Ramadhan, Momen ”Marketing” Berbalut ”Punch Line” Menggigit
”Pas puasa haus kedudukan? 'Chill' ajalah, bareng Sprite. Tapi kalau 'dah' buka.”
Ramadhan menjadi momen marketing yang dinanti banyak pengiklan. Seluruh ide dan gagasan diramu demi menunjukkan kebaruan konten dari waktu ke waktu. Tentunya, punch line yang ”menggigit” bisa menancap pada alam bawah sadar konsumen. Sebab, Ramadhan kini tak melulu dikemas dengan nuansa kekeluargaan sembari berbuka puasa bersama.
Sirop Marjan, misalnya, kehadirannya dicari banyak orang, bahkan sebelum Ramadhan tiba. Wajar saja, tiap tahun jenama ini selalu menghadirkan kisah-kisah penuh makna dibalut dengan cerita rakyat. Dalam beberapa tahun terakhir, Marjan justru makin totalitas mengemas iklan dengan pencitraan hasil komputer atau computer generated imagery (CGI).
Baca juga: ”Advertere” Nusantara
Kepiawaian pembuatan konsep dan penggarapan produksi menghasilkan pariwara yang otentik. Cerita khas Indonesia dikemas beragam efek CGI yang tak kalah mumpuni dari film-film papan atas bertema kepahlawanan. Kehadiran Marjan tiap tahun dengan iklan yang berbeda-beda bak memuaskan ”dahaga” masyarakat sebagai penonton.
Dalam kacamata periklanan, Marjan berhasil memosisikan diri sebagai pariwara Ramadhan. Bulan suci yang lekat dengan evaluasi dan perbaikan diri berbanding lurus dengan pesan-pesan yang ditampilkan.
”Dalam iklan ada istilah moment marketing di mana kami menggunakan sebuah momen untuk jualan. Kalau dari kategori produk, sirop, contohnya, itu memang kategori produk tinggi (konsumsi) saat puasa,” ujar Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Devi Attamimi saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Wajar kala puncak konsumsi masyarakat terhadap sirop diikuti dengan optimalnya pengemasan iklan Marjan. Bentuk promosinya tentu berbeda ketika konsumsi menurun sehingga iklan lebih fokus pada penjualan (direct to sales) dan melalui beragam platform daring dan toko luring.
”Sudah mendekati Ramadhan jika melihat iklan Marjan”, celetukan warganet mengomentari unggahan Marjan di media sosial. Hal ini menunjukkan posisi jenama itu yang erat dengan masa puasa. Masyarakat sebagai konsumen mencapai tahap mengasosiasikan produk Marjan dengan momen tertentu.
Momen ”marketing”
Walau memanfaatkan beragam CGI, Marjan tetap menyelipkan pesan-pesan yang tak jauh dari kebersamaan dan kepedulian pada sesama. Poin-poin kuat ditonjolkan serupa dengan nilai-nilai Ramadhan. Pariwara ini bahkan membagi satu kisah dalam beberapa episode sehingga konsumen tergugah untuk menanti kelanjutan ceritanya.
Pada tahun ini, Marjan mengusung tema lingkungan yang menunjukkan ketamakan manusia dapat menghancurkan alam. Tiap episode memiliki bagian pokok (punch line), nilai yang ingin diangkat.
Episode pertama bertajuk ”Putri Hijau dan Desa Kehidupan” mengusung nilai ”berbuka dan hidupkan harapan” pada akhir tayangan. Selanjutnya, episode kedua berjudul ”Putri Hijau dan Ketamakan Tuan Jungkat” terlihat dari kalimat utama, ”Ketamakannya hanya membawa kehancuran”.
Upaya memersuasi konsumen tak berhenti pada alur cerita yang sederhana dan efek visual yang mumpuni. Properti dan pakaian yang digunakan berciri khas Indonesia, seperti penggunaan pin yang menjadi pelengkap baju adat. Unsur-unsur ini memperkuat citra iklan yang membumi dan sangat ”Indonesia”.
Guna menyajikan iklan yang menarik perhatian konsumen, Marjan memiliki tim produksi iklan layaknya pembuatan film. Pariwara yang memikat dan penuh efek visual yang memanjakan mata ternyata, pada episode I, misalnya, hanya digarap di satu ruang besar. Upaya ini menunjukkan totalitas tim iklan meramu dan mengeksekusi ide.
Baca juga: Sastra, Jenama, Pariwisata
Devi mengatakan, pengiklan selalu berupaya memiliki keterkaitan dengan kehidupan masyarakat, termasuk isu-isu yang sering dibahas di media sosial. Tak heran, banyak iklan merefleksikan topik populer bahasan masyarakat.
