Larangan Sawit, Bahasa Cinta Uni Eropa atau Politik Dagang?
Uni Eropa membatasi akses pasar minyak kelapa sawit asal Indonesia. Bahasa cinta atau politik dagang?
Pada 20-21 Maret, Direktorat Jenderal Perdagangan Komisi Eropa mengundang 20 wartawan dari 20 negara di luar Uni Eropa untuk mengikuti lokakarya mengenai kebijakan ekonomi berkelanjutan dan perdagangan internasional di markas utama UE, Brussels, Belgia. Harian Kompas dan Kompas.id hadir mewakili Indonesia.
Mewakili Asia Tenggara, hadir wartawan dari Filipina dan Thailand. Sementara mewakili Afrika, ada wartawan, antara lain, dari Kenya dan Afrika Selatan.
Wartawan dari beberapa negara maju juga hadir, antara lain dari Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada. Tak ketinggalan jurnalis dari belahan Amerika Latin, seperti Brasil, Paraguay, dan Ekuador.
Tentang kebijakan mekanisme penyesuaian pasar karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM), perdagangan internasional seputar pertanian, dan kebijakan deforestasi (European Union Deforestation Regulation/EUDR).
Selama dua hari, wartawan memperoleh penjelasan dari para pejabat Direktorat Jenderal Perdagangan Komisi Eropa, mulai dari posisi head of unit hingga direktur, mengenai bagaimana kebijakan mereka dijalankan.
Topiknya beragam. Di antaranya tentang kebijakan mekanisme penyesuaian pasar karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM), perdagangan internasional seputar pertanian, dan kebijakan deforestasi (European Union Deforestation Regulation/EUDR).
Berbagai materi dan penjelasan disampaikan. Udara dingin Brussels yang telah memasuki musim semi itu jadi terasa lebih hangat karena diskusi yang renyah antara para wartawan dan pemateri.
Sayangnya, semua penjelasan itu bersifat off the record atau tidak bisa dikutip atau diberitakan. Lokakarya itu bertujuan untuk memperkaya pemahaman (background information) wartawan dari seluruh dunia mengenai peranan dan kebijakan UE.
Baca juga: UE-ASEAN Berdialog Hampir 50 Tahun, tapi Target Belum Tercapai
Saat menyampaikan paparan, salah seorang pejabat Direktorat Jenderal Perdagangan Komisi Eropa menyiratkan bahwa adakalanya kebijakan yang dikeluarkan oleh UE itu dimaknai keliru oleh banyak pihak. UE kerap disangka ikut campur terlalu jauh dalam urusan perdagangan.
Berdasarkan data dari situs resmi UE, total kawasan yang berisi 27 negara ini berkontribusi terhadap 14 persen dari total perdagangan dunia pada 2021. Kawasan UE punya nilai perdagangan terbesar di dunia setelah China dan Amerika Serikat (AS). Maka, pergerakan kebijakan perdagangan UE jelas punya dampak signifikan pada peta perdagangan dunia.
Seorang pejabat Direktorat Jenderal Perdagangan Komisi Eropa mengatakan, sejatinya kegiatan perdagangan adalah bahasa cinta kawasan ini. Sepanjang menyampaikan materi seminar selama lebih kurang 60 menit, dia tercatat empat kali menyebut bahwa perdagangan adalah bahasa cinta kawasan ini. ”Trade is our love language,” katanya.
Dia lalu menyampaikan berbagai ideologi dan idiom bahwa melalui perdagangan akan timbul perdamaian dan kemakmuran bersama. Melalui perdagangan ada jaringan, pertemanan, kepercayaan, dan kerja sama yang dibangun sehingga menimbulkan perdamaian. Begitulah kira-kira teorinya.
Melalui perdagangan ada jaringan, pertemanan, kepercayaan, dan kerja sama yang dibangun sehingga menimbulkan perdamaian.
Hanya, menurut dia, kini perdagangan telah beralih fungsi menjadi instrumen senjata sejumlah negara. Perdagangan telah jadi posisi tawar dalam negosiasi untuk menekan negara lain ketika muncul ketegangan politik ataupun saat berada di meja perundingan.
Kembali pada kebijakan dagang UE, blok ekonomi itu mengklaim punya itikad baik. Hanya, banyak pihak sering menyalahartikan. Misalkan soal kebijakan perdagangan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Mereka menyatakan, konsumen masyarakat UE kini semakin peduli dan memelototi berbagai produk agar berasal dari proses produksi yang mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Ini bertujuan agar aktivitas ekonomi ini bisa terus berkelanjutan.
Kebijakan ini dimaknai banyak negara lain sebagai hambatan untuk mengekspor barangnya ke UE. Pemerintahan di banyak negara berkembang dianggap belum menjadikan isu lingkungan sebagai prioritas program pemerintahan.
Kebijakan ini dimaknai banyak negara lain sebagai hambatan untuk mengekspor barangnya ke UE.
Kendala ini juga dirasa oleh sebagaian dunia usaha Indonesia. Salah satu yang kerap terdampak adalah pelaku industri minyak kelapa sawit dan turunannya. Kerap kali ekspor produk sawit dan turunannya tidak bisa menembus pasar UE karena hambatan isu lingkungan.
Menurut UE, langkah yang mereka lakukan adalah menaikkan standar produksi. Tujuannya, agar semua negara mitra dagang EUbisa bersama-sama lebih mengurangi jejak emisi karbon dalam proses produksinya.
Mengutip siaran pers Kementerian Perdagangan, Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Geneva, Swiss, resmi mengajukan gugatan terhadap UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), 9 Desember 2019. Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE.
Pemerintah menilai kebijakan-kebijakan tersebut mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia. Menurut Agus Suparmanto selaku Menteri Perdagangan saat itu, gugatan dilakukan sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan UE melalui kebijakan RED II dan Delegated Regulation.
Pemerintah menilai kebijakan-kebijakan tersebut mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia.
Kebijakan-kebijakan tersebut, masih mengutip siaran pers Kementerian Perdagangan, dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit. Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.
Melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui. Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki indirect land use change (ILUC) berisiko tinggi.
Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
UE punya program European Green Deal yang berkomitmen menjadikan Eropa sebagai benua pertama yang netral karbon di dunia. Salah satunya dengan langkah ambisius menekan emisi untuk berkurang hingga 55 persen pada 2030.
European Green Deal tidak hanya bicara tentang kawasan UE sendiri, tetapi juga memberikan mandat kuat untuk menjalin relasi yang kuat dengan mitra-mitranya, Ini termasuk negara-negara di luar UE guna menghadirkan aktivitas ekonomi yang lebih hijau dan melakukan transisi energi dengan adil.
Baca juga: Uni Eropa Ingin Lebih Dekat dengan ASEAN
Lewat argumentasi ini, UE berusaha meluruskan pemahaman agar perdagangan dengan mitra-mitranya meningkat, termasuk dengan Indonesia. Mengutip data Direktorat Jenderal Perdagangan Komisi Eropa, Indonesia pada 2021 baru menduduki posisi kelima mitra dagang UE di Asia Tenggara.
Hubungan ekonomi dengan Indonesia masih memiliki ruang pertumbuhan yang sangat besar. Sebab, Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi terbesar di Asia Tenggara.
UE mengklaim kebijakan dagang kawasan itu adalah bahasa cinta. Melalui perdagangan, mereka hendak mengajak semua negara untuk lebih mencintai bumi dengan melakukan langkah dekarbonisasi dalam tiap kegiatan ekonomi.