Ingatan Pala Menolak Lupa
Gegara pala, Pulau Run, Maluku, pernah ditukar dengan Manhattan, Amerika Serikat.
Pala atau Myristica fragrans memiliki ingatan berharga tentang sejarah Nusantara. Tak berhenti di situ, pala terus melintas zaman membangun ingatan-ingatan baru tentang manusia dan ekonomi pangan Indonesia, bahkan dunia.
Giles Milton, wartawan yang juga penulis sejarah asal Inggris, mengabadikan ingatan pala Nusantara tersebut. Dalam bukunya berjudul Pulau Run (2015), ia menunjukkan betapa berharganya pala Indonesia, terutama saat perang Inggris-Belanda memperebutkan Kepulauan Banda di Maluku.
Waktu itu, Kepulauan Banda merupakan salah satu penghasil pala terbesar di dunia. Pulau Run, salah satu pulau kecil penghasil pala di Kepulauan Banda, pernah ditukar dengan Manhattan, Amerika Serikat. Pulau Run dikuasai Inggris, sedangkan Manhattan merupakan daerah koloni Belanda.
Tukar guling itu menjadi salah satu poin kesepakatan Inggris-Belanda dalam Perjanjian Breda. Perjanjian tersebut ditandatangani kedua negara di Breda, Belanda, pada 31 Juli 1667.
Baca juga: Menuju Indonesia Membumbui Dunia
Milton bahkan menggambarkan pala sebagai kemewahan yang paling diidamkan di Eropa pada abad ke-17. Salah satu jenis rempah yang memiliki khasiat pengobatan begitu hebat sehingga orang-orang akan mempertaruhkan nyawa untuk memperolehnya.
”Pada 1665, Samuel Pepys (seorang administrator Angkatan Laut dan anggota Parlemen Inggris) menukar sekantung kecil emas dengan sejumput lada dan cengkeh,” tulis Milton.
Pulau Run, salah satu pulau kecil penghasil pala di Kepulauan Banda, pernah ditukar dengan Manhattan, Amerika Serikat.
Hingga kini, pala Nusantara terus melintas zaman kendati tak setenar era kolonial. Bersama lada dan cengkeh, pala melahirkan jalur rempah dunia. Oleh karena itu, sejak 2017, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI menginisiasi pengusulan jalur rempah sebagai warisan budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Hal itu wajar lantaran Indonesia masih menjadi negara sentra rempah, termasuk pala, di dunia. Pada 2023, Map of The World menempatkan Indonesia sebagai negara produsen pala terbesar kedua dunia setelah Guatemala. Produksi pala di Indonesia sebanyak 39.562 ton dan Guatemala 49.973 ton.
India dan Nepal menempati urutan ketiga dan keempat dengan produksi masing-masing sebanyak 37.626 ton dan 12.547 ton. Granada, yang palanya digemari koki-koki kelas dunia, menempati posisi kedelapan dengan produksi sebanyak 1.193 ton.
Adapun OEC World menempatkan Indonesia sebagai negara eksportir biji pala terbesar dunia pada 2022 dengan ekspor senilai 137 juta dollar AS. Nilai ekspor tersebut sekitar 49,5 persen dari total nilai ekspor pala dunia pada 2022 yang mencapai 276 juta dollar AS. Pangsa pasar ekspor pala Indonesia adalah China, Vietnam, India, Belanda, Amerika Serikat, dan Jerman.
Posisi kedua dan ketiga eksportir pala terbesar dunia ditempati India dan Vietnam masing-masing senilai 26,8 juta dollar AS dan 22,4 juta dollar AS. Adapun Granada menempati posisi kedelapan dengan ekspor pala senilai 5,65 juta dollar AS.
Hingga kini, nilai pasar biji pala dunia masih cukup besar. Mordor Intelligence memperkirakan nilai pasar pala dunia pada 2024 sebesar 2,74 miliar dollar AS. Pada 2029, nilai pasarnya diproyeksi naik menjadi 3,59 miliar dollar AS dengan rerata pertumbuhan tahunan sebesar 5,5 persen.
Baca juga: Asa Bisnis Rempah Nusantara
Kualitas pala
Pala juga masih dibutuhkan di dalam negeri. Dalam Statistik Perkebunan Pala 2022, Kementerian Pertanian (Kementan) memproyeksikan, ketersediaan pala untuk konsumsi domestik akan meningkat dari 18.204 ton pada 2023 menjadi 21.222 ton pada 2026.
Lantaran masih dibutuhkan di pasar internasional dan domestik, berbagai upaya meningkatkan produksi dan kualitas pala dilakukan. Hal itu mulai dari menjaga mutu, peremajaan tanaman, hingga memberikan nilai tambah.
Produk tersebut mendapatkan notifikasi penolakan dari sistem keamanan pangan UE, yakni RASFF, karena mengandung mikotoksin.
Kementerian Perdagangan (Kemendag), misalnya, menyediakan laboratorium acuan nasional untuk pengujian biji pala. Hal ini seiring dengan tuntutan pasar pala internasional, terutama Uni Eropa (UE), yang menerapkan standar mutu keamanan pangan.
Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag Matheus Hendro Purnomo mengatakan, biji pala merupakan salah satu produk ekspor terbesar ke UE. Produk tersebut mendapatkan notifikasi penolakan dari sistem keamanan pangan dan pakan UE, yakni Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF), karena mengandung mikotoksin.
“Inspeksi fisik (kandungan mikotoksin biji pala) meningkat dari 20 persen menjadi 30 persen pada 2020. Kemudian pada 2023, inspeksi fisik tersebut meningkat menjadi 50 persen,” ujarnya melalui siaran pers.
Baca juga: Halmahera Utara Berharap Dapat Lisensi Pengembangan Rempah
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan mikotoksin sebagai senyawa beracun yang secara alami dihasilkan jamur jenis tertentu. Jamur penghasil mikotoksin itu tumbuh pada sereal, buah-buahan kering, kacang-kacangan, dan rempah-rempah. Pertumbuhan jamur itu terjadi sebelum atau setelah panen, serta selama penyimpanan di dalam kondisi hangat dan lembab.
Menurut Hendro, Indonesia sebenarnya telah mengadopsi regulasi dan sistem UE untuk mengukur kadar mikotoksin pada biji pala. Namun, Indonesia tetap perlu memutakhirkan regulasi dan sistem itu, terutama terkait pengambilan contoh dan kriteria laboratorium pengujian.
”Selain itu, diperlukan laboratorium acuan nasional untuk melakukan analisis mikotoksin pada biji pala yang telah diakui laboratorium pengujian di UE,” katanya.
Pada 28 Februari 2024, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahkan menginisiasi program peningkatan produksi dan nilai tambah pala di Ternate, Maluku Utara. Salah satunya melalui program Gerakan Orientasi Ekspor untuk Rakyat Sejahtera (Gosara)
Maluku Utara merupakan salah satu sentra produksi pala nasional. Kementan mencatat, dalam periode 2018-2022, rerata produksi biji kering pala daerah tersebut sebanyak 6.286 ton atau sekitar 15,63 persen dari rerata produksi pala nasional yang mencapai 40.209 ton. Maluku Utara berkontribusi terbesar ketiga terhadap produksi pala nasional, kalah dari Sulawesi Utara (27,81 persen) dan Aceh (16,31 persen).
Baca juga: Jalur Rempah Disiapkan Jadi Warisan Dunia
Periset Pusat Riset Kewilayahan BRIN Dina Sri Rahayu menuturkan, program Gosara menyasar peningkatan kuantitas dan kualitas produksi pala untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Dari program itu, petani mulai meremajakan tanaman pala dengan benih unggul.
”Pengetahun petani juga meningkat. Selain itu, ada perbaikan sistem bertanam pala. Melalui program ini, petani juga dapat memperbaiki kualitas dan mengolah hasil panen menjadi produk bernilai tambah,” tuturnya.
Bahkan, di Fakfak, Papua Barat, pala tidak hanya diolah menjadi makanan jadi, tetapi juga aromaterapi dan kosmetik. Hal itu dilakukan Yayasan Saboban Onin Maju yang dirintis Mahdi Mahsyar Bauw sejak 2018 (Kompas, 28/11/2023).
Baca juga: Menggaungkan Produk Turunan Pala Sekaligus Menjaga Identitas Fakfak
Papua Barat merupakan daerah sentra pala terbesar kelima di Indonesia. Rerata produksi biji kering pala daerah tersebut pada 2018-2022 sebanyak 5.144 ton atau sekitar 12,79 persen dari rerata total produksi pala nasional.
Tentu masih banyak berbagai kisah positif dan negatif tentang pala Nusantara. Semuanya itu membentuk ingatan pala Nusantara yang terajut dari waktu-waktu. Ingatan pala Nusantara menolak lupa.