Propaganda hanyalah alat untuk memanipulasi, menyiarkan kebohongan, atau menipu orang. Yang dihidangkan hanyalah fakta hasil seleksi untuk memunculkan persepsi-persepsi sesuai kepentingan.
Oleh
Aminudin TH Siregar
·5 menit baca
Di zaman sarat tipu muslihat plus kecanggihan teknologi dan media, kini istilah propaganda yang identik dengan sehelai poster kertas jadi terkesan kuno. Sialnya, sejarah mewariskan makna peyoratif dengan melekatkan propaganda ke praktik kekuasaan otoriter.
Ada sebuah masa ketika makna monumen, lukisan, serta ragam ekspresi kreatif di bawah watak politik yang demikian itu terjebak merayakan sang pemimpin dan negara secara histeris. Rakyat memang tampil sebagai subyek, tetapi dicitrakan tidak lebih sebagai ”penggembira”. Rakyat juga digambarkan sedang mengelu-elukan pemimpinnya, membulatkan tekad untuk terus mendukung kekuasaannya. Sementara sang pemimpin tampil penuh pesona. Kalau perlu, dia dipropagandakan sebagai sosok yang memahami nurani rakyat, menjaga kewibawaan negara.
Dengan makna seperti itu, maka propaganda hanyalah alat untuk memanipulasi, menyiarkan kebohongan, atau menipu orang. Yang dihidangkan hanyalah fakta hasil seleksi untuk memunculkan persepsi-persepsi sesuai kepentingan. Tujuannya untuk menguasai (opini) orang banyak, menciptakan sebuah ”pabrik konsensus”. Bahasa pun dipolitisasi supaya orang menerimanya secara emosional ketimbang rasional.
Yang menarik, dampak warisan sejarah itu membuat banyak orang kemudian percaya kalau propaganda itu identik dengan totalitarianisme, sedangkan demokrasi tidak. Maka yang komunis itu propagandis, sementara yang demokratis tidak. Orang lupa bahwa dalam kontestasi kekuasaan, setiap penganut ideologi sama-sama melakukan propaganda, dari propaganda yang tersembunyi sampai yang kasar dan vulgar.
Mendiskusikan sosiologi propaganda, peran kaum kreatif—seniman atau desainer—penting disorot meski perlu digarisbawahi tentang dilema mereka. Di satu sisi, mereka mendahulukan mutu artistik; di lain pihak, si pemesan sering kali berselera rendah dan bersikap pragmatis. Walhasil, distribusi hasrat kekuasaan—apa pun itu—menghasilkan produk propaganda yang secara artistik tidak bermutu untuk konsumsi masyarakat.
Lalu, apa publikasi yang layak kita jadikan pijakan awal untuk mendiskusikan ihwal propaganda ini, terutama dari perspektif sejarah nasional? Mengapa seniman-seniman kita, seperti S Sudjojono, ngotot meninggikan aspek artistik?
Buku ”Seni Pariwara”
Buku Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan yang baru-baru ini diterbitkan Program Studi Seni Rupa ITB melalui proyek Civas (Center for Indonesian Visual Art Studies) ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Buku ini awalnya merupakan naskah skripsi yang pada 1964 diselesaikan Abdul Djalil Pirous sebagai syarat menjadi sarjana. Dikenal sebagai perintis pendidikan desain Indonesia, penulis dan pelukis yang prolifik, Pirous meneliti perjalanan seni pariwara Indonesia. Selain merujuk pada sumber-sumber yang terbit pada masanya, Pirous berkesempatan menemui Sudjojono dan Affandi.
Dari kedua seniman ini, Pirous menimba keterlibatan mereka berpropaganda sejak masa pendudukan Jepang hingga revolusi. Tidak berhenti sampai situ, Pirous kemudian menarik mundur pembahasannya ke masa kolonial Belanda. Ia menafsirkan lukisan masyhur Raden Saleh, ”Een Strijd op Leven en Dood” (”Pertempuran antara Hidup dan Mati”). Lukisan ini, dalam tafsir Pirous, mencerminkan spirit patriotik manusia terjajah (hal 21-25). Dengan kata lain, Pirous menengarai bahwa Raden Saleh merintis ”seni pariwara sebagai propaganda perjuangan”. Tafsir ini menarik untuk diberi catatan khusus mengingat, sampai 1960-an, tidak banyak orang di dunia seni rupa yang berani menafsirkan lukisan Raden Saleh seperti yang Pirous lakukan.
Awal 1942, bala tentara Jepang sukses menekuk rezim Tjarda van Starkenborgh. Pirous memberikan porsi besar untuk masa yang progresif ini (hal 31-45). Tentu bukan tanpa alasan. Pemerintahan Militer Jepang terbukti bersungguh-sungguh melibatkan seniman Indonesia dan Jepang mempropagandakan Perang Asia Timur Raya sebagai ambisi Jepang untuk meluaskan imperiumnya. Dari indoktrinasi supaya rakyat terus bekerja, bekerja dan bekerja!, sampai yang menanam kebencian kepada orang-orang Barat, terlebih Belanda, Amerika, dan Inggris.
Fasisme pun tumbuh subur. Bela negara dan kesatuan menjadi harga mati. Kaum seniman, baik yang bekerja di Putra (Pusat Tenaga Rakyat) maupun di Keimin Bunka Shidosho, merasakan bahaya fasis ini.
Meski demikian, di sisi lain, kaum seniman dan intelektual Indonesia dengan cerdik membonceng kepentingan propaganda Jepang. Mereka menyadari munculnya dinamika yang sukses mengakselerasi kesadaran nasional, juga spirit mendekolonisasi berbagai aspek kehidupan.
Oleh karena itu, produk propaganda dari masa ini, apabila dianalisis secara mendalam, maknanya selalu bersayap. Misalnya, lukisan penggembala menggiring kerbau karya Henk Ngantung, mungkin sekilas terlihat biasa saja. Namun, pesan terselubungnya adalah bangsa Indonesia (kerbau) sedang digiring oleh penggembala (Jepang) ke arah yang tidak menentu.
Revolusi pun memanggil. Dunia seni pariwara memasuki lembaran baru. Pirous juga menyediakan bahasan yang cukup luas di sini (hal 46-56). Sayangnya, sumber-sumber seni pariwara dari era ini tampil terbatas. Mungkin karena akses yang tidak mudah atau ketersediaan arsipnya di Indonesia.
Tetap aktual
Buku Seni Pariwara berawal dari manuskrip skripsi yang telah lama tersimpan. Meski demikian, usia panjang itu tidak membatalkan konteks dan aktualitasnya di hari ini. Buku ini merupakan publikasi pertama yang merumuskan istilah ”seni pariwara” dan mengaitkannya dengan propaganda yang pernah dimanfaatkan bangsa ini untuk meraih kedaulatannya. Dengan caranya yang khas, buku ini menyumbang sebuah bingkai untuk melihat peran kaum seniman yang tidak kecil. Sumbangan terbesar tentunya terletak pada pengembangan historiografi seni rupa dan desain Indonesia.
Buku ini juga mengingatkan kita bahwa propaganda masih berlangsung. Kecanggihan teknologi dan media menyusupkan propaganda ke sendi-sendi kehidupan tanpa kita sadari dan kehendaki. Dari iklan sabun, pameran seni, pertandingan olahraga, baliho partai politik, sampai janji pemerintah, semuanya adalah propaganda yang ingin membentuk dunia kita sesuai dengan kepentingan mereka.
Membaca buku Seni Pariwara akhirnya mendorong kita merenungkan kembali soal mutu artistik seni pariwara dan propaganda yang benar-benar didorongkan oleh keinginan luhur untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan keadilan sosial.