”Spektrum (iklan) cukup komplet. Ada (pengiklan) yang angkat isu besar, seperti kemanusiaan. Ada juga iklan Ramadhan dengan eksekusi down to earth. Isu yang diangkat dari kondisi sehari-hari atau tantangan berpuasa, dikemas menghibur dan memasukkan nuansa Ramadhan,” tutur Devi.
Pengiklan selalu berupaya memiliki keterkaitan dengan kehidupan masyarakat, termasuk isu-isu yang sering dibahas di media sosial.
Dalam konteks periklanan, pariwara merupakan buah perkawinan ide, isu, serta pesan yang ingin disampaikan pada konsumen. Saat Ramadhan, elemen yang sangat ”hijau” biasanya tak jauh dari aspek kembali ke fitri serta silaturahmi.
Besarnya biaya produksi iklan, seperti yang dilakukan Marjan, memang tak serta-merta menjamin konsumen membeli produk tersebut. Sebab, pengambilan keputusan bersifat kompleks.
Secara sederhana, Devi menambahkan, saat seseorang akan memutuskan sesuatu, produk pertama yang muncul dalam benaknya akan menjadi pertimbangan primer. Proses dari iklan hingga pembelian produk dipengaruhi beragam faktor, antara lain ketersediaan dan akses mendapat barang.
”Tetapi, kalau iklan menarik, konsumen mengingat. Intinya, bukan berarti iklan menarik akan selalu jadi merekyang dibeli. Setidaknya, pertimbangan pertama, konsumen ingat,” kata Devi.
Pesan dan sindiran
Tak hanya iklan sirop Marjan, iklan Sprite dan teh Sosro juga menarik untuk dikulik. Kedua iklan itu tak hanya menarik orang untuk mengonsumsi produk tersebut, tetapi juga menyiratkan sejumlah pesan hidup, bahkan sindiran halus.
Iklan Sprite mengusung tema ”Chill Aja” atau santai saja. Iklan tersebut menampilkan dua adegan yang dibalut dengan teks percakapan pendek.
Adegan pertama menampilkan seorang cowok berbaju hijau yang duduk di kereta listrik yang merepresentasikan sebotol Sprite. Di depannya ada cewek yang tengah memandanginya. Adegan itu dibarengi dengan suara narator, ”Yang haus... yang haus.”
Tiba-tiba cewek yang tampak kelelahan dan kehausan itu membuat pose meminta duduk. Lalu suara narator kembali terdengar, ”Pas puasa haus kedudukan? Chillajalah, bareng Sprite. Tapi kalau dah buka.” Bersamaan dengan suara narator itu muncul teks berhuruf kapital ”HAUS KEDUDUKAN?”.
Baca juga: ”Pandemi” Budaya Membangun Ekonomi Korea Selatan
Adegan kedua juga kurang lebih sama. Adegan dimulai dengan dua sejoli yang tengah berboncengan yang merepresentasikan dua botol Sprite. Kedua sejoli itu diperhatikan seorang cowok yang tampak kehausan.
Bersamaan dengan adegan itu terdengar suara narator, ”Masih puasa haus kasih sayang? Chillajalah, bareng Sprite. Tapi kalau dah buka.” Kali ini, teks berhuruf kapital yang muncul adalah ”HAUS KASIH SAYANG?”.
Adegan pertama iklan tersebut melontarkan sindiran kepada orang-orang yang haus kedudukan. Adegan kedua mencoba menyentuh pengalaman orang-orang jomblo.
Teh Sosro tak mau kalah dengan menggulirkan tema persaudaraan. Banyak adegan yang ditampilkan dalam iklannya. Beberapa di antaranya adegan pesan makanan, makan di warung, kaki lima, dan restoran; serta makan bersama semeja.
Adegan demi adegan itu dirangkai dengan sebuah narasi yang diawali dengan ”Saudara itu....”. Kemudian disusul dengan beberapa kalimat lanjutan yang berbeda makna, seperti ”....yang mau relain hatinya buat si dia”; ”....yang mau susah walau sibuk ngunyah”; dan ”...yang beda kepercayaan, tetapi duduk semeja”.
Dari waktu ke waktu, wajah iklan terus berkembang. Tak sekadar menawarkan sebuah produk, tetapi juga menyentuh pengalaman personal konsumen dan mengusung pesan sekaligus kritik tertentu.
Adegan tersebut ditutup dengan narasi yang apik. ”Di meja-meja itu, kami jadi saksinya. Apa pun makanannya, siapa pun kita, semua diterima apa adanya. Dan itulah arti saudara yang sebenarnya.”
Dari waktu ke waktu, wajah iklan terus berkembang. Tak sekadar menawarkan sebuah produk, tetapi juga menyentuh pengalaman personal konsumen dan mengusung pesan sekaligus kritik tertentu. Membalutnya dengan strategi pemasaran berbasis narasi atau cerita, storynomics.
Dalam bukunya, Storynomics: Story-Driven Marketing in The Post-Advertising World, Robert McKee menyatakan, sebuah cerita dapat mendorong orang untuk membeli sebuah produk. Cerita tersebut berfungsi untuk menyentuh elemen utama masyarakat yang kental dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Prospek iklan
Nilai belanja iklan di Indonesia cukup besar. Televisi yang hampir menguasai semua indra manusia masih menjadi wadah pilihan utama pengiklan meski mulai ada pergeseran ke iklan perlahan digital dan pemengaruh (influencer).
Statista memperkirakan nilai belanja iklan di Indonesia pada 2024 tumbuh 3,9 persen secara tahunan menjadi 6,92 miliar dollar AS atau sekitar Rp 97,97 triliun. Pada 2028, nilai belanjanya diproyeksikan bertambah menjadi 7,73 miliar dollar AS.
Dari total nilai pada 2024, belanja iklan televisi dan video berkontribusi terbesar, yakni mencapai 2,78 miliar dollar AS. Kemudian disusul belanja iklan di mesin pencarian dan digital masing-masing senilai 1,08 miliar dollar AS dan 880 juta dollar AS.
Baca juga: Merengkuh Ketidaknormalan dalam Citra Pariwara 2021
Pada 2028, belanja iklan di Indonesia diperkirakan semakin bergeser ke digital dalam bentuk iklan terprogram. Selain itu, pemasaran iklan melalui pemengaruh akan semakin dominan. Mereka akan memanfaatkan tokoh media sosial untuk menjangkau khalayak yang lebih luas secara efektif.
Statista memperkirakan nilai belanja iklan di Indonesia pada 2024 tumbuh 3,9 persen secara tahunan menjadi 6,92 miliar dollar AS atau sekitar Rp 97,97 triliun.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menuturkan, Ramadhan-Lebaran merupakan puncak konsumsi dan penjualan makanan-minuman. Oleh karena itu, setiap periode tersebut, perusahaan makanan-minuman selalu mempromosikan produk-produknya.
”Bahkan ada sejumlah perusahaan yang mempromosikan produknya hanya saat Ramadhan-Lebaran,” tuturnya.
Menurut Adhi, rata-rata dana yang dikeluarkan untuk promosi lumayan besar, yakni sekitar 10-15 persen dari modal usaha setahun. Khusus Ramadhan-Lebaran, biaya promosinya di kisaran 40-50 persen dari persentase dana promosi setahun.
Promosi itu dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari mendiskon produk, membuat display yang lebih menarik, hingga beriklan. Di tengah kemajuan zaman ini, banyak juga perusahaan makanan-minuman yang beriklan dengan menggandeng pelaku industri ekonomi kreatif dan influencer.
Adhi juga menyatakan, Ramadhan-Lebaran pada tahun ini cukup menantang karena daya beli masyarakat masih rendah. Banyak pelaku industri makanan-minuman yang tidak menaikkan harga produk meskipun telah mengeluarkan banyak dana mempromosikan produk mereka.
Senada, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berpendapat, iklan-iklan Ramadhan biasanya tak beredar setahun penuh, termasuk sirop Marjan. Iklan ini juga dinanti banyak orang karena aspek kebaruannya.
Ramadhan menjadi masa yang dimanfaatkan banyak pelaku kreatif guna mengemas iklan yang mudah diingat, termasuk menyelipkan sindiran halus, sesekali menohok.
Biasanya produsen makanan dan minuman secara umum yang populer kala Ramadhan menetapkan target tinggi. Sebagian tak ragu mematok target hingga 40 persen dari omzet tahunan. Sebab, dampak momen-momen hari keagamaan lain tak sebesar Ramadhan hingga Lebaran.
Iklan yang menarik tentu berhasil menarik perhatian banyak orang. Ramadhan menjadi masa yang dimanfaatkan banyak pelaku kreatif guna mengemas iklan yang mudah diingat, termasuk menyelipkan sindiran halus, sesekali menohok. Bukannya kehilangan pasar, cara ini justru jadi cara jitu memberi impresi pada para konsumen.
Baca juga: Propaganda dalam Seni Pariwara