Jangan Melampaui Batas, Pak Prabowo
Prabowo mengungkap rencana untuk menaikkan ”tax ratio” sekaligus defisit anggaran untuk membiayai belanja negara.
Pekan lalu, Prabowo Subianto menghadiri acara Mandiri Investment Forum (MIF). Berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga survei, saat ini Prabowo bersama pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, memimpin perolehan suara. Jika perhitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menetapkan Prabowo sebagai pemenang Pemilu 2024, ia akan dilantik sebagai presiden Indonesia ke-8 pada Oktober mendatang.
Banyak hal menarik yang diucapkan Prabowo dalam acara MIF. Salah satunya adalah pengutipan golden rule yang menyatakan bahwa ”bos tidak pernah salah” yang menimbulkan spekulasi bahwa kehadirannya di forum tersebut atas permintaan Presiden Joko Widodo, yang merupakan ”bos” Prabowo di Kabinet Indonesia Maju.
Lainnya adalah dia menyebut bahwa demokrasi di Indonesia itu melelahkan dan berbiaya mahal. Untungnya, kata Prabowo, dia adalah pengusaha sehingga bisa membiayai kampanyenya.
Kedua isu itu sontak viral dan ramai jadi pemberitaan media. Namun, sebenarnya ada hal yang lebih menarik, atau tepatnya kontroversial, yang kurang jadi perbincangan publik. Isu ini terkait dengan pengelolaan APBN.
Awalnya, Prabowo berbicara bagaimana meningkatkan rasio pajak yang saat ini tergolong masih rendah, yakni sekitar 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka ini di bawah negara-negara peer Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, yang bisa mencapai 16-18 persen.
Prabowo ingin menaikkan rasio pajak(tax ratio)seperti negara-negara itu agar bisa membiayai program-program pemerintahan yang akan dia pimpin, yang kemungkinan akan meningkat signifikan.
Keinginannya untuk menaikkan belanja secara signifikan diperjelas dengan pernyataannya bawah rasio belanja Indonesia terhadap PDB, yang sekitar 15,5 persen, tergolong yang terendah di dunia.
Terkait rencana peningkatan belanja negara, tentu saja ini menyangkut dengan salah satu program unggulan Prabowo saat kampanye, yakni memberikan makan siang dan susu gratis kepada anak-anak sekolah, para santri, ibu hamil, dan anak balita di Indonesia.
Namun, untuk membiayai program yang butuh anggaran besar tersebut, Prabowo tak percaya diri hanya mengandalkan penerimaan dari peningkatan rasio pajak.
Nah, di sinilah hal-hal yang kontroversial itu mulai muncul. Prabowo mulai menyinggung untuk menaikkan defisit anggaran agar bisa membiayai program-programnya.
Menurut Prabowo, defisit anggaran yang saat ini sekitar 2 persen sebenarnya bisa dinaikkan menjadi hingga 2,8 persen. Yang penting, kata dia, masih di bawah batas maksimum defisit anggaran yang ditetapkan undang-undang, yakni 3 persen.
Namun, tak berhenti di sini, Prabowo malah mempersoalkan bahwa angka batas maksimum 3 persen itu sebenarnya diadopsi Indonesia dari Uni Eropa, yang faktanya sekarang tidak lagi menggunakan kebijakan itu. Ia mencontohkan defisit anggaran Perancis, Jerman, dan Italia bahkan sudah di atas 6 persen.
Walaupun tak secara tegas mengatakan bahwa ia berencana menaikkan defisit anggaran hingga di atas 3 persen, jelas tersirat bawah batas defisit anggaran 3 persen yang dianut Indonesia saat ini sudah tidak memadai untuk membiayai belanja yang diperlukan dan tidak sesuai dengan praktik terbaik (best practices)di negara-negara lain.
Baca juga: APBN Transisi Disusun, Ruang Fiskal Rezim Baru Bisa Lebih Sempit
Di sinilah bisa menjadi awal mula munculnya berbagai persoalan bahkan moral hazard yang bisa membahayakan perekonomian bangsa. Menganulir batas maksimal defisit 3 persen ibarat membuka kotak pandora.
Yang patut disadari adalah menambah defisit berarti menambah utang. Prabowo awalnya mencoba mengantisipasi hal ini dengan mengatakan rasio utang Indonesia masih terjaga baik di level 39 persen PDB, yang memang masih di bawah batas maksimal rasio utang yang ditetapkan sebesar 60 persen PDB.
Ini bisa dimaknai bahwa terus berutang sehingga rasionya membesar dari level saat ini tidaklah masalah. Ini tentu sebuah pendekatan yang tidak berbeda dengan Jokowi, yang mencatat rekor sebagai presiden Indonesia dengan utang terbanyak.
Rasio utang Pemerintah Indonesia kini memang masih di bawah ambang batas. Namun, melihat program-program ambisius dan gejala yang ditunjukkan Prabowo, bukan tidak mungkin pada masa pemerintahannya nanti utang kian mendekati batas maksimalnya.
Indikator lain menunjukkan risiko yang lebih besar jika pemerintah sembrono menaikkan defisit anggaran, yakni rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara. Ini merupakan salah satu indikator yang dilihat investor karena menunjukkan kemampuan negara dalam memenuhi kewajibannya atau menunjukkan seberapa besar ketahanan anggaran negara untuk tidak default.
Ini tentu sebuah pendekatan yang tidak berbeda dengan Jokowi, yang mencatat rekor sebagai Presiden Indonesia dengan utang terbanyak.
Akibat penambahan utang yang gila-gilaan selama era Jokowi, pembayaran bunga utang terus meningkat setiap tahun. Bahkan, tahun 2024, pembayaran bunga utang diproyeksikan mencapai hampir Rp 500 triliun atau sekitar 15 persen dari belanja negara. Ini tak jauh di bawah alokasi anggaran pendidikan yang sebesar Rp 660 triliun. Bahkan, jauh melampaui anggaran kesehatan yang hanya Rp 186,4 triliun. Jika beban bunga utang terus meningkat, ruang fiskal untuk membiayai pembangunan akan semakin terbatas.
Dan patut diingat, pembayaran beban bunga yang dialokasikan dalam APBN hanya untuk membayar bunganya saja. Adapun utang pokoknya sesungguhnya tidak akan pernah berkurang. Jika ada utang yang jatuh tempo, maka dilakukan refinancing atau melunasi utang dengan utang. Dengan demikian, utang pokok akan terus bertambah. Jadi, jangankan membayar pokoknya, membayar bunganya saja sudah menelan anggaran begitu besar.
Baca juga: Menakar Warisan Utang Rezim Jokowi
Jika dibandingkan dengan penerimaan negara yang sekitar Rp 2.802 triliun dalam APBN 2024, rasio beban bunga terhadap penerimaan negara telah mencapai 17,7 persen. Artinya, hampir seperlima dari penerimaan negara hanya untuk membayar bunga utang.
Jika rasionya semakin besar, tentu kemampuan Indonesia melunasi utang akan menurun sehingga memperbesar potensi default. Jika terjadi default, kredibilitas negara akan hancur sehingga tak ada lagi investor yang mau membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah.
Beban bunga utang Indonesia semakin cepat karena utang Indonesia berbiaya mahal. Selama era Jokowi, sebagian besar utang diperoleh dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN). Karena suku bunga di Indonesia masih relatif tinggi, bunga SBN pun ikut tinggi. Saat ini yield SBN 10 tahun sekitar 6,7 persen. Bunga ini tentu sangat besar dibandingkan dengan yang diperoleh negara lain.
Jika rasio beban bunga utang terhadap penerimaan negara semakin besar, tentu kemampuan Indonesia melunasi utang akan menurun sehingga memperbesar potensi default.
Penerbitan SBN yang terlalu banyak juga akan menimbulkan risiko karena sebagian yang membeli adalah asing yang sifatnya spekulan atau hot money. Jika ada gejolak di pasar keuangan global, hot money ini akan dengan mudah meninggalkan Indonesia, yang berpotensi membuat nilai tukar rupiah gonjang-ganjing.
Namun, bahaya terbesar dari terbukanya kotak pandora defisit anggaran adalah potensi moral hazard untuk mencetak uang sendiri. Tatkala mendapatkan utang semakin sulit dan berbunga tinggi, maka dengan alasan membiayai pembangunan, bisa jadi pemerintah akan tergoda memaksa Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang.
Baca juga: Mengalkulasi Nilai Program Makan Siang Gratis
Skemanya bisa saja dilakukan seperti saat era pandemi Covid-19, yakni BI membeli SBN di pasar primer. Saat itu, praktik ini diperbolehkan karena pandemi adalah kondisi darurat. Namun, jika tidak dalam kondisi darurat, BI tidak diperbolehkan membeli SBN di pasar primer. Dengan kata lain, dalam kondisi normal, BI tidak boleh memberi utangan kepada pemerintah, apa pun keperluannya, termasuk untuk membiayai belanja negara.
Sebab, jika ini terjadi, risikonya sangat besar, apalagi jika pencetakan uang yang dilakukan BI menjadi tidak terkendali. Bisa-bisa Indonesia mengalami hiperinflasi seperti masa Orde Lama dulu, yang memaksa pemerintah saat itu melakukan sanering atau memotong nilai uang.
Sebenarnya tidak salah jika Prabowo ingin menaikkan belanja untuk membiayai program-programnya. Belanja negara yang meningkat tentu bagus untuk mendorong perekonomian. Namun, langkah utama dan terbaik untuk mendanai belanja adalah meningkatkan penerimaan, bukan memperbesar defisit dan berutang besar-besaran. Seharusnya Prabowo fokus saja bagaimana meningkatkan rasio pajak. Jika benar rasio pajak bisa ditingkatkan ke level 16 persen, itu sudah bisa menutup semua belanja yang diperlukan.
Namun, tantangannya, memang tak mudah meningkatkan rasio pajak di Indonesia. Para menteri keuangan dengan berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, teknokrat, hingga bankir, bisa dibilang gagal meningkatkan rasio pajak secara signifikan.
Diperlukan langkah-langkah terobosan yang tidak konvensional untuk meningkatkan rasio pajak. Ini pasti bisa dilakukan karena peningkatan rasio pajak merupakan keniscayaan.
Jadi, tak perlu Prabowo ujug-ujug menaikkan defisit anggaran, apalagi melewati batas maksimal 3 persen. Sekali lagi, jangan melampaui batas, Pak Prabowo.