Putusan MK Tak Berikan Kepastian Soal Kedaluwarsa Pengajuan Gugatan PHK
Di kota besar, berkas nomor perkara perselisihan hubungan industrial yang masuk ke pengadilan didominasi gugatan PHK.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi telah memutuskan tenggat pengajuan gugatan pemutusan hubungan kerja atau PHK dari pekerja adalah satu tahun sejak pemberitahuan PHK dari pemberi kerja. Ada sisi untung-rugi yang akan diterima oleh pekerja dan pengusaha karena keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Setelah terbit Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juncto UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, jangka waktu kedaluwarsa pengajuan gugatan PHK sesuai ketentuan pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menimbulkan kebingungan di pasar kerja.
Alasan mengajukan uji materi adalah mencari kepastian hukum atas jangka waktu kedaluwarsa gugatan PHK, apa pun alasan PHK yang diterima pekerja, setelah UU Cipta Kerja berlaku.
Sebab, UU Cipta Kerja menghapus dua pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu pasal 159 dan 171 UU Nomor 13 Tahun 2003 , dan mempertahankan pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004. Padahal, pasal 159 dan 171 merupakan alasan PHK yang boleh digugat ke pengadilan hubungan industrial dalam waktu paling lama satu tahun, sesuai ketentuan pasal 82 UU No 2 Tahun 2004.
Aktivis buruh dan praktisi hukum ketenagakerjaan, Muhammad Hafidz, mengajukan uji materi UU Nomor 2 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Agustus 2023. Saat dikonfirmasi Rabu (13/2/2024), Hafidz mengatakan, alasan dia mengajukan uji materi adalah mencari kepastian hukum atas jangka waktu kedaluwarsa gugatan PHK, apa pun alasan PHK yang diterima pekerja, setelah UU Cipta Kerja berlaku.
Putusan
Pada Kamis (29/2/2024), di Jakarta, Ketua MK Suhartoyo membacakan Putusan MK Nomor 94/PUU-XXI/2023. Isi putusan menyatakan bahwa pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 82 juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu satu tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan PHK dari pihak pengusaha.
Baca juga : Praktik PHK Sepihak Masih Warnai Pengaduan Pelanggaran Ketenagakerjaan
Terkait pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi MK Enny Nurbaningsih mengatakan, MK masih tetap dalam pendiriannya bahwa kedaluwarsa pengajuan gugatan tetap diperlukan agar dapat menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja/buruh.
Batasan waktu untuk mengajukan gugatan penting untuk tetap ada karena demi kepastian hukum yang adil supaya permasalahan PHK antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak berlarut-larut karena dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang jelas dan pasti.
Alasan PHK
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menjelaskan, dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan alasan-alasan PHK, yaitu kesalahan berat, tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, perubahan status kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, perusahaan tutup yang disebabkan rugi dua tahun berturut-turut atau keadaan memaksa, serta perusahaan tutup karena efisiensi.
Pasal 159 dan 171, yang sudah dihapus sejak UU Cipta Kerja, berisi alasan PHK karena kesalahan berat dan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha. Padahal kedua pasal itu jadi landasan pasal 82 UU No 2 Tahun 2004
Baca juga : PHK Perusahaan Teknologi di Tengah Keramaian Pemilu 2024
Menurut Timboel, Putusan MK Nomor 94/PUU-XXI/2023 berpotensi menghasilkan beberapa interpretasi di kalangan pekerja. Salah satu intepretasi yang dia khawatirkan adalah apapun alasan PHK, pekerja hanya boleh mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial dalam jangka waktu satu tahun sejak pemberitahuan PHK yang mereka terima.
“Jika interpretasinya begitu, pekerja yang dirugikan. Sebab, sebelum sampai tahap mengajukan gugatan PHK ke pengadilan hubungan industrial, pekerja korban PHK harus melalui dulu tahap dialog bipartit dengan manajemen yang jika gagal baru berlanjut ke mediasi di tingkat dinas tenaga kerja atau Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Jika mediasi gagal, dinas atau kementerian memberikan anjuran ke pengadilan,” ujar dia.
Tahapan menuju pengajuan gugatan ke pengadilan hubungan industria, Timboel melanjutkan, memakan waktu berbulan-bulan sekalipun UU No 2 Tahun 2004 mengamanatkan durasi dialog bipartit dan mediasi masing-masing 30 hari kerja. Penyebab lamanya dialog bipartit ataupun mediasi antara lain disebabkan faktor sikap manajemen yang tertutup, keras, dan birokrasi dari dinas.
Di samping itu, tidak semua pekerja memiliki literasi yang cukup mengenai pengajuan gugatan PHK. Proses mengurus isi gugatan ke pengadilan hubungan industrial juga memakan waktu karena harus ditulis.
Namun, dia juga memiliki interpretasi lain dari Putusan MK Nomor 94/PUU-XXI/2023. Salah satunya adalah durasi maksimal satu tahun pengajuan gugatan hanya berlaku untuk alasan PHK karena tindak pidana bukan atas pengajuan pengusaha.
Alasan kompensasi
Lebih jauh, Timboel menambahkan, pengajuan gugatan PHK ke pengadilan hubungan industrial masih marak. Di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, berkas nomor perkara perselisihan hubungan industrial yang masuk ke pengadilan masih berkisar 300–400 nomor perkara per tahun. Dari total nomor perkara itu, 90 persen di antaranya ialah gugatan PHK.
Alasan utama pekerja menggugat PHK biasanya terkait nominal uang kompensasi yang dia terima dari perusahaan. Kalau memang nominal yang dituntut besar, perjuangan mengurus gugatan mungkin akan terasa sebanding sebab selama proses menggugat pekerja korban PHK tidak boleh menerima pekerjaan formal di tempat lain.
“Jika melihat dinamika proses pengajuan gugatan dan sudah keluar Putusan MK Nomor 94/PUU-XXI/2023, pemerintah semestinya perlu memberikan penjelasan utuh kepada pekerja mengenai interpretasi sesungguhnya putusan MK itu. Jangan sampai semua alasan PHK, jangka waktu kedaluwarsa mengajukan gugatannya hanya satu tahun,” kata dia.
Baca juga : PHK Mendominasi Kasus Hubungan Industrial
Sementara itu, Hafidz berpendapat, Putusan MK Nomor 94/PUU-XXI/2023 memberikan kepastian hukum bahwa pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004 masih berlaku. Hanya saja, senada dengan Timboel, ada potensi rugi yang akan diterima pekerja korban PHK sejak putusan MK itu.
“Pengusaha biasanya memiliki sumber daya kuat ketika ada pekerja yang tidak terima dengan keputusan PHK. Mereka mungkin sudah menyiapkan pengacara, sedangkan tidak semua pekerja memiliki literasi dan kemampuan mengakses fasilitas hukum untuk membela hak-haknya. Pekerja yang seperti itu pasti butuh waktu lama,” kata dia.
Penyalahgunaan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, secara terpisah, berpendapat, putusan MK Nomor 94/PUU-XXI/2023 berpotensi akan lebih banyak menguntungkan pengusaha. Kebanyakan PHK datang dari sikap pengusaha sehingga putusan MK itu memberikan kepastian hukum bagi pengusaha.
Namun, di sisi lain, dia setuju jika ketentuan kedaluwarsa gugatan PHK itu maksimal satu tahun untuk mencegah penyalahgunaan gugatan. Sebab, berdasarkan pengamatannya, ada kejadian PHK sudah bertahun-tahun terjadi tetapi baru dipersoalkan oleh ahli waris pekerja karena pekerjanya meninggal.
Baca juga : Pemerintah Antisipasi Potensi PHK di Industri Padat Karya
“Untuk beberapa kasus memproses PHK, saya memang mengamati ada durasi yang lama di tahap mediasi. Jadi, tidak berarti semua proses mengajukan gugatan PHK sampai ke pengadilan hubungan industrial memakan waktu lebih dari setahun. Bipartit dan mediasi yang lama biasanya terjadi pada PHK massal, ” kata dia.
Hadi menambahkan, untuk menghindari beda persepsi, pemerintah seharusnya segera merevisi UU No 2 Tahun 2004, lalu mempertegas maksud putusan MK itu selama revisi.