Responden Ributkan Isu Kenaikan Harga Beras di Media Sosial X
Dari 67.579 responden, sebanyak 71 persen mengeluhkan kenaikan harga beras.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Dalam sepekan terakhir, warga Indonesia di media sosial kompak mengeluhkan melambungnya harga bahan pokok. Kegundahan ini diprediksi masih akan berlangsung lama mengingat inflasi harga bahan pokok masih akan berlanjut mendekati periode Ramadhan dan hari raya Idul Fitri.
Kebisingan di media sosial rupanya dipicu fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir kenaikan harga bahan pokok memang tidak diimbangi dengan kenaikan penghasilan masyarakat. Jika situasi ini terus berlanjut, dikhawatirkan angka kemiskinan di Indonesia bisa bertambah.
Demikian hasil riset Continuum Institute for Development of Economic and Finance (Indef) soal Analisis Respons Masyarakat di Media Sosial mengenai Kenaikan Harga Menjelang Ramadhan yang dipublikasikan untuk pers dan umum secara daring di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Riset ini dilakukan selama 29 Februari-4 Maret 2024 terhadap 74.817 perbincangan oleh 67.579 responden pengguna terkait kenaikan harga pangan di media sosial X. Dari jumlah perbincangan tersebut, 99 persen berisikan keluhan soal kenaikan harga bahan pokok.
Beras dan telur
Dari 67.579 responden, sebanyak 71 persen mengeluhkan kenaikan harga beras. Kemudian sebanyak 19,2 persen responden mengeluhkan kenaikan harga telur dan 8,5 persen mengeluhkan kenaikan harga daging ayam.
Analis Data Continuum Indef, Wahyu Tri Utomo, menuturkan, keresahan soal kenaikan harga beras dan sembako itu berisikan rasa iba, terutama terhadap kalangan menengah ke bawah yang terdampak langsung. ”Ada juga keresahan mereka karena simpang siur harga beras dunia, faktanya harga di sini terus melambung tinggi,” ujarnya, Rabu (6/3/2024).
Pangan menjadi salah satu faktor orang bisa jadi miskin atau tidak.
Sementara itu, ekonom Indef, Aviliani, menekankan bahwa kenaikan harga kebutuhan bahan pokok tidak berbanding lurus dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Jika pemerintah tidak bisa mengatasi perkara harga kebutuhan pokok, masyarakat miskin baru berpotensi muncul.
”Orang kelas menengah bisa menjadi hampir miskin, yang hampir miskin menjadi miskin. Pangan menjadi salah satu faktor orang bisa jadi miskin atau tidak. Tugas pemerintah untuk menuntaskan kemiskinan, salah satunya adalah dengan menjaga stabilisasi harga pangan,” ujar Aviliani.
25,9 juta orang
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan nasional per Maret 2023 adalah 9,36 persen atau 25,9 juta orang, turun dari level saat pandemi Covid-19 meskipun belum kembali ke kondisi prapandemi. Namun, terdapat kelompok yang sebenarnya hidup rentan, tetapi sudah tidak lagi dikategorikan miskin karena sudah naik di atas garis kemiskinan.
Berdasarkan studi Bank Dunia, kelompok ini disebut masyarakat menuju kelas menengah (aspiring middle class). Di atas kertas, mereka sudah lepas dari jerat kemiskinan berdasarkan definisi batas garis kemiskinan yang berlaku saat ini. Namun, nyatanya mereka rentan kembali jatuh miskin jika pendapatan tak mampu memenuhi kebutuhan.
Kelompok ini jumlahnya sangat besar, yakni 115 juta orang atau 45 persen dari total populasi Indonesia pada 2020. Belum ada data terbaru jumlah populasi kelompok rentan ini. Bank Dunia sedang menghitung data terkini yang baru akan dirilis pada pertengahan 2024.
”Orang-orang ini juga tidak termasuk penerima manfaat bantuan sosial karena tidak lagi dianggap miskin. Makanya, mereka sangat rentan dengan kenaikan harga bahan pangan pokok,” ujar Aviliani.
Di atas UMR
Kompas mencatat, rata-rata kenaikan inflasi komponen harga pangan bergejolak selama 3-4 tahun terakhir sudah di atas rata-rata kenaikan upah minimum regional (UMR). Pada 2020-2023, rerata tingkat inflasi komponen harga pangan bergelojak sebesar 5,2 persen. Tingkat inflasi ini sudah di atas rata-rata kenaikan UMR pada 2020-2024 yang sebesar 4,9 persen.
Komponen harga pangan bergejolak menjadi kontributor terbesar inflasi Februari 2024. Tingkat inflasinya mencapai 8,47 persen secara tahunan. Tiga komoditas terbesar penyumbang inflasi komponen ini meliputi beras, cabai merah, dan telur ayam ras.
BPS menyebutkan, tingkat inflasi beras pada Februari 2024 sebesar 5,32 persen. Angka itu meningkat dari inflasi beras pada Januari 2024 yang sebesar 0,64 persen. Dengan begitu, beras telah menyumbang inflasi selama tujuh bulan beruntun sejak Agustus 2023. Dalam kurun waktu itu, inflasi beras tertinggi terjadi pada September 2023, yakni 5,61 persen.
Dalam Mandiri Investment Forum 2024 yang berlangsung di Jakarta, Selasa (5/3/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sejauh ini kebijakan di sisi fiskal mempunyai peran efektif dalam mengatasi inflasi bahan pangan.
Kebijakan fiskal, salah satu contohnya pemberian insentif fiskal dan koordinasi dengan pemerintah daerah, bermanfaat untuk membenahi sisi struktural, logistik, dan pasokan. ”Jadi upaya pemerintah mengatasi inflasi tidak hanya berkutat pada kebijakan moneter, tetapi juga harus ada dukungan dari sisi fiskal,” ujar Sri Mulyani.