Generasi Z dan Milenial Cari Rumah, Gaji Terkuras Habis
Isu pemilikan rumah kembali ramai di jagat media sosial. Sebanyak 49 persen Gen Z disebut tak mau beli rumah.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi milenial dan Z di wilayah perkotaan sulit memiliki hunian karena harga rumah melambung tinggi. Sebagian dari mereka terpaksa menguras gaji, patungan bersama istri, atau kekasih demi mencicil rumah. Mereka nekat membeli rumah di tengah keterbatasan pendapatan demi tinggal di "istana" sendiri bersama keluarga kecil yang rata-rata baru terbangun dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun.
Sejak dua tahun lalu, Antoni (31), salah satu pekerja swasta di Kota Bekasi, Jawa Barat, memutuskan membeli rumah tapak di Kota Bekasi. Rumah seharga Rp 289 juta dibeli olehnya dengan skema kredit pemilikan rumah (KPR).
"Saya sisihkan gaji beli rumah supaya ada tempat tinggal setelah menikah. Selama delapan tahun merantau, saya ngekos," katanya, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (13/3/2024) sore.
Angsuran keseluruhan yang dibayarnya ke bank untuk cicilan rumah sebesar Rp 3,7 juta per bulan. Pengeluaran itu memang baru menguras sekitar 30 persen dari pendapatannya yang berkisar Rp 7 juta-8 juta per bulan. Meski demikian, pengeluaran itu terasa memberatkan karena dia juga menghabiskan Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan untuk biaya hidup, transportasi, dan biaya tak terduga lain.
"Saya dua atau tiga bulan lagi akan menikah. Beruntung, selain punya tabungan, kekasih saya mau ikut patungan untuk biaya nikah," ucapnya.
Pengeluaran membeli rumah yang menguras habis pendapatan juga dirasakan Andrianus (33). Pekerja swasta di Jakarta dengan penghasilan Rp 8 juta per bulan itu, sejak akhir 2023, memutuskan membeli sebuah rumah di Kabupaten Tangerang, Banten, seharga Rp 570 juta.
"Cicilan saya setiap bulan hampir Rp 6 juta. Kemarin disetujui bank karena memiliki penghasilan ganda dengan istri. Kalau sendiri, tidak mungkin karena pendapatan saya sudah minus," katanya.
Total pendapatan Andrianus jika digabung dengan istri sebesar Rp 14 juta per bulan. Pendapatan belasan juta itu setiap bulan kerap minus lantaran harus menghabiskan Rp 2-3 juta untuk transportasi, kebutuhan makan minum, serta menyisihkan tabungan untuk keperluan darurat.
Menurut Andrianus, meski keputusan untuk membeli rumah bukan keputusan mudah, dia tetap memilih opsi tersebut dan harus tersandera angsuran selama 15 tahun lantaran biaya mengontrak rumah di Jakarta tak murah. Pada awal menikah, biaya kontrakan rumah di Jakarta setiap tahun mencapai Rp 25 juta sampai Rp 35 juta.
"Punya rumah sendiri sudah jadi kebutuhan utama keluarga. Selain lebih nyaman untuk jadi tempat tinggal, investasi juga jelas. Kalau ngontrak, selesai masa pakai, barangnya, kan, enggak ada, tetap jadi milik penyewa," katanya.
Sementara itu, Rizky (29), yang sudah menikah setahun terakhir, saat ini belum berpikir untuk membeli rumah. Dia memilih untuk tinggal mengontrak bersama istrinya di wilayah Kampung Melayu, Jakarta Timur.
"Saya mau apartemen saja. Cuma masih belum siap punya utang belasan tahun untuk satu kotak apartemen kecil," katanya.
Tak terjangkau
Perbincangan terkait isu pemilikan rumah kembali ramai di jagat media sosial. Pemilik akun Strategi_Bisnis di media sosial X, pada Rabu (13/3), pukul 4.41 WIB, mengunggah ulang postingan yang menyebut bahwa 49 persen Gen Z tidak mau membeli rumah karena terlalu mahal.
Akun Strategi_Bisnis dalam unggahannya menyebut harga rumah kian tak terjangkau. Harga rumah jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan gaji.
"Konsep lifetime renting (kontrak seumur hidup) lama-lama akan jadi hal biasa di kalangan Gen Z. Konsep wajib punya rumah lama-lama hilang dari kosa kata Gen Z," tulis akun Strategi_Bisnis.
Akun ini dalam cuitannya memberi contoh harga perumahan di wilayah Cisauk (belakang BSD), Tangerang. Dia menulis, ada kerabatnya membeli satu unit rumah dengan luas 70-an meter persegi, berlantai dua, dengan harga Rp 800 juta.
"DP 10 persen, cicil 15 tahun. Per bulan cicilannya Rp 5 juta. Harus punya Rp 80 juta buat DP dan gaji minimal Rp 15 juta-an agar cicilan lancar," tulisnya.
Sebelumnya, Tim Jurnalisme Data Harian Kompas mengolah data harga rumah dari platform jual-beli rumah Rumah123.com, 27 Fenruari 2024 (Kompas.id, 28/2/2024). Data ini disandingkan dengan data upah minimum kota (UMK) di 13 kota tertentu, baik di Jawa maupun luar Jawa. Hasilnya, rumah tangga dengan sumber penghasilan total senilai upah minimum kota (UMK) tidak mampu membeli rumah di wilayah tempat mereka bekerja.
Ketiga belas kota yang dimaksud adalah DKI Jakarta, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Surabaya, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Makassar, Kota Denpasar, dan Kota Medan.
Data Rumah123.com yang diolah berupa harga median atau nilai tengah dari sekitar 1,9 juta rumah yang dijual via situs tersebut. Harga rumah yang diacu adalah rumah dengan luas bangunan kurang dari atau sampai 60 meter persegi. Untuk data UMK 2024 di 13 kota tersebut, kisarannya antara Rp 2,3 juta (Kota Surakarta) dan Rp 5,3 juta (Kota Bekasi).
Dengan menggunakan prinsip keterjangkauan, yakni harga hunian tidak lebih dari tiga kali lipat penghasilan tahunan (price-to-income ratio/PIR), dapat diketahui bahwa harga rumah yang bisa dijangkau oleh kelompok ini berada pada kisaran Rp 81,7 juta hingga Rp 192,4 juta.
Sementara harga rumah sudah sangat tinggi. Data Rumah123 pada Januari 2024 menunjukkan, harga tengah rumah dengan ukuran bangunan kurang dari atau hingga 60 meter persegi paling murah adalah Rp 400 juta (di Kota Surakarta) hingga paling mahal Rp 1,65 miliar per unit (di Jakarta Utara). Harga tersebut jauh di atas kemampuan gaji UMK masyarakat.