatkan kapasitas energi terbarukan, yang juga akan mendukung pencapaian emisi nol bersih (net zero emission) 2060.
Infrastruktur
Salah satu hal yang mesti dipacu guna mengakselerasi energi terbarukan di Indonesia adalah pembangunan infrastruktur transmisi kelistrikan. Pasalnya, menurut data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), sumber-sumber energi terbarukan yang akan dibutuhkan kelak ada di luar Pulau Jawa. Sementara pusat permintaan akan berada di Jawa.
Catatan PLN, hingga tahun 2040, total akan ada penambahan pembangkit sebesar 80 GW. Dari jumlah tersebut, sebesar 75 persen pembangkit berbasis energi terbarukan dan 25 persen berbasis gas. Tak ada lagi pembangunan PLTU berbasis batubara.
Baca juga: Pembangunan Transmisi Jawa-Sumatera Butuh Kajian Matang
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menuturkan, diperlukan pendanaan sekitar 152 miliar dollar AS atau setara Rp 2.389 triliun (kurs Rp 15.723 per dollar AS). ”Tentu saja, PLN harus berubah. Maka, porsi swasta 60 persen dan PLN 40 persen. Itu pun porsi PLN masih bisa dikerjasamakan dengan swasta. Ini tantangan luar biasa, tetapi juga suatu peluang yang sangat besar,” katanya.
Sebelumnya, Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu mengemukakan, listrik menjadi kebutuhan dasar sehingga interkoneksi atau pembangunan jaringan kelistrikan mesti dilakukan. Tak hanya untuk kebutuhan di Jawa, tetapi juga seluruh Indonesia. Kebutuhan listrik ke depan diharapkan akan dipenuhi oleh sumber-sumber energi terbarukan.
Berkaca pada sejumlah tantangan yang ada, Indonesia masih akan membutuhkan waktu agar energi terbarukan dapat lebih berperan dalam pemenuhan energi nasional dengan pasokan yang andal serta harga yang terjangkau atau murah. Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan perencanaan matang, kebijakan yang terintegrasi, serta paling penting adalah konsistensi.