Industri Kreatif Indonesia, Bukan Singapura dan Gemerlap Taylor Swift
Singapura barangkali sukses dengan Taylor Swift-nya. Tetapi, Indonesia punya cerita lain.
Singapura menggelar konser Taylor Swift. Tidak tanggung-tanggung, negara kota itu mengikat penyanyi kondang asal Amerika Serikat itu dengan kontrak eksklusif. Konser pun digelar enam hari, yakni pada 2-4 dan 7-9 Maret 2024. Ini barangkali bisa disebut salah satu kesuksesan Singapura mengapitalisasi nilai komersial bidang industri kreatif dan pariwisatanya.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana dengan industri kreatif di Indonesia? Hal yang pasti, industri kreatif sudah menjadi bagian integral dalam perekonomian nasional. Peluangnya besar. Dan, ini sama sekali bukan tentang Singapura dan Taylor Swift.
Dalam laporan Statistik Ekonomi Kreatif 2020 yang dirilis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), ekonomi kreatif mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 19,2 juta orang.
Baca juga: Sukses Monopoli Konser Taylor Swift, Singapura Berpeluang Panen Cuan
Jumlahnya setara dengan 15,2 persen dari tenaga kerja nasional. Perputaran ekonominya terlihat dari kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai Rp 1.153,4 triliun.
Ekonomi kreatif merupakan bagian dari kategori ekspor nonmigas dalam neraca ekspor-impor nasional. Kontribusinya terhadap ekspor nasional pada 2019 sebesar 11,9 persen atau senilai 19,6 juta dollar AS. Sejak 2011, nilainya berfluktuasi pada kisaran 15,6 juta dollar AS hingga 20,3 juta dollar AS, yang merupakan kontribusi tertinggi pada 2018.
Baca juga: Ekonomi Kreatif, Sektor Menjanjikan dengan Ragam Batu Sandungan
Sektor ini memang belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sebab, anggaran definitif Kemenparekraf pada 2024 hanya Rp 3,53 triliun. Adapun total alokasi belanja kementerian/lembaga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar Rp 1.090,8 triliun.
Padahal, efek pengganda (multiplier effect)yang diciptakan sektor ekonomi kreatif sangat besar. Ratusan orang bisa bergantung hanya dari satu jenis usaha. Selain itu, tiap daerah memiliki potensi masing-masing yang unik atau khas.
Potensi besar
Hal tersebut ditegaskan pendiri sekaligus Chief Executive OfficerNaruna Ceramic Roy Wibisono saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (5/3/2024). Menurut dia, potensi ekonomi kreatif di Indonesia tergolong besar. Sebagai pelaku usaha subsektor kriya, khususnya keramik, ia menyebut permintaan pasar begitu tinggi.
Kala pandemi Covid-19 meluluhlantakkan beragam industri, Naruna yang memasok alat-alat makan buatan tangan ini justru tumbuh pesat. Produknya dijual dengan harga berkisar Rp 70.000 hingga Rp 500.000.
Saat pandemi, omzetnya justru melesat hingga 22 kali lipat dibandingkan dengan kondisi normal. Bisnis ini pula yang membawa Naruna berhasil mengekspor produk keramiknya ke 16 negara di dunia, mulai dari Singapura hingga Amerika Serikat.
Baca juga: Tantangan Membiayai Sektor Ekonomi Kreatif
Selain ekspor ke luar negeri, Naruna juga memasok alat-alat makannya ke sejumlah kafe dan restoran ternama. Beberapa di antaranya adalah Seribu Rasa, Monsieur Spoon, dan Grup Plataran.
”Karena segmen kami menengah-atas. Jadi, ketika margintinggi, kami bisa bertahan dengan menjual kreativitas. Kalau (bergantung) kuantitas, kalah dengan pabrikan yang pakai mesin. Kami, kan, pakai (kemampuan) manusia yang tak bisa dilakukan mesin,” katanya.
Tak hanya itu, semua medium digital dimanfaatkan untuk mempromosikan dagangannya. Selain desain yang unik, cara pemasaran pun harus berbeda. Ia juga menerima semua jalur penjualan, baik secara perorangan, pengecer (reseller), maupun penjualan barang dari penyuplai kepada konsumen (dropshipper).
”Yang menarik, Naruna itu memang jenis ekonomi kreatif yang nyata (dan tentang) bagaimana mengangkat kreativitas. Terlihat dari harga produk kami. Itu industri kreatif, bagaimana membuat sesuatu yang biasa dengan sentuhan kreativitas sehingga harganya bisa jauh lebih kuat,” tuturnya.
Penyerapan tenaga kerja
Ekonomi kreatif mampu menyerap banyak tenaga kerja. Berawal dari satu usaha, upaya para pelaku ekonomi kreatif dapat menghidupkan perekonomian setempat atau mereka yang bergerak dalam bidang yang sama.
Dari usaha Naruna, kini Roy mempekerjakan sekitar 150 orang khusus sebagai pembuat keramik, belum termasuk pekerja lain. Efek penggandanya, warung-warung di sekitar tempat pembuatan keramik dan toko, tukang ojek, serta pengantar paket ikut diuntungkan karena bisnis ini.
Hal senada diutarakan desainer sekaligus pendiri Sejauh Mata Memandang, sebuah jenama tekstil, Chitra Subyakto. Ia berkolaborasi dengan para perajin kain dari seluruh Indonesia. Sebagai warga yang tinggal di perkotaan, Chitra justru banyak belajar dan mendapat ilmu dari perajin daerah.
”Jadi, kami di kota punya privilege akses marketing lebih luas. Mereka (perajin di daerah) punya keahlian ini (menenun, mewarnai kain), tapi mungkin bingung menembus (pasar lebih luas). Jadi, kami bekerja sama,” ujarnya.
Chitra terlibat dalam tiap proses pembuatan pakaian dari hulu hingga hilir. Ia berharap prinsip ekonomi sirkular bisa terwujud, dari benang baru, diolah menjadi pakaian, hingga diurai kembali menjadi benang. Benang ini tak terbuang, dapat diolah kembali menjadi produk baru.
Soal perizinan
Di balik beragam potensinya, para pelaku usaha ekonomi kreatif masih bergulat dengan serangkaian hambatan di dalam negeri. Salah satunya birokrasi yang berbelit sehingga proses ekspor yang sulit, bahkan mustahil, dilakukan. Situasi ini seolah mengindikasikan minimnya keberpihakan pemerintah terhadap para pelaku ekonomi kreatif.
Diaspora yang berprofesi sebagai pelaku usaha kuliner di Korea Selatan, Riema Moedjiono (Lee), membenarkan pandangan itu. Ia menyayangkan sulitnya mendapatkan buah-buahan serta rempah-rempah asal Indonesia. Padahal, negara-negara tetangga lain, seperti Vietnam, Thailand, Filipina, dan Sri Lanka, bisa memasok buah dan rempah dengan mudah ke Korea Selatan.
”Toko-toko Asia di Korea Selatan juga banyak memasok khusus bahan-bahan dari Indonesia, tetapi kadang-kadang yang bikin kita nyesek, barang Indonesia tak bisa masuk. Justru (barang) dari negara lain itu bisa,” ujar pelaku usaha kuliner ini.
Terkait hal itu, Riema pernah bertanya kepada pejabat terkait dari Indonesia yang sedang berada di Seoul. Pejabat tersebut, menurut dia, mengatakan bahwa persoalannya adalah barang-barang basah mudah busuk. Dengan demikian, ekspornya tak bisa dilakukan.
Sementara itu, lanjut Riema, negara-negara lain bisa mengekspor jenis barang yang sama. Atas persoalan itu, akhirnya muncul jasa titip legal dan ilegal yang menyuplai barang-barang tersebut. Ujung-ujungnya, harga bahan baku menjadi lebih mahal.
Baca juga: Sepi Dukungan, Promotor Musik Masih Hadapi Lorong Gelap Perizinan
Kemudahan mendapatkan bahan baku dari Indonesia amat krusial untuk bisnis Riema. Sebab, ada banyak bahan baku Indonesia yang tak mudah disubstitusi dengan bahan lain. Salah satunya adalah gula merah, yang cita rasanya berbeda dibandingkan dengan buatan negara lain.
Soal perizinan, imbuh Riema, birokrasi Indonesia terlalu rumit. Sejak dirinya tinggal di Korea Selatan pada 2002, ia belum pernah menemukan buah asli Indonesia yang dijual bebas. Padahal, jika ekspor buah-buahan Indonesia berjalan lancar, tentu para petani Tanah Air pun diuntungkan. Namun, hal itu tak terjadi.
Baca juga: Dana Pariwisata Siap Dibentuk untuk Dukung Pariwisata Indonesia
Roy menambahkan, sertifikat-sertifikat dalam negeri bisa menjadi bumerang bagi keberlangsungan usaha ekonomi kreatif. Banyak auditor negara lain yang membuat penilaian dengan menyesuaikan standar Indonesia. Hal ini adakalanya malah menyebabkan barang ditolak karena tak bisa memenuhi detail standar dari dalam negeri ketimbang ketentuan negara calon importir.
”Banyak sekali perizinan itu yang membuat industri di Indonesia tak bisa bergerak dengan bebas. Saya pernah melihat perizinan untuk suatu industri hampir 50 (unsur), seperti limbah, kebisingan, dan lain-lain. Itu semua ada masanya, ada perpanjangan yang butuh duit juga,” kata Roy.
Persyaratan-persyaratan ini pula yang memicu para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) lain berfokus pada pemenuhan sertifikasi. Padahal, ada beberapa importir kecil yang hanya membutuhkan izin legalitas dan syarat sederhana yang tak berbelit. Hal-hal semacam ini yang dapat mengganjal pelaku UKM dalam negeri untuk naik kelas.
Ironi, batu sandungan malah datang dari dalam negeri. Besar peluang untuk bersaing di kancah internasional, tetapi terjerat dengan rumitnya birokrasi sendiri.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengakui, proses dan skema perizinan di Indonesia masih perlu diperbaiki. Hal ini sejalan dengan disetujuinya Dana Pariwisata Indonesia (Indonesia Tourism Fund/ITF) yang diharapkan bisa mendukung para pelaku ekonomi kreatif. Harapannya, Indonesia jangan hanya menjadi pasar, tetapi juga mampu menjadi penyelenggara acara-acara berkelas internasional.
Sebelumnya, pemerintah telah bersepakat membentuk ITF dengan jumlah dana yang digelontorkan Rp 2 triliun pada 2024. Dana ini diharapkan menyokong promosi pariwisata Indonesia, pengenalan bangsa (nation branding), serta beragam penyelenggaraan kegiatan internasional. Bentuknya beragam, mulai dari wisata, seni pertunjukan, konser, hingga pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE) (Kompas.id, 22/1/2024).
Tantangan digitalisasi
Tak hanya itu, mayoritas mentor pelaku UKM berasal dari kalangan nonpraktisi yang tak mengikuti perkembangan zaman. Padahal, proses bisnis saat ini erat kaitannya dengan digitalisasi, termasuk membaca algoritma internet untuk memahami pasar dan tren.
Hal senada diungkapkan Chitra. Para konsultan pemerintah tak menguasai bidang klien-kliennya. Selama ini, konsultan yang sama dituntut memahami berbagai bidang. Banyak pula dari mereka yang malas melakukan riset sehingga hasilnya tak maksimal.
”Konsultan biasanya muter-muter di situ-situ lagi. Jadinya enggak berkembang. Konsultan enggak menguasai sebuah bidang. Mestinya kalau berbicara fashion, cari dari beberapa sudut pandang karena (karya) berbeda-beda dan enggak bisa disamakan,” ujar Chitra.
Baca juga: Rantai Pasok ASEAN Pikat Investasi Asing
Terkadang, kekurangan pemerintah adalah melakukan tindakan terburu-buru dan serba ”menit terakhir”. Konsep acara tak direncanakan jauh-jauh hari, padahal membutuhkan waktu lama untuk membuat hasil yang matang dan maksimal.
Para pelaku usaha ekonomi kreatif berharap pemerintah tak menutup mata akan keberadaan mereka. Andil yang lebih besar dan nyata menunjukkan keberpihakan pemerintah pada sektor ini.
Chitra berharap pemerintah bisa terinspirasi Pemerintah Thailand yang sangat mendukung para pekerja ekonomi kreatif. Sebagai contoh, pihaknya membantu menyewakan area produksi, juga menekan instrumen pajak. Alhasil, biaya produksi ekonomi kreatif bisa ditekan.
”Sekarang di sini (Indonesia), kan, masih silau dengan tambang dan sawit. Meskipun mereka (pemerintah) tahu itu merusak masa depan orang banyak. Tapi, mereka berpikirnya hari ini, enggak berpikir ke depan,” tuturnya.
Dari sisi sumber daya manusia (SDM), subsektor lain butuh dukungan untuk mencari para pekerja berbakat dan berkeahlian. Salah satunya subsektor perfilman.
Baca juga: Industri Film Indonesia Akan Makin Atraktif pada 2024
Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia Edwin Nazir menyatakan, industri perfilman membutuhkan peningkatan jumlah sekolah film untuk melahirkan lebih banyak SDM. Selain itu, jumlah layar bioskop di dalam negeri diharapkan bisa terus bertambah.
Secara umum, bentuk dukungan yang perlu menjadi fokus pemerintah adalah kebijakan atau tata aturan. Beberapa di antaranya berupa kemudahan sistem perizinan, penegakan hukum terhadap pembajakan, serta pendataan dan arsip perfilman. Dengan demikian, industri ekonomi kreatif Indonesia dapat berkembang dan berkontribusi lebih besar bagi perekonomian.