Rumah seken dinilai bisa menjadi solusi penyediaan rumah layak huni dan terjangkau bagi masyarakat.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rumah seken dengan lokasi yang lebih strategis dan harga terjangkau bisa menjadi opsi bagi generasi Z untuk kepemilikan rumah. Rumah seken layak huni yang memenuhi persyaratan rumah subsidi juga dapat menjadi pilihan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Menurut mantan Deputi Komisioner Bidang Pemanfaatan Dana Tapera Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Ariev Baginda Siregar, penyediaan rumah Tapera atau rumah bersubsidi yang memenuhi kriteria layak huni bisa berupa rumah baru yang dibangun oleh pengembang ataupun rumah seken yang sudah direnovasi.
Rumah seken dinilai bisa menjadi solusi penyediaan rumah layak huni dan terjangkau bagi masyarakat. Rumah layak huni yang didaftarkan dalam sistem Tapera dapat berupa rumah hasil renovasi. Rumah seken yang direnovasi itu didaftarkan oleh investor ke dalam sistem Tapera.
”Rumah seken atau rumah yang direnovasi, yang penting layak huni. Rumah tersebut bisa berlokasi lebih strategis dengan harga lebih terjangkau,” kata Ariev, di sela-sela diskusi ”Mendorong Peran The Hud Institute Mendukung Tata Kelola Pembangunan Perumahan Rakyat, Infrastruktur Dasar Permukiman, Kawasan Permukiman dan Pengembangan Perkotaan yang Maju dan Berkelanjutan”, di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, angka kekurangan rumah di Indonesia tercatat sebanyak 9,9 juta unit. Adapun persentase dan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian layak menurun dari tahun 2020 yang sebanyak 29,4 juta rumah tangga menjadi 26,9 juta rumah tangga.
Andrinof A Chaniago, Ketua Majelis Tinggi Organisasi (MTO) HUD Institute, mengemukakan, perumahan merupakan isu strategis, memiliki dampak berantai, jangka panjang, dan menyentuh banyak pihak. Banyak persoalan perkotaan memiliki akar dan muara dari perumahan.
Masalah perkotaan, seperti macet, banjir, dan sampah, kerap mengabaikan akar utama persoalan, yakni pola hunian dan kebijakan perumahan yang didominasi model horizontal. Masalah perumahan di perkotaan dinilai bisa teratasi dengan penyediaan hunian secara vertikal.
”Masalah perumahan perlu dilihat sebagai masalah strategis. Solusi strategis adalah perhatian pada hunian vertikal untuk menjawab kebutuhan masyarakat menengah dan menengah bawah,” ujarnya.
Andrinof menambahkan, manfaat dari dominannya hunian vertikal adalah waktu tempuh pergerakan masyarakat dari rumah ke tujuan akan lebih pendek sehingga energi yang dikeluarkan lebih sedikit. Kualitas hidup masyarakat meningkat serta kemacetan dan polusi bisa ditekan.
Pemerintah dan DPR dinilai perlu mendorong kebijakan hunian yang mengarah kepada hunian vertikal. Sementara pelaku usaha dinilai perlu fokus pada bisnis dan kesejahteraan masyarakat.
Ia mencontohkan, di Jakarta, PD Pasar Jaya memiliki 153 lokasi pasar. Dari jumlah itu, terdapat 80 lokasi yang layak dibangun menjadi blok terpadu dengan hunian vertikal dan bangunan di bawahnya berupa pasar, perkantoran, dan ruang layanan publik.
”Lahan yang dikuasai badan usaha daerah yang boros pemakaian ruang bisa ditingkatkan pemanfaatannya. Satu lokasi jika dibangun 4-5 tower hunian vertikal akan sangat membantu suplai rumah,” ucap Andrinof.
Kebijakan permukiman perkotaan yang mengarah pada hunian vertikal, menurut Wakil Ketua Umum The Hud Institute Muhammad Joni, perlu didukung dengan regulasi hunian vertikal yang mencakup tata kelola rusun dan ruang komersial pada hunian vertikal, hingga mekanisme penyelesaian konflik antara konsumen, pengelola, dan pengembang. Selama ini, konsumen rusun cenderung dalam posisi lemah dan minim perlindungan ketika timbul konflik rusun.
Masalah infrastruktur
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ervan Maksum menambahkan, pemenuhan infrastruktur dasar masih menjadi persoalan, antara lain air minum, sanitasi, transportasi, dan persampahan. Hal itu turut berdampak pada penyediaan rumah layak huni.
Menurut dia, penyediaan perpipaan baru mencapai 19 persen dan sanitasi 11 persen. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2019-2024, target penyediaan sambungan air di perkotaan sebanyak 10 juta sambungan, tetapi realisasi hanya 3,6 juta sambungan. ”Masalah utama, seperti air minum, sanitasi, dan sampah, belum terselesaikan sampai saat ini,” katanya.
Sementara itu, Presiden Institut Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menyampaikan, urusan penyediaan perumahan rakyat bagi masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kewenangan pusat walaupun Undang-Undang Otonomi Daerah mengamanatkan rumah rakyat merupakan urusan pelayanan wajib dasar.
Namun, lampiran undang-undang itu hanya mengatur sebatas relokasi dan rehabilitasi rumah. ”Ini tragedi,” ujarnya.
Ia menambahkan, sentralisasi urusan rumah rakyat membuat pemenuhan rumah rakyat tidak optimal. Kolaborasi pusat dan daerah perlu diperkuat serta kewenangan penyediaan dan pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dialihkan ke pemerintah daerah.