Menakar Dampak Pencairan THR 100 Persen ke Pertumbuhan Ekonomi
Meski berdampak, peredaran uang lewat THR dan gaji ke-13 yang cair 100 persen belum tentu signifikan mengungkit ekonomi.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah berharap pemberian tunjangan hari raya dan gaji ke-13 bagi kalangan aparatur sipil negara bisa mengungkit pertumbuhan ekonomi tahun ini hingga 5,2 persen. Namun, meski bisa memberi dampak positif, peredaran uang dari tunjangan yang kembali cair 100 persen itu belum tentu signifikan mendongkrak ekonomi.
Dalam satu tahun, aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia, termasuk TNI dan Polri, mendapat gaji hingga 14 kali. Selain gaji bulanan dalam setahun, ada pula pemberian tunjangan hari raya (THR) yang diberikan sebelum hari raya Idul Fitri dan gaji ke-13 yang diberikan setiap Juni.
Namun, sudah empat tahun terakhir, pencairan fasilitas bagi pegawai negeri itu dipotong akibat kondisi keuangan negara yang tertekan pandemi Covid-19. Pada tahun 2020, misalnya, komponen tunjangan kinerja dalam THR tidak diberikan sama sekali. Pejabat negara dan ASN dengan jabatan tinggi juga tidak menerima THR.
Tahun 2021, tunjangan kinerja juga masih dibekukan. Namun, THR dan gaji ke-13 kembali diberikan kepada seluruh pegawai negeri. Bukan hanya ASN pelaksana, tetapi juga ASN eselon I-III serta para pejabat negara.
Tahun 2022, tunjangan kinerja kembali diberikan, tetapi hanya 50 persen. Tahun 2023, tunjangan kinerja tetap diberikan separuh, tetapi pemberian tunjangan juga diberikan kepada kalangan guru, dosen, dan profesor.
Tahun ini, pemerintah kembali mencairkan seluruh komponen THR dan gaji ke-13 seutuhnya alias 100 persen. Semua golongan ASN kali ini kebagian. Menurut jadwal, THR akan mulai dicairkan H-10 hari raya Idul Fitri atau pada 22 Maret 2024.
Kejar 5,2 persen
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pembayaran THR yang kembali utuh itu diharapkan bisa menggerakkan konsumsi rumah tangga dan mendorong pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai target 5,2 persen.
“Pemberian THR ini akan memengaruhi growth di triwulan I dan II (Januari-Juni). THR yang dibayarkan di Maret akan mulai berdampak ke pertumbuhan triwulan I, sementara gaji ke-13 dampaknya nanti di triwulan II,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, di tengah perkembangan ekonomi tahun ini yang masih serba tidak pasti, daya ungkit terhadap daya beli masyarakat perlu diupayakan untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Di samping memberikan berbagai program perlindungan sosial bagi masyarakat rentan dan kelas menengah, pemberian THR dan gaji ke-13 diyakini bisa mendorong konsumsi masyarakat. “Harapannya, aktivitas konsumsi masyarakat tahun ini bisa menguat,” kata Febrio, Sabtu (16/3/2024).
Ia pun meminta para aparatur negara untuk membelanjakan uang tersebut dengan bijak agar menciptakan permintaan dan menggerakkan roda ekonomi di dalam negeri. Apalagi, uang negara yang digelontorkan untuk membayar THR dan gaji ke-13 aparatur negara tidak kecil, yakni Rp 99,5 triliun. Alokasi itu naik dibandingkan tahun 2023 yang sebesar Rp 77,6 triliun.
Untuk bisa mencapai target pertumbuhan 5,2 persen tahun ini, tetap dibutuhkan upaya atau kerja keras yang luar biasa.
Tidak signifikan
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto menilai, pada prinsipnya, pencairan THR dan gaji ke-13 pasti akan memberikan dampak positif ke perekonomian. Terlebih, ada faktor pembeda tahun ini, yaitu pencairan seluruh komponen tunjangan yang kembali 100 persen setelah bertahun-tahun dipangkas.
Namun, apakah dampaknya signifikan? “Menurut saya, dampaknya tidak terlalu besar karena kebijakan THR dan gaji ke-13 ini bukan hal baru. Ini sesuatu yang berulang setiap tahun. Untuk bisa mencapai target pertumbuhan 5,2 persen tahun ini, tetap dibutuhkan upaya atau kerja keras yang luar biasa,” tutur Teguh saat dihubungi, Sabtu.
Ia menilai, target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen yang ditetapkan pemerintah tahun ini cukup ambisius. Ada berbagai faktor kendala dari eksternal dan internal yang membuat target itu akan sulit dicapai. Apalagi, ruang untuk menerapkan terobosan kebijakan tahun ini lebih kecil di tengah persiapan transisi pemerintahan Joko Widodo ke rezim berikutnya.
Pertama, kondisi ekonomi global tahun 2024 tidak jauh berbeda dari 2023. Harga komoditas dunia yang menjadi andalan ekspor masih menurun. Sejumlah negara maju juga masih melanjutkan tren perlambatan ekonomi sehingga dapat berdampak pada kinerja perdagangan dan investasi di Indonesia.
Kedua, transisi pemerintahan di dalam negeri baik di tingkat pusat maupun daerah sedikit banyak juga akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian. Sesuai jadwal, pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 baru akan resmi menjabat pada 20 Oktober 2024. “Perekonomian Indonesia bisa tumbuh 5,05 persen seperti tahun 2023 saja sudah cukup bagus,” kata Teguh.
“Obat” sementara
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, peredaran uang dari THR dan gaji ke-13 memang akan meningkatkan daya beli masyarakat di tengah inflasi pangan yang terjadi.
Namun, itu hanya jadi “obat” sementara yang berlangsung sekejap karena persoalan dasar, yaitu harga pangan yang tinggi, masih terjadi. Ditambah, ada pula kenaikan tarif tol yang otomatis berpotensi membuat biaya transportasi meningkat.
Dampak multiplier dari THR dan gaji ke-13 itu juga tentunya bergantung pada keputusan konsumsi para pegawai negeri. Apakah mereka akan selektif dalam berbelanja sesuai kebutuhan prioritas, di mana dan untuk kebutuhan apa mereka membelanjakan uangnya, dan lain sebagainya.
“Di sisi lain, THR juga berarti meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat sehingga ada potensi akan mendorong inflasi lebih tinggi. Meski efeknya hanya sementara karena masyarakat hanya akan mengeluarkan uang lebih banyak di momen Lebaran. Inflasi yang sebenarnya itu kalau harga pangan dan biaya transportasi terus naik,” katanya